Jumat, 21 Juni 2013

Tafsir Sufi

oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir

PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab yang hidup, ia tidak diturunkan diruang yang kosong melainkan ia selalu berinteraksi dengan keberadaan manusia, karenanya tidak dapat dipungkiri walaupun kebenaran al-Qur’an bersifat absolute namun kecenderungan manusia dalam tendensi berpikirnya akan melahirkan bergai macam corak dan aliran penafsiran, namun hal ini perlu disikapi sebagai khazanah dalam “menghidupkan” ayat-ayat al-Quran, dan salah satu diantara aliran penafsiran yang berkembang adalah tafsir sufi.
Ada wacana yang berhembus tentang kontroversialnya aliran penafsiran tafsir sufi dengan produk tafsirnya, hal ini tidak bisa disebabakan oleh keterkaitannya tafsir sufi dengan ciri utama Tasawuf yang lebih menekankan dzauq (rasa) maka yang dimunculkan dalam penafsirannya lebih pada dimensi esoteris (ruhani, batiniah), dengan hal inilah tafsir sufi terlihat berbeda dengan tafsir yang lain, maka tidak jarang bila tafsir sufi kadang disebut juga ta’wil karena tafsir sufi banyak berhubungan dengan “rahasia-rahasia” di balik teks lahiriah (literal).

PEMBAHASAN
A.  PengertianTafsir Sufi
Tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi.[1] Dan Sufisme atau Tasawwuf adalah ajaran-ajaran yang mempunyai tujuan memperoleh hubungan secara langsung dengan tingkat kedekatan yang tinggi kepada Allah SWT, karenanya pemahaman seseorang dalam memahami makna Al-Qur’an dipengaruhi derajat dan kualitas keruhaniannya sehingga hasil penafsiran para sufi mempunyai corak) atau karakter yang kental dengan penafsir.
Sufisme atau tasawuf[2] adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan seorang hamba untuk mendekatkan diri dengan Tuhannya dengan adanya komunikasi dan dialog antara manusia dengan Allah SWT sebagaimana kata al-Junaidi seperti yang dikitip oleh Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag: ان يكون مع الله بلا علاقة[3]. dengan tujuan memperoleh hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan, dengan kesadaran bahwa ia berada di hadirat Tuhan.
Ibn al 'A‘rabi> menjelaskan bahwa tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis sesuai dengan pandangan sufistik seorang sufi.[4] Mufassir sufi beranggapan bahwa terdapat makna ba>t}in yang tersembunyi (esoterik) dibalik makna z{a>hir dari ayat-ayat al-Qur'an. Oleh karena itulah mufassir dari aliran sufi berusaha menafsirkan al-Qur'an dari segi ba>t}in dan mengungkap makna esoteriknya dan tidak hanya menekankan pada makna z{a>hirnya saja. Walaupun demikian al-Zarkashi> sebagaimana dikutip oleh al-Zarqa>ni mengatakan bahwa ungkapan penafsiran yang dilakukan oleh para sufi bukanlah sebuah tafsir melainkan hanya berupa makna-makna yang di temukan ketika membaca al-Qur’an.[5]
Adapun awal kemunculan tafsir sufi masih dalam simpang siur karena tidak ditemukan data akurat tentang awal kemunculan aliran tafsir ini namun tentunya aliran tafsir ini berkembang perkembangan sufisme itu sendiri.
Sedangkan sandaran penafsir sufi berpedoman pada hadis Nabi Muhammad :
لِكُلِّ ايَةٍ ظَهْرٌ وَبَطْنٌ وَلِكُلِّ حَرْفٍ حَدٌّ وَلِكُلِّ حَدٍّ مَطْلَعٌ
“Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin.Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya.”.
Hadits ini yang dijadikan justifikasi aliran tafsir  sufi bahwa dibalik makna z}a>hirnya redaksi teks al-Qur’an terkandung makna ba>t}in. dan makna ba>t}in inilah yang merupakan makna yang penting dalam memahami ayat-ayat Allah sebagaimana Nashiruddin Khasru mengibaratkan makna z{a>hir  seperti badan, sedang makna ba>t}in seperti ruh; dan badan tanpa ruh adalah substansi yang mati.[6]
Dengan demikian, maka bisa dipahami mengapan para sufi berupaya mengungkap makna-makna ba>t}in dalam Al-Qur’an karena penafsiran semacam ini bukanlah merupakan hal yang aneh atau asing (Gharib) akan tetapi merupakan sesuatu yang inheren dengan al-Qur’an walaupun tidak ada penalaran yang jelas yang menghubungkan antara teks al-Qur’an dengan ungkapan makna ba>t}in yang dilakukan para sufi kecuali bila teks al-Qur’an dilihat sebagai isyarat bagi makna batin tertentu, Karena itu, tafsir sufi juga sering disebut dengan tafsir isyari, walaupun begitu ada yang membedakan anatara keduanya.
 Al-Zarqani berpendapat bahwa kedua istilah itu sama, yaitu menunjuk pada tafsir yang dikemukakan oleh kaum sufi dengan pengertian bahwa: “menafsirkan al-Qur’an tidak dengan makna z}a>hir, melainkan dengan makna ba>t}in, karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi namun demikian tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna z}a>hirnya,[7] pendapat ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh ‘Ali Iyazi membedakan keduanya berdeasarkan tingkat apresiasinya terhadap makna z}a>hir al-Qur’an yaitu tafsir yang lebih mengedepankan makna-makna ba>t}in dan kurang memerhatikan makna z{a>hir adalah tafsir sufi, sedangkan tafsir yang menggali makna-makna ba>t}in tanpa mengabaikan makna z}a>hir adalah tafsir isyari namun pendapat ini tidak popular[8].
              Walaupun demikian tafsir sufi ini berbeda dengan tafsir yang lakukan oleh kaum Ba>t}iniyah,[9] walaupun mereka juga menggali tafsir ba>tin al-Qur’an karena  Ba>t}iniyah beranggapan bahwa makna yang sebenarnya adalah makna ba>t}in dengan membunuh makna z}a>hirnya, dan hal ini dilakukan bertujuan untuk menafikan shariat.[10] Sedanga para sufi tidak demikian, mereka masih memerhatikan makna z}a>hir dan tidak untuk menafikan shariat.
     
B.   Macam-macam Karakteristik Tafsir Sufi
Tafsir Sufi mempunyai corak dan karakteristik tertentu. pertama adalah Tafsir Sufi Naz}ari> dan yang kedua adalah Tafsir Sufi 'Ishari>. Keduanya dikategorikan sebagai Aliran Tafsir Sufi. Hal ini karena dipengaruhi aliran-aliran tasawuf yaitu tasawuf teoritis (falsafi) dan tasawuf praktis (akhalaqi). Tasawuf teoritis adalah tasawuf yang didasarkan pada pengamatan, pembahasan dan pengkajian dengan menggunakan filsafat sebagai saranya, adapun tasawuf praktis adalah tasawwuf yang didasarkan pada latihan-latihan keruhanian  (Riya>d}ah).
Dibawah ini akan dipaparkan contoh dua corak tafsir sufi tersebut
1.    Contoh Tafsir Sufi Naz}ari>
وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًا
Dan Kami angkat martabatnya (Idris a.s.) ke tempat yang tinggi[11].
Ibnu Arabi menafsirkan keberadaan Nabi Idris dalam ayat ini dengan pandangan beliau bahwa: tempat yang tinggi adalah tempat beredarnya ruh alam benda-benda langit (falak) yaitu falak matahari. Disitulah kedudukan ruhani nabi Idris a.s.[12] jika diperhatikan pola penafsiran ini dipengaruhi oleh filsafat emanasi yang mengajarkan bahwa alam ini terjadi dari pancaran akal pertama yang kemudian membentuk falak-falak yang bertingkat-tingkat

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ  مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
Wahai sekalian manusia bertaqwalah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri (jenis).[13]
 Ibu Arabi menafsirkan ayat ini dengan: “Bertaqwalah kepada Tuhanmu. Jadikanlah bagian yang z}a>hir dari dirimu sebagai penjaga bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian batinmu yang adalah Tuhanmu itu, sebagai penjaga bagi dirimu. Karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian, maka jadilah kalian pemelihara-Nya dalam celaan, dan jadikanlah Dia pemelihara kalian dalam pujian, niscaya kalian akan menjadi orang-orang yang paling beradab di seluruh alam”.[14] Jika diperhatikan tafsiran ini mengandung unsur Wah}dah al Wuju>d.

2.    Contoh Tafsir Sufi 'Ishari>
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Barangsiapa yang ingin beriman, beirmanlah dan barangsiapa yang ingin kafir, kafirlah![15] $
Menurut al-Alusi, ayat ini tidak menunjukkan adanya free will dan free act sebagaimana yang diklaim oleh kaum Mu’tazilah. Hal ini, karena free will dan free act bertentangan dengan dua hal; Pertama, bila untuk berbuat manusia perlu berkehendak, maka untuk membuat kehendak manusia juga perlu berkehendak, begitu seterusnya, sehingga akan terjadi proses teologis yang tidak ada ujung pangkalnya. Kedua, Allah SWT telah berfirman:
وما تشآءون الا أن يشاء الله  إن الله كان عليما حكيما
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
 Ayat ini jelas menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah.Demikianlah menurut al-Alusi.[16]

C.   Perbedaan antara Tafsir Sufi Naz}ari> dan Tafsir Sufi 'Ishari>
Al Dhahabi dalam al Tafsi>r wa al Mufassiru>n menjelaskan beberapa perbedaan yang ia temukan antara Tafsir Sufi Naz}ari> dan Tafsir Sufi Ishari>[17]:
1. Tafsir sufi Naz}ari> dibangun atas dasar ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh seorang Sufi dan kemudian barulah menafsirkan al-Qur’an secara Naz}ari> untuk dijadikan dalil penguat ajaran Tasawwufnya. Sedangkan tafsir sufi 'Ishari> bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga dapat menemukan dan menyingkap isyarat-isyarat yang terkandung dalam ayat al-Qur'an .
2. Tafsir sufi Naz}ari penafsirnya menganggap bahwa semua ayat al-Qur'an mempunyai makna-makna tertentu dan dan tidak terdapat makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi Ishari> penafsirnya menganggap tidak hanya terdapat satu makna dalam ayat-ayat al-Qur'an, namun juga beranggapan bahwa dalam ayat al-Qur'an terdapat makna lain yang terkandung dalam ayat al-Qur'an. Dengan kata lain selain makna Z{ahi>r yang terdapat dalam al-Qur'an juga ada makna Bat}i>n.

D.  Kitab-kitab Tafsir Shufi
1. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tutsuri (w.283 H)
2. Haqa’iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412 H)
          3. Arais Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Qur’an, karya Imam As-Syirazi (w.606 H).


SIMPULAN
1.      Tafsir Sufi adalah Tafsir yang ditulis dan dikarang oleh seorang sufi atau dengan memunculkan makna yang tersembunyi (rahasia) yang terdapat pada al-Qur'an.
2.      Tafsir sufi memadupadankan makna Z{ahi>r dan makna Bat}i>n ayat al-Qur'an, walaupun tidak jarang penafsirannya tidak sesuai dengan makna z{ahir ayat al-Qur’an.
3.      Tafsir Sufi lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran Penulisnya. Bahkan tidak sedikit yang penafsirannya sama sekali tidak sesuai dengan makna Z{ahir a>yat-a>yat yang di tafsirkannya.
4.    Terdapat dua corak dalam tafsir sufi yaitu: naz{ari dan Ishari>.
5.      Tafsir sufi naz{ari adalah tafsir produk sufi teoritis dan tafsir sufi ishari adalah produk sufi praktis.
Daftar Pustaka
Alu>si (al), Abu> al Fadl Mahmu>d, Ruh al Ma’ani> fi Tafsi>r al-Qur'an‘Az{i>m wa Sab’I al Matsa>ni>, Beirut, Da>r Ihya>' al Tura>ts al’A'rabi.
Dhahabi> (al), Muhammad H{usain. al Tafsi>r wa al Mufassiru>n, Vol 2. Kairo: Maktabah al Wahbah, 1989
Iya>zi. Muhammad ‘Ali. al-Mufassiru>n Haya>tuhum wa Manhajuhum, Teheran: Mu’assash al-Tiba’iyah wa Nasyr Wizarah al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1415 H.
Qat}t}a>n (al), Manna>‘ Khali>l. Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al Qur’a>n. Riya>d}: Manshu>ra>t al ‘As}r al H{adi>th 1973.
Shihab, Moh Quraish, Sejarah & Ulum al- Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Shurbasi (al), Ahmad Qis}s}ah al-Tafsir, Beirut: Dar-al-Jayl, 1988
Solihin, M. dan Anwar, Rosihon. Ilmu Tasawuf,  Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Zarqa>ni (al),  Muhammad ‘Abd al ‘Az}i>m. Mana>hil al ‘Irfa>n fi ‘Ulu>m al-Qur'an,  Vol 2. Bairut: Dar al Kita>b al ‘Arabi>, 1986.


[1] Prof. Dr. Moh Quraish Shihab, Sejarah & Ulum al- Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) 180
[2] Terdapat perbedaan pendapat prihal asal-usul kata sufi, ada yang mengatakan berasal dari: (1) ahl al-Suffah, yaitu sekelompok sahabat yang di selalu berdiam diri di serambi-serambi masjid, (2) shaf, dinisbatkan pada para orang yang selalu berada pada barisan pertama dalam shalat berjamaah, (3) Shafa, yang berarti bersih atau suci, (4) Sophos, kata yunani yang berarti hikmat, dan (5) Shuf, kain wol kasar yang biasa dipakai para sufi.
[3] Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag. Dr Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) h. 14
[4] Manna>‘ Khali>l al Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al Qur’a>n (Riya>d}: Manshu>ra>t al ‘As}r al H{adi>th 1973), 356.
[5] Muhammad Abdul Az}i>m al-Zarqa>ni, Mana>hil al-Irfa>n fi> al-‘Ulu>l al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), V.2 h. 78
[6] Ahmad al-Shurbasi, Qis}s}ah al-Tafsir (Beirut: Dar-al-Jayl, 1988), h. 89
[7] Muhammad Abdul Az}i>m al-Zarqa>ni, Mana>hil al-Irfa>n fi> al-‘Ulu>l al-Qur’an, h.79
[8] Muhammad ‘ali Iya>zi, al-Mufassiru>n Haya>tuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu’assash al-Tiba’iyah wa Nasyr Wizarah al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1415 H). h.57-61
[9] Mereka adalah salah satu sekte dari Shi’ah ‘Ismailiyyah; mereka yang mengklaim bahwa setelah Ja’far al-Shadiq Imamah jatuh ke tangan anak sulungnya yang bernama Ismail. Ciri utama ajaran mereka adalah menafsirkan aspek lahir ajaran Islam dan menganggap bahwa segi-segi lahir hanya untuk orang-orang awam yang tidak sempurna rohaniya. Sedangkan bagi mereka yang cerdas dan sempurna rohaninya, ritual ibadahnya tidak lagi penting.
[10] Muhammad Abdul Az}i>m al-Zarqa>ni, Mana>hil al-Irfa>n fi> al-‘Ulu>l al-Qur’an, h.79
[11] QS. Maryam. 57
[12] al Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al Qur’a>n, 356
[13] QS. An-Nisa’. 1
[14] al Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al Qur’a>n, 356.
[15] QS. Al-Kahfi. 29
[16] Abu> al Fadl Mahmu>d al Alu>si>, Ruh al Ma’ani> fi Tafsi>r al-Qur'an‘Az{i>m wa Sab’I al Matsa>ni>, (Beirut, Da>r Ihya>' al Tura>ts al’A'rabi>,),.266.
[17]Muhammad H{usain al Dhahabi>, al Tafsi>r wa al Mufassiru>n, Vol 2 (Kairo: Maktabah al Wahbah, 1989), 261

Tidak ada komentar:

Posting Komentar