oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah
kitab yang hidup, ia tidak diturunkan diruang yang kosong melainkan ia selalu
berinteraksi dengan keberadaan manusia, karenanya tidak dapat dipungkiri
walaupun kebenaran al-Qur’an bersifat absolute namun kecenderungan manusia
dalam tendensi berpikirnya akan melahirkan bergai macam corak dan aliran
penafsiran, namun hal ini perlu disikapi sebagai khazanah dalam “menghidupkan”
ayat-ayat al-Quran, dan salah satu diantara aliran penafsiran yang berkembang
adalah tafsir sufi.
Ada wacana
yang berhembus tentang kontroversialnya aliran penafsiran tafsir sufi dengan
produk tafsirnya, hal ini
tidak bisa disebabakan oleh keterkaitannya tafsir sufi dengan ciri utama Tasawuf
yang lebih menekankan dzauq (rasa) maka yang dimunculkan dalam penafsirannya lebih pada
dimensi esoteris
(ruhani, batiniah), dengan hal inilah tafsir sufi terlihat berbeda dengan tafsir
yang lain, maka tidak jarang bila tafsir sufi kadang disebut
juga ta’wil karena
tafsir sufi banyak berhubungan dengan “rahasia-rahasia” di balik teks lahiriah
(literal).
PEMBAHASAN
A. PengertianTafsir
Sufi
Tafsir sufi adalah
tafsir
yang ditulis oleh para sufi.[1] Dan Sufisme
atau Tasawwuf adalah ajaran-ajaran yang mempunyai tujuan memperoleh hubungan
secara langsung dengan tingkat kedekatan yang tinggi kepada
Allah SWT, karenanya pemahaman seseorang dalam memahami makna Al-Qur’an dipengaruhi
derajat dan kualitas keruhaniannya sehingga hasil penafsiran para sufi mempunyai corak) atau
karakter yang kental dengan penafsir.
Sufisme
atau tasawuf[2]
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan seorang hamba untuk
mendekatkan diri dengan Tuhannya dengan adanya komunikasi dan dialog antara
manusia dengan Allah SWT sebagaimana kata al-Junaidi seperti yang dikitip oleh
Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag: ان يكون مع الله بلا علاقة[3]. dengan tujuan
memperoleh hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan, dengan kesadaran bahwa ia
berada di hadirat Tuhan.
Ibn al 'A‘rabi>
menjelaskan bahwa tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis sesuai dengan pandangan
sufistik seorang sufi.[4] Mufassir sufi beranggapan
bahwa
terdapat makna ba>t}in yang tersembunyi (esoterik) dibalik makna z{a>hir dari ayat-ayat al-Qur'an.
Oleh karena itulah mufassir
dari aliran sufi
berusaha menafsirkan al-Qur'an dari segi ba>t}in dan
mengungkap makna esoteriknya dan tidak hanya menekankan pada makna z{a>hirnya saja. Walaupun demikian
al-Zarkashi> sebagaimana dikutip oleh al-Zarqa>ni mengatakan bahwa
ungkapan penafsiran yang dilakukan oleh para sufi bukanlah sebuah tafsir
melainkan hanya berupa makna-makna yang di temukan ketika membaca al-Qur’an.[5]
Adapun awal
kemunculan tafsir sufi masih dalam simpang siur karena tidak ditemukan data
akurat tentang awal kemunculan aliran tafsir ini namun tentunya aliran tafsir
ini berkembang perkembangan sufisme itu sendiri.
Sedangkan sandaran
penafsir sufi berpedoman pada hadis Nabi Muhammad :
لِكُلِّ ايَةٍ ظَهْرٌ
وَبَطْنٌ وَلِكُلِّ حَرْفٍ حَدٌّ وَلِكُلِّ حَدٍّ مَطْلَعٌ
“Setiap ayat memiliki makna
lahir dan batin.Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan
memiliki tempat untuk melihatnya.”.
Hadits ini yang
dijadikan justifikasi aliran tafsir sufi
bahwa dibalik makna z}a>hirnya redaksi teks al-Qur’an terkandung makna
ba>t}in. dan makna ba>t}in inilah yang merupakan makna yang penting dalam
memahami ayat-ayat Allah sebagaimana Nashiruddin Khasru mengibaratkan makna z{a>hir
seperti badan, sedang makna ba>t}in
seperti ruh; dan badan tanpa ruh adalah substansi yang mati.[6]
Dengan demikian, maka
bisa dipahami mengapan para sufi berupaya mengungkap makna-makna ba>t}in
dalam Al-Qur’an karena penafsiran semacam ini bukanlah merupakan hal yang aneh
atau asing (Gharib) akan tetapi merupakan sesuatu yang inheren dengan al-Qur’an
walaupun tidak ada penalaran yang jelas yang menghubungkan antara teks al-Qur’an
dengan ungkapan makna ba>t}in yang dilakukan para sufi kecuali bila teks al-Qur’an
dilihat sebagai isyarat bagi makna batin tertentu, Karena itu, tafsir sufi juga
sering disebut dengan tafsir isyari, walaupun begitu ada yang membedakan
anatara keduanya.
Al-Zarqani berpendapat bahwa kedua istilah itu
sama, yaitu menunjuk pada tafsir yang dikemukakan oleh kaum sufi dengan pengertian bahwa:
“menafsirkan al-Qur’an tidak dengan makna z}a>hir, melainkan dengan makna ba>t}in, karena ada
isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi namun demikian tafsir
batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna z}a>hirnya,[7]
pendapat ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh ‘Ali Iyazi membedakan keduanya
berdeasarkan tingkat apresiasinya terhadap makna z}a>hir al-Qur’an yaitu tafsir yang lebih
mengedepankan makna-makna
ba>t}in dan kurang
memerhatikan makna
z{a>hir adalah
tafsir sufi,
sedangkan tafsir yang menggali makna-makna ba>t}in tanpa mengabaikan
makna z}a>hir adalah
tafsir isyari namun pendapat ini tidak popular[8].
Walaupun demikian tafsir sufi ini
berbeda dengan tafsir yang lakukan oleh kaum Ba>t}iniyah,[9] walaupun mereka
juga menggali tafsir ba>tin al-Qur’an karena Ba>t}iniyah
beranggapan bahwa makna yang sebenarnya adalah makna ba>t}in dengan membunuh
makna z}a>hirnya, dan hal ini dilakukan bertujuan untuk menafikan shariat.[10]
Sedanga para sufi tidak demikian, mereka masih memerhatikan makna z}a>hir
dan tidak untuk menafikan shariat.
B.
Macam-macam Karakteristik Tafsir
Sufi
Tafsir Sufi mempunyai
corak dan karakteristik tertentu. pertama adalah Tafsir Sufi Naz}ari>
dan yang kedua adalah Tafsir Sufi 'Ishari>. Keduanya dikategorikan
sebagai Aliran Tafsir Sufi. Hal ini karena dipengaruhi aliran-aliran tasawuf yaitu
tasawuf teoritis (falsafi) dan tasawuf praktis (akhalaqi). Tasawuf teoritis
adalah tasawuf yang didasarkan pada pengamatan, pembahasan dan pengkajian
dengan menggunakan filsafat sebagai saranya, adapun tasawuf praktis adalah
tasawwuf yang didasarkan pada latihan-latihan keruhanian (Riya>d}ah).
Dibawah ini akan
dipaparkan contoh dua corak tafsir sufi tersebut
1.
Contoh Tafsir Sufi Naz}ari>
وَرَفَعْنَاهُ
مَكَانًا عَلِيًا
Dan Kami angkat
martabatnya (Idris a.s.) ke tempat yang tinggi[11].
Ibnu Arabi menafsirkan
keberadaan Nabi Idris dalam ayat ini dengan pandangan beliau bahwa: tempat
yang tinggi adalah tempat beredarnya ruh alam benda-benda langit (falak) yaitu
falak matahari. Disitulah kedudukan ruhani nabi Idris a.s.[12]
jika diperhatikan pola penafsiran ini dipengaruhi oleh filsafat emanasi yang
mengajarkan bahwa alam ini terjadi dari pancaran akal pertama yang kemudian
membentuk falak-falak yang bertingkat-tingkat
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ
مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
Wahai sekalian manusia bertaqwalah kalian
kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri (jenis).[13]
Ibu Arabi menafsirkan ayat ini dengan: “Bertaqwalah
kepada Tuhanmu. Jadikanlah bagian yang z}a>hir dari dirimu sebagai penjaga
bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian batinmu yang adalah Tuhanmu itu, sebagai
penjaga bagi dirimu. Karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian, maka jadilah
kalian pemelihara-Nya dalam celaan, dan jadikanlah Dia pemelihara kalian dalam
pujian, niscaya kalian akan menjadi orang-orang yang paling beradab di seluruh
alam”.[14] Jika diperhatikan
tafsiran ini mengandung unsur Wah}dah al Wuju>d.
2.
Contoh Tafsir Sufi
'Ishari>
فَمَنْ
شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Menurut al-Alusi, ayat ini tidak
menunjukkan adanya free will dan free act sebagaimana yang diklaim oleh kaum
Mu’tazilah. Hal ini, karena free will dan free act bertentangan dengan dua hal;
Pertama, bila untuk berbuat manusia perlu berkehendak, maka untuk membuat
kehendak manusia juga perlu berkehendak, begitu seterusnya, sehingga akan
terjadi proses teologis yang tidak ada ujung pangkalnya. Kedua, Allah SWT telah
berfirman:
وما تشآءون الا أن يشاء
الله إن الله كان عليما حكيما
Dan kamu tidak mampu
(menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa segala
sesuatu terjadi atas kehendak Allah.Demikianlah menurut al-Alusi.[16]
C.
Perbedaan antara Tafsir Sufi
Naz}ari> dan Tafsir Sufi 'Ishari>
Al
Dhahabi dalam al Tafsi>r wa al Mufassiru>n menjelaskan beberapa perbedaan
yang ia temukan antara Tafsir Sufi Naz}ari> dan Tafsir Sufi Ishari>[17]:
1. Tafsir
sufi Naz}ari> dibangun atas dasar ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh
seorang Sufi dan kemudian barulah menafsirkan al-Qur’an secara Naz}ari> untuk
dijadikan dalil penguat ajaran Tasawwufnya. Sedangkan tafsir sufi 'Ishari>
bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh
ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga dapat
menemukan dan menyingkap isyarat-isyarat yang terkandung dalam ayat al-Qur'an .
2. Tafsir
sufi Naz}ari penafsirnya menganggap bahwa semua ayat al-Qur'an mempunyai
makna-makna tertentu dan dan tidak terdapat makna lain yang di balik ayat.
Adapun dalam tafsir sufi Ishari> penafsirnya menganggap tidak hanya terdapat
satu makna dalam ayat-ayat
al-Qur'an, namun juga beranggapan bahwa dalam ayat al-Qur'an terdapat makna
lain yang terkandung dalam ayat al-Qur'an. Dengan kata lain selain makna
Z{ahi>r yang terdapat dalam al-Qur'an juga ada makna Bat}i>n.
D. Kitab-kitab Tafsir Shufi
1. Tafsir
Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tutsuri (w.283 H)
2. Haqa’iq At-Tafsir, karya
Al-Allamah As-Sulami (w.412 H)
3.
Arais Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Qur’an, karya Imam As-Syirazi (w.606 H).
SIMPULAN
1.
Tafsir Sufi adalah Tafsir yang ditulis dan dikarang oleh
seorang sufi atau dengan memunculkan makna yang tersembunyi (rahasia) yang
terdapat pada al-Qur'an.
2.
Tafsir sufi memadupadankan makna
Z{ahi>r dan makna Bat}i>n ayat
al-Qur'an, walaupun tidak
jarang
penafsirannya tidak sesuai dengan makna z{ahir ayat al-Qur’an.
3.
Tafsir Sufi lebih banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Penulisnya.
Bahkan tidak sedikit yang penafsirannya sama sekali tidak sesuai dengan makna
Z{ahir a>yat-a>yat yang di tafsirkannya.
4.
Terdapat dua corak dalam
tafsir sufi yaitu: naz{ari dan Ishari>.
5.
Tafsir sufi naz{ari adalah tafsir produk sufi
teoritis dan tafsir
sufi ishari adalah produk sufi
praktis.
Daftar
Pustaka
Alu>si (al), Abu> al Fadl Mahmu>d, Ruh al Ma’ani>
fi Tafsi>r al-Qur'an‘Az{i>m wa Sab’I al Matsa>ni>, Beirut,
Da>r Ihya>' al Tura>ts al’A'rabi.
Dhahabi>
(al), Muhammad H{usain. al Tafsi>r wa al Mufassiru>n, Vol 2.
Kairo: Maktabah al Wahbah, 1989
Iya>zi. Muhammad
‘Ali. al-Mufassiru>n Haya>tuhum wa Manhajuhum, Teheran: Mu’assash
al-Tiba’iyah wa Nasyr Wizarah al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1415 H.
Qat}t}a>n (al), Manna>‘ Khali>l. Maba>h}ith
fi> ‘Ulu>m al Qur’a>n. Riya>d}: Manshu>ra>t al ‘As}r al
H{adi>th 1973.
Shihab,
Moh Quraish, Sejarah & Ulum al-
Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Shurbasi
(al), Ahmad Qis}s}ah al-Tafsir, Beirut: Dar-al-Jayl, 1988
Solihin, M. dan Anwar, Rosihon. Ilmu
Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
2008.
Zarqa>ni
(al), Muhammad ‘Abd al ‘Az}i>m. Mana>hil
al ‘Irfa>n fi ‘Ulu>m al-Qur'an,
Vol 2. Bairut: Dar al Kita>b al ‘Arabi>, 1986.
[2]
Terdapat perbedaan pendapat prihal asal-usul kata sufi, ada yang mengatakan
berasal dari: (1) ahl al-Suffah, yaitu sekelompok sahabat yang di selalu
berdiam diri di serambi-serambi masjid, (2) shaf, dinisbatkan pada para orang
yang selalu berada pada barisan pertama dalam shalat berjamaah, (3) Shafa, yang
berarti bersih atau suci, (4) Sophos, kata yunani yang berarti hikmat, dan (5)
Shuf, kain wol kasar yang biasa dipakai para sufi.
[3] Prof. Dr.
M. Solihin, M.Ag.
Dr Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) h.
14
[4]
Manna>‘ Khali>l al Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al
Qur’a>n (Riya>d}: Manshu>ra>t al ‘As}r al H{adi>th 1973),
356.
[5] Muhammad Abdul
Az}i>m al-Zarqa>ni, Mana>hil al-Irfa>n fi> al-‘Ulu>l
al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), V.2 h. 78
[6] Ahmad al-Shurbasi, Qis}s}ah
al-Tafsir (Beirut: Dar-al-Jayl, 1988), h. 89
[8] Muhammad
‘ali Iya>zi, al-Mufassiru>n Haya>tuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu’assash al-Tiba’iyah wa Nasyr Wizarah al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1415 H).
h.57-61
[9] Mereka
adalah salah satu sekte dari Shi’ah ‘Ismailiyyah; mereka yang mengklaim bahwa
setelah Ja’far al-Shadiq Imamah jatuh ke tangan anak sulungnya yang bernama
Ismail. Ciri utama ajaran mereka adalah menafsirkan aspek lahir ajaran Islam
dan menganggap bahwa segi-segi lahir hanya untuk orang-orang awam yang tidak
sempurna rohaniya. Sedangkan
bagi mereka yang cerdas dan sempurna rohaninya, ritual ibadahnya tidak lagi
penting.
[14] al
Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al Qur’a>n, 356.
[16] Abu> al
Fadl Mahmu>d al Alu>si>, Ruh al Ma’ani> fi Tafsi>r
al-Qur'an‘Az{i>m wa Sab’I al Matsa>ni>, (Beirut, Da>r Ihya>'
al Tura>ts al’A'rabi>,),.266.
[17]Muhammad H{usain al
Dhahabi>, al Tafsi>r wa al Mufassiru>n, Vol 2 (Kairo: Maktabah
al Wahbah, 1989), 261
Tidak ada komentar:
Posting Komentar