Minggu, 28 Juli 2013

Otentisitas Hadis dalam Pandangan Orientalis


oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir

PENDAHULUAN
Kajian keislaman ternyata tidak hanya diminati oleh kalangan orang muslim sendiri namun juga orang barat yang nota beninya non muslim yang selanjutnya disebut sebagai orentalis sangat antusias dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman, walaupun tidak ada keterangan jelas sejak kapan dan siapa pertama kali orang barat yang pertama kali mempelajari Islam[1], dalam kajian historisnya terdapat beberapa pendapat mengenai hal ini[2] namun istilah orientalis sendiri sudah muncul sejak abad ke-17 karena pada masa tersebut pengkajian barat tentang Islam dan dunia timur sudah bersifat ilmiah-akademik[3], hal ini menindikasikan bahwa ilmu-ilmu keislaman memiliki penikmat yang beragam dengan motivasi yang tentunya beragam pula.
Salah satu bidang keilmuan Islam yang ditekuni oleh orientalis adalah bidang hadis, bahkan dari kajian yang mereka lakukan telah melahirkan sebuah karya monumental seperti al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāz} al-H{adīth al-Nabawī, sebuah karya dari sekelompok orientalis yang dipublikasikan oleh A. J. Wensinck dan J. P. Mensing, karya mereka ini merupakan salah satu karya yang juga dipergunakan oleh orang Muslim dalam melacak keberadaan hadis berdasarkan teksnya. Karya ini walaupun dihasilkan oleh orang-orang orientalis tetapi harus diakui bahwa karya mereka ini sangat membantu orang Muslim sendiri khususnya bagi para peneliti-peneliti hadis, oleh karenanya merupakan sikap yang kurang bijak dan tidak obyektif bila umat Islam memandang bahwa setiap kajian yang dilakukan oleh orang-orang non-muslim merupakan kajian yang distortif karena kenyataannya tidak semuanya demikian.
Kajian keilmuan yang dilakukan oleh orientalis secara garis besar setidaknya memiliki dua dasar motivasi yang berbeda, yang pertama adalah kajian yang dilakukan untuk mencari celah “kesalahan” Islam untuk menghantam Islam dan menciptakan image negatif terhadap Islam dan yang kedua adalah kajian yag obyektif dalam konteks penyaluran hasrat intelektualitas yang bersifat ilmiah, walaupun dalam presentasenya motivasi yang pertama jauh lebih dominan daripada motivasi yang kedua, hal ini bisa dipahami sebgai akibat dari gesekan ketidak harmonisan antara Islam dan non-Islam khususnya yang bersifat sentimen teologis.
Kajian keislaman yang dilakukan oleh orientalis pada mulanya hanya kepada bidang keilmuan yang besifat umum, namun seiring berjalannya waktu kajian tersebut mulai masuk dalam ranah kajian yang khusus termasuk didalamnya adalah kajian tentang hadis dimana  dalam Islam hadis memiliki peranan sentral dan staregis karena hadis merupakan salah satu landasan hukum dalam Islam dan panduan bagi umat Islam, maka dalam makalah ini pemakalah akan memaparkan kajian yang dilakukan oleh orentalis dalam bidang hadis dengan spesifikasi otentitas hadis dalam kajian orientalis domain teori sistem isnād, evolusi historisitas hadis, dan problem validitas hadis.

Kamis, 18 Juli 2013

Muhammad Sebagai Manusia dan Rasul

oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir

PENDAHULUAN
Sudah menjadi penetahuan umum bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam, dimana Nabi Muhammad mempunyai wewenang otoritatif dalam pembentukan sebuah hukum, hal ini merupakan konsekuensi logis dari eksistensi Muhammad sebagai Rasulullah.
Nabi Muhammad yang dalam keniscayaannya menjadi panutan bagi ummat manusia khususnya ummat Islam sebagaimana firman Allah:      وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”[1]
Ayat ini mengisyaratkan bahwa setiap hal yang bersember dari beliau dalam dugaan umumnya memiliki unsur tuhanisme yag kental, asumsi ini dimunculkan atas dasar penafsiran kata رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ yaitu: Nabi Muhammad merupakan Rahmat pada setiap dimensi totalitas jagad raya mulai dari malaikat, jin, manusia, tumbuh-tumbuhan[2] dan seterusnya, dimana terdapat garansi jaminan dari Allah dalam pribadi Nabi Muhammad sebagai layak menjidi patron bagi umat manusia namun apakah semua hal yang bersumber dari Nabi Muhammad yang selanjutnya disebut hadis dalam totalitasnya harus diikuti oleh umatnya atau lebih jauhnya apakah memiliki berdimensi syar’i atau bersifat umum dan tidak mengikat?
Dalam makalah ini penulis mencoba mengulas hal-hal yang erat kaitannya dengan deskripsi diatas, seperti halnya terkait dengan substansi Nabi Muhammad merupakan manusia biasa.

Kamis, 11 Juli 2013

Metode dan Aliran Tafsir al-Manar


oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir

PENDAHULUAN
Dalam konteks historisitas keberadaan kitab suci umat beragama, tidak ditemukan kitab suci manapun yang memiliki dimensi yang memuat setiap segmen yang berkaitan dengan manusia dengan segala kompleksitasnya secara komprehensif yang menandingi muatan al-Qur’an, al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang hubungan hamba dengan Tuhannya tetapi juga berbicara tentang ke”manusia”an manusia, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, hukum, sosial dan semacamnya. Dan semua hal itu banyak diuraikan dalam kitab-kitab tafsir yang dikarang oleh para mufassir.
Mengetahui latar belakang dari seorang mufassir serta metode yang digunakan dalam tafsirnya merupakan salah satu faktor yang penting dalam memahami sebuah kitab tafsir karena kehidupan seorang mufassir mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan dan sosial-politik yang ada pada masanya, juga kecenderungan dan karakteristiknya merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan karya tafsir dari mufassir  tesebut, baik dalam metode atau aliran yang digunakan dalam kitab tafsirnya. Oleh karenanya mengenal keperibadian seorang mufassir mempunyai peranan yang penting untuk memahami sebuah kitab tafsir.
Salah satu mufassir yang muncul pada dekade abad 20-an adalah Muhammad Abduh dan Rashi>d Rid}a>, dengan kitab karya tafsirnya  al-Mana>r, dimana dalam hal ini makalah ini akan membahas dua tokoh tersebut dengan karya tafsirnya.

Minggu, 07 Juli 2013

صحيح مسلم

Moh. Hasyim Abd. Qadir


المقدمة
الحمد لله رب العالمين الذي أنزل على عبده الكتاب ليكون للعالمين نذيرا . والصلاة والسلام على سيدنا محمد بن عبد الله الذي أرسله الله تعالى رحمة للناس وآتاه الحكمة وجوامع الكلم وعلمه ما لم يكن يعلم وكان فضل الله عليه عظيما وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
 أما بعد فإن السنة هي المصدر التشريعي الثاني - من المصادر المتفق عليها لدى المسلمين - بعد كتاب الله عز و جل فهي أصل من أصول الدين ومنها خصيب للتشريع ودليل أساسي من أدلة الأحكام تعرفنا حكم الله سبحانه وتعالى في كل كبير وصغير فهي جامعة مانعة عامة شاملة لا تفوتها شاردة ولا واردة إلا وقد أعطتها حكما شرعيا فيها بيان لما كان وما سيكون وفيها تنظيم عملي رائع لشؤون الحياة مستوحى عن الله تعالى خالق الحياة ومن يحيا ومرتبط بمالك الملك والملكوت الذي لا يعزب عنه مثقال ذرة في الأرض ولا في السماء . فقلما تحدث حادثة أو تنزل نازلة إلا ونجد في السنة المطهرة الحكم الشافي والبيان الوافي لها .
فهذه الكتابة مقالة تحت الموضوع "صحيح مسلم" 

Sabtu, 29 Juni 2013

علم المتن

Moh. Hasyim Abd. Qadir
علم المتن
المتن: هو ما انتهى إليه السند من الكلام.
وهو المقصود من أبحاث المصطلح، ليعرف ما تقبل نسبته إلى قائله، ومالا يقبل، وقد سبق ضابط ذلك في الباب السابق بحمد اله تعالى.
وقد تعرض المحدثون لدراسة المتن من جوانبه العديدة الأخرى استكمالا لبحثهم في القبول والرد، واستيفاءًا لما يحتاج إليه الباحث. ولدى استقراء هذه الأنواع من علوم الحديث وجد أنه يمكن تقسيمها إلى ثلاث زمر هي:
أولا: علوم المتن من حيث قائله، وهي أربع:
                  ·الحديث القدسي،
                  ·المرفوع،
                  · الموقوف،
                  ·المقطوع.
ثانيا: علوم شارحة للمتن، يبحث منها:
                  ·غريب الحديث،
                  ·أسباب ورود الحديث،
                  ·ناسخ الحديث ومنسوخه،
                  ·مختلف الحديث،
                  ·محكم الحديث.
ثالثا : علوم تنشأ من مقابلة المتن المروي بالروايات والأحاديث
الأخرى.

Jumat, 28 Juni 2013

Aborsi

oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir


PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang manyoritas penduduknya beragama Islam dan kental dengan adat ketimuran, ini melambangkan Indonesia sebagai negara yang serat akan nilai-nilai relegius, namun dewasa ini kesan tersebut mulai dicederai dengan berbagai kasus yang bisa menghilangkan nilai-nilai tersebut, ini terjadi khususnya didunia anak muda, salah satunya adalah maraknya kasus aborsi. 
Wacana kasus aborsi yang terjadi di Indonesia  banyak termotifasi dari akibat pergaulan bebas, mulai dari bangku sekolah, perguruan tinggi sampai eksekutif muda dan berbagai kalangan lainnya, sungguh memprihatinkan bila hal semacam ini terus menurus terjadi dalam masyarakat Indonesia karena kasus ini bisa memporak-porandakan nilai-nilai normatif yang ada.
Aborsi bukan sekedar masalah agama semata tapi ini juga berkaitan dengan problem sosial (etika/moral) selain juga ada keterkaitan dengan medis, namun penekanan bahasan disini adalah pandangan Islam dan hukum positif  terhadap aborsi dan bagaimana sanksi hukum bagi pelaku aborsi itu sendiri, sehingga kiranya ini bisa menjadi telaah masyarakat khususnya kaum remaja.

Jumat, 21 Juni 2013

Shi'ah Imamiyah, Ismailiyah dan Zaydiyah

oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir


 PENDAHULUAN
Beragamnya pemikiran, aliran dan sekte dalam satu sisi adalah sebuah kearifan dimana memberikan ruang keleluasaan dalam memahami sebuah obyek dan mengaktualisasikan fungsi logika dalam bernalar namun disisi yang lain keragaman dan perbedaan bisa menjadi momok yang menakutkan untuk memecah belah kerukunan.
Dalam fakta historis, Islam kaya dengan khazanah keberagamanan pemikiran baik dalam bidang teologi, hukum, filsafat, tasawuf dan politik. Shi’ah adalah salah satu aliran teologi dalam Islam yang memiliki setidaknya lima sekte yaitu; kaisaniyah, zaidiyah, imamiyah, ghulat dan ismailiyah[1]. Sekte-sekte ini mucul karena dialektika imamah atau kepimimpinan[2] sesudah terbunuhnya Husain di karbala.      

“Filsafat al-‘Ilm fi al-Qarn al-‘Ishrin” Karya Yumna Tarif al-Khuli

oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir



BAHASAN
1.    Ilmu Dalam Kajian Filosofis-Historisnya
Dikatakan bahwa ilmu tidak memikirkan tentang dirinya sendiri, karena tugas  ilmu adalah sebagi pembenaran dan melakukan pembaharuan dan keberadaan ilmu sendiri dalm sejarahnya adalah sejarah keberadaan akal manusia dengan interaksi antar akal dengan hal yang bersifat eksprimental dan visual, oleh sebab ilmu tidak memikirkan tentang dirinya sendiri, maka disinilah peran filsafat ilmu dengan menjelaskan metodologi-metodologi ilmu, karakteristik ilmiah, syarat-syaratnya dan lain sebagainya yang secara general ini disebut sebagia epistimologi, maka filsafat ilmu merupakan satu-satunya media resmi dalam membicarakam tentang seluk-beluk ilmu dan ia diperlukan untuk memahami esensi suatu ilmu.
Filsafat ilmu menjadi pembahsan akademik secara murni pada paru pertama abad sembilan belas dan pada abad sembilan belas inilah ilmu modern mulai tumbuh dan berkembang pesat, tapi walaupun demikian tokoh yang meletakkan dasar-dasar perkembangan ilmu modern adalah: R. Descartes (1596-1650) yang disebut sebagai bapak filsafat modern  yang berasumsi bahwa akal merupakan barometer berpikir manusia untuk mengetahui segala sesuatu, dan F. Bacon (1561-1626) yang disebut sebagai bapak Empirisme yang beranggapan bahwa pengetahaun yang benar adalah pengetahuan yang diterima melalui inderawi dan fakta atau kenyataan.

Tafsir Sufi

oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir

PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab yang hidup, ia tidak diturunkan diruang yang kosong melainkan ia selalu berinteraksi dengan keberadaan manusia, karenanya tidak dapat dipungkiri walaupun kebenaran al-Qur’an bersifat absolute namun kecenderungan manusia dalam tendensi berpikirnya akan melahirkan bergai macam corak dan aliran penafsiran, namun hal ini perlu disikapi sebagai khazanah dalam “menghidupkan” ayat-ayat al-Quran, dan salah satu diantara aliran penafsiran yang berkembang adalah tafsir sufi.
Ada wacana yang berhembus tentang kontroversialnya aliran penafsiran tafsir sufi dengan produk tafsirnya, hal ini tidak bisa disebabakan oleh keterkaitannya tafsir sufi dengan ciri utama Tasawuf yang lebih menekankan dzauq (rasa) maka yang dimunculkan dalam penafsirannya lebih pada dimensi esoteris (ruhani, batiniah), dengan hal inilah tafsir sufi terlihat berbeda dengan tafsir yang lain, maka tidak jarang bila tafsir sufi kadang disebut juga ta’wil karena tafsir sufi banyak berhubungan dengan “rahasia-rahasia” di balik teks lahiriah (literal).

Kamis, 20 Juni 2013

Konsep Mujmal Dalam Al-Qur'an

oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir


1.        Pengertian Mujmal
Secara bahasa, al-Mujmal adalah sesuatu yang terkumpul (al-Majmu’)[1]. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang tidak jelas maksudnya kecuali dengan adanya qari>nah shari’yah yang dapat menghilangkan kesamaran dan menerangkan maksudnya,[2] atau suatu lafal yang samar dan tidak diketahui maknanya kecuali dengan adanya keterangan.[3]
Mujmal terjadi karena tidak ada qari>nah  lafal yang menunjukkan pada makna yang dimaksud.[4]
             Dari definisi diatas memberikan sebuah pemahaman bahwa al-Mujmal adalah lafal yang memiliki makna global dan tidak jelas maknanya, sehingga membutuhkan keterangan lain untuk memperjelas.




2.     Pembagian Mujmal
     Kha>liq Abd Rahman dam Usu>l al-Tafsi>r Wa Qawa>’iduh-nya membagi mujmal dalam tiga macam[5] yaitu:
a.       Lafad yang maknanya tidak populer/tidak dimengerti sebelum ada penjelasan tentannya, contoh:
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا[6]
     Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.  
     Kata هلوعا disini tidak popular digunakan sehingga menjadi mujmal akan tetapi pada ayat selanjutnya Allah menjelaskan makna kata هلوعا tersebut. Penjelasan Allah dari kata هلوعا ini menyebabkan Mujmal dari kata هلوعا hilang, yaitu:
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا () وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا [7]
20. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah,
21. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir,
     Adapun Sayyid Qut}b dalam muatan ayat ini memahminya sebagai salah satu sifat manusia[8], artinya keluh kesah dan kikir merupakan bagian dari sifat yang dimiliki oleh manusia bahkan dikatakan bahwa salah satu materi yang dijelaskan dalam surat al-Ma’a>rij ini mengenai fragmentasi jiwa manusia baik dalam kondisi iman dan kering dari keimanan ataupun saat senang dan susah.
b.      Lafat yang makna bahasa dimengerti tetapi terjadi transformasi makna yaitu dari makna secara bahasa menjadi makna secara syari’ah seperti shalat, zakat dan riba yang semua itu dijelaskan dalam hadis. Contoh:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ[9]
43. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ[10]
110. Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ[11]
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
     Ayat-ayat diatas ini masih mujmal yang butuh terhadap sebuah penjelasan dan penjelasan terhadapnya di jelaskan oleh Rasulullah dalam hadis-hadis beliau tentang bagaimana tatacara shalat, bentuk-bentuk riba dan lain sebagainya.
Contohnya adalah tentang tata cara shalat, Rasulullah bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
c.       Lafad yang memiliki makna ganda dan maksud tujuan dari lafad itu satu oleh karenanya penjelasannya dengan cara mencari keterangan dari al-qur’an atau hadis.
Sedangkan Jala>l al-Di>jn al-Suyu>ti> dalam al-Itqa>n-nya menjelaskan sebab-sebab mujmal sebagai berikut[12]:
a.    Lafal Mushtarak  Yang Tidak Ada Qari>nah-nya.
            Mushtarak adalah: lafal atau kalimat yang mempunyai makna berbeda-beda,[13] yaitu satu lafal mempunyai makna lebih dari satu. Contoh:
والمطلقات يتربسن بأنفسهن ثلاثة قروء (البقرة: 237)    [14]
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’
            Lafal quru’ yang terdapat pada ayat di atas dapat diartikan masa haid atau masa suci.[15] Dengan demikian  قروء  adalah lafal yang dihadapkan pada dua kenyataan  yang berbeda, yaitu masa haid dan masa suci.[16]

b.    Sebab ada lafal yang dibuang.
           Contoh: وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ[17]
           Lafad yang dibuang pada ayat ini masih mujmal. Apakah yang dibuang pada ayat ini lafal في atau عن. Dalam ayat ini menyimpan dua makna yaitu فى  ataus عن  Kalau lafal في  betemu  kalimat وترغبون, maka mempunyai makna senang atau suka, apabila lafal عن yang bertemu kalimat وترغبون, maka mempunyai makna benci.
c.    Kontrofersi tentang kembalinya d}ami>r.
Contoh:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَكْرُ أُولَئِكَ هُوَ يَبُور[18]
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik[19] dan amal yang saleh dinaikkan-Nya[20]. dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur”.
           D}ami>r pada ayat ini masih mujmal. Belum diketahui secara jalas, kelafad mana d{ami>r tersebut kembali. Apakah kembali kepada fail-nya yaitu Allah, atau kembali pada obyeknya yaitu amal salih.
d.    Ada dua kemungkinan antara huruf at}af  atau isti’naf.
           Dalam sebuah ayat terdapat huruf “wawu”, apakah huruf “wawu”dalam ayat ini berfungsi sebagai huruf athaf atau huruf isti’naf. Seperti contoh ayat yang berbunyi:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ [21]
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat,[22] itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[23]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya, berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
           Huruf “wawu” pada ayat diatas kedudukanya masih mujmal, apakah “wawu” berfungsi sebagai at{af atau isti’naf.
Lafal wawu  pada kata والراشخون dalam ayat di atas diragukan apakah at}af atau isti’naf . Jika wawu dianggap sebagai huruf  at}af, maka berarti يعلم تأويله  والراشخون فى العلم. Atau jika wawu  tersebut adalah wawu  isti’naf, maka bisa difahami maksud ayat tersebut dengan:
 فإن الله وحده الذي يعلم تأويله [24]
e.    Keasingan Lafal
           Bahasa arab yang lafalnya masih asing sehingga  maknanya susah dimengerti oleh setiap pembaca. Oleh sebab itu, untuk memahami makna lafal tersebut membutuhkan penjelas.
Contoh:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[25] apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
f.     Kalimat Yang Susah Atau Jarang Terpakai.
          Dalam ayat al-Qur’an terdapat kalimat yang maknanya sulit atau susah. Seperti dalam contoh ayat yang berbunyi :
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ () تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ () يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ[26]
“Apakah akan aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaitan- syaitan itu turun?
Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa,
Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta”

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ () ثَانِيَ عِطْفِهِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَنُذِيقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَذَابَ الْحَرِيقِ[27]
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya[28],
Dengan memalingkan lambungnya[29] untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. ia mendapat kehinaan di dunia dan dihari kiamat Kami merasakan kepadanya azab neraka yang membakar”.

وَأُحِيطَ بِثَمَرِهِ فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلَى مَا أَنْفَقَ فِيهَا وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا[30]
Dan harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan Dia berkata: "Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku".

          Yang dimaksud dalam ayat pertama adalah mendengarkan, sedangkang ayat kedua adalah orang yang sombong, adapun yang dimaksud dalam ayat yang terakhir adalah penyesalan. Dengan demikian, dengan susahnya dalam memahami kalimat yang terdapat pada ayat diatas,  maka kalimat-kalimat ini masuk dalam kategoi mujmal.
g.    Mendahulukan dan Mengakhirkan.
           Susunan kalimat ayat al-Qur’an berbeda dengan susunan maknanya apabila ditulis. Seperti contoh ayat yang berbunyi:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ [31]
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu Amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui".
            Bunyi ayatnya adalah يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا tapi makna yang dimaksud adalah, يسألونك عنها كأنك خفي.. Kebalikan yang dinukil.

3.    Hukum Mujmal
            Apabila terdapat lafad yang Mujmal karena sebab lafad mushtarak, lafal yang asing, ataupun sebab yang lain, maka harus dikembalikan kepada syari’ untuk menjelaskan ke-Mujmal-an tersebut. Namun apabila tidak terdapat penjelasan dari syari’ tentangnya maka termasuk Mujmal Mushkil, oleh karenanya kalau terjadi demikian maka jalan berijtihad sangat terbuka untuk  memahami makna yang masih mujmal tersebut.[32] Sedangkan menurut Bakar Ismail, “jika tidak ada keterangan yang jelas terhadap sesuatu yang masih mujmal, maka ditetapkan untuk mengamalkan sesuatu yang masih mujmal tersebut.”[33]


[1] Kha>liq Abd Rahman, Usu>l al-Tafsi>r Wa Qawa>’iduh (Bairut: Da>r al-Nafa>is, 1986) 352
[2]Muhammad Bakar Isma>’i>l, Dira>sat fi ‘Ulu>m al Qur’a>n (Mesir: Da>r al Manar, 1991), 265.
[3]Abdul Hamid Hakim, Al Baya>n (Jakarta:al Sa’idiyah, tt) 70. Lihat juga Ali Ibnu Muhammad al-Jurja>ni>, Kita>b al Ta’ri>fat (Beirut: Da>r al Kutub al Ilmiyah, 1988), 204.
[4] Abdul Karim Zaidan, al Wajiz fi Us}u>l al Fiqh, 352. Lihat juga Bakar Isma>’i>l, Dira>sah fi ‘Ulu>m al Qur’a>n, 265.
[5] Kha>liq Abd Rahman, Usu>l al-Tafsi>r Wa Qawa>’iduh, 352-353
[6] QS: al-Ma’a>rij, 19
[7] QS: al-Ma’a>rij, 20
[8] Sayyid Qut}b. Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n (Maktabah al-Sha>milah)
[9] QS. Al-Baqarah. 43
[10] QS. Al-Baqaah. 110
[11] QS. Al-Baqrah. 278
[12] Jalaluddin Abdur Rahman al-Suyu>t}i, al Itqa>n fi> ‘Ulu>m al Qur’an, vol 2 (Bairut: Da>r al-Fikr) 18-19
[13] Pendapat Bazdawi yang dinuqil oleh Khalid Abd Rahman al-Ik dalam kitab usul al Tafsir waqawaiduhu,(Syiria: Da>r al-Nafa>’is, 2007), 392.
[14] QS. al Baqarah: 237.
[15] Abi al-Husain Muhammad bin Ali al-Tayyib, al Mu’tamad fi> Us}u>l al Fiqh, Juz 1, (Beirut: Da>r al Kutub al Ilmiyah, tt,), 306.
[16] Imam Syamsuddin Mahmud bin Abdur Rahman al As}fiha>ni>, Sharh}u al Minha>j fi> ‘Ilmi al Us}u>l, juz 1, (Riya>d: Maktabah al Rusyd, 1999), 437.
[17] QS, al-Nisa>’, 127
[18] QS, Fa<tir, 10
[19] Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa Perkataan yang baik itu ialah kalimat tauhid Yaitu laa ilaa ha illallaah; dan ada pula yang mengatakan zikir kepada Allah dan ada pula yang mengatakan semua Perkataan yang baik yang diucapkan karena Allah
[20] Maksudnya ialah bahwa Perkataan baik dan amal yang baik itu dinaikkan untuk diterima dan diberi-Nya pahala.
[21] QS. Ali-Imaran. 7
[22] Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
[23] Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.

[24] Muhammad Bakar Isma’il, Dira>sah fi> ‘Ulu>m al Qur’an, (Mesir, Dar al Manar, 1991), 265
[25] Kawin lagi dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain.
[26] QS. Al-Syu’ara’ 221-223
[27] QS. Al-Haj. 8-9
[28] Maksud yang bercahaya Ialah: yang menjelaskan antara yang hak dan yang batil.
[29] Maksudnya: menyombongkan diri.
[30] QS. Al-Kahfi. 42
[31] QS. Al-A’raf. 187
[32] Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Us}ul al Fiqh,  98.
[33] Muhammad Bakar Isma>’i>l, Dira>sat fi> Ulu>m al Qur’a>n, 269