Kamis, 11 Juli 2013

Metode dan Aliran Tafsir al-Manar


oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir

PENDAHULUAN
Dalam konteks historisitas keberadaan kitab suci umat beragama, tidak ditemukan kitab suci manapun yang memiliki dimensi yang memuat setiap segmen yang berkaitan dengan manusia dengan segala kompleksitasnya secara komprehensif yang menandingi muatan al-Qur’an, al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang hubungan hamba dengan Tuhannya tetapi juga berbicara tentang ke”manusia”an manusia, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, hukum, sosial dan semacamnya. Dan semua hal itu banyak diuraikan dalam kitab-kitab tafsir yang dikarang oleh para mufassir.
Mengetahui latar belakang dari seorang mufassir serta metode yang digunakan dalam tafsirnya merupakan salah satu faktor yang penting dalam memahami sebuah kitab tafsir karena kehidupan seorang mufassir mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan dan sosial-politik yang ada pada masanya, juga kecenderungan dan karakteristiknya merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan karya tafsir dari mufassir  tesebut, baik dalam metode atau aliran yang digunakan dalam kitab tafsirnya. Oleh karenanya mengenal keperibadian seorang mufassir mempunyai peranan yang penting untuk memahami sebuah kitab tafsir.
Salah satu mufassir yang muncul pada dekade abad 20-an adalah Muhammad Abduh dan Rashi>d Rid}a>, dengan kitab karya tafsirnya  al-Mana>r, dimana dalam hal ini makalah ini akan membahas dua tokoh tersebut dengan karya tafsirnya.



PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Muhammad 'Abduh dan Rashi>d Ridla>
1.    Riwayat Hidup Muhammad 'Abduh
  1. Biografi Muhammad 'Abduh
Nama lengkap Muhammad 'Abduh adalah Muhammad bin 'Abduh bin Hasan Khairullah, ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr, kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1266 H/1849 M dan wafat pada tahun 1323 H /1905 M. Orang tua Muhammad ‘Abduh adalah seorang dermawan yang sangat dihormati di kampungnya dan sangat mencintai ilmu, sehingga memotivasi Muhammad ‘Abduh untuk menuntut ilmu. Muhammad Abduh adalah seorang ulama besar di al-Azhar, pernah menjabat sebagai Mufti di Mesir, serta menjadi murid dari tokoh yang masyhur, Jamaluddin al-Afghani[1].
Pada  usia 12 tahun ‘Abduh telah hafal al-Qur’an. Pada usia 13 tahun ia dibawa ke Tanta untuk belajar di Mesjid Ahamdi. Mesjid ini sering disebut “Mesjid Syeikh Ahmad”, yang kedudukannya dianggap sebagai level kedua setelah Al-Azhar dari segi menghafal dan belajar al-Qur’an. Pelajaran di mesjid Ahmadi ini ia selesaikan selama 2 tahun namun ‘Abduh merasa tak mengerti apa-apa karena menganggap metode yang diajarkan yang salah yaitu guru-gurunya menyuruh untuk menghafal istilah-istilah tentang nahwu dan fiqh yang tidak dimengerti maksudnya, sedangkan mereka tidak merasa penting apakah muridnya mengerti atau tidak tentang istilah-istilah itu.[2] Inilah latar belakang dari pokok pembaruannya dalam bidang pendidikan di kemudian hari.
Pada umur 16 tahun, tepatnya pada tahun 1865, ‘Abduh menikah dan bekerja sebagai petani. Namun hal itu hanya berlangsung selama 40 hari karena ia harus pergi ke Tanta untuk belajar kembali. Tahun 1866 ‘Abduh meninggalkan isteri dan keluarganya menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Namun ia keluar karena proses belajar yang berlangsung menonjolkan ilmu dan hafalan luar kepala tanpa pemahaman, seperti pengalamannya di Tanta. Inilah juga yang melatarbelakangi ‘Abduh ingin mengadakan pembaruan dalam bidang pendidikan,
Tiga tahun setelah ‘Abduh di Al-Azhar, Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir lalu ‘Abduh bergabung bersamanya. Di bawah bimbingan al-Afghani, ‘Abduh mulai memperluas studinya sampai meliputi filsafat dan ilmu sosial serta politik. Afghani aktif memberikan dorongan kepada murid-muridnya ini untuk menghadapi intervensi Eropa di negeri mereka dan pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu[3].
Jamaluddin al-Afgani mempelopori sebuah gerakan menentang kekuasaan barat yaitu Gerakan Nasional Mesir. Gerakan ini banyak mengecam kebijaksanaan pemerintah Mesir yang terlalu memberikan perhatian kepada penguasa barat, Inggris dan Prancis. Pemerintah Mesir dengan bantuan Barat berusaha menumpas gerakan ini karena dianggap membahayakan. Satu persatu pimpinannya ditangkap dan dipenjarakan, termasuk Muhammad 'Abduh. Setelah dipenjarakan selama tiga bulan 'Abduh diasingkan ke luar negeri.
'Abduh pergi ke Beirut kemudian ke Paris dan disana ia bertemu dengan Jamaluddin dan membentuk gerakan yang diberi nama al-'Urah al-Wusqa> (Ikatan yang kuat). Salah satu kegiatan dari gerakan ini adalah menerbitkan majalah yang diberi nama al-'Urah al-Wusqa> pada tahun 1884. Namun karena tekanan dari pihak Barat terhadap gerakannya tersebut, maka Jamaluddin dan 'Abduh meninggalkan Paris, keduanya lalu berpisah. Muhammad 'Abduh kembali ke Beirut via Tunis pada tahun 1885.[4]

b.      Karya-Karya Muhammad 'Abduh
Diantara karya yang ditulis oleh Muhammad 'Abduh adakah sebagai berikut:
1.      Ha>syiyah 'Ala Syarh al-Dawwani> li al-'Aqa>'id al-'Adudiyah
2.      Risa>lah al-Tauhi>d
3.      al-Isla>m wa al-Nasra>niyah ma'a al-'Ilm al-Madaniyah
4.      Duru>s min al-Qur'a>n
5.      Ar-Raddu 'Ala ad-Dahriyyi>n (menterjemah karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia)
6.      Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m Juz 'Amma
7.      Tafsi>r al-Mana>r

  1. Riwayat Hidup Rashi>d Rid}a>
  1. Biografi Rashi>d Rid}a>
Muhammad Rashi>d Rid}a > memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a> ibn ‘Ali Rid}a> ibn Muhammad Syamsuddi>n ibn al-Sayyid Baha’uddi>n ibn al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah al-Bagdadi.[5] Ia dilahirkan pada hari rabu, tanggal 27 Jumadi al-Ula 1282 H atau 18 Oktober 1865 M di Qalamun, sebuah desa yang terletak di pantau Laut Tengah, sekitar tiga mil jauhnya di sebelah selatan kota Tripoli, Libanon.[6] Ayah dan Ibunya berasal dari keturunan al-Husain bin 'Ali> ibn Abi> Tha>lib dengan Fatimah, puteri Rasulallah saw.[7] Dan ia wafat pada hari kamis, 23 Juma>di> al-U>la 1354 H. yang bertepatan pada tangal 22 Agustus 1935 M pada usia 70 tahun.[8] Keluarga Rashi>d Rid}a> dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan ”Shaikh”[9]
Pada tahun 1882, ia mulia berguru kepada Syaikh husain al-Jisr di Madrasahal-Wataniyah al-Islamiyah, di madrasah inilah Rid}a> belajar bahasa Arab, Turki dan Prancis serta mempelajari pengetahuan umam. Kemudian pada tahun 1899, Rid}a> berguru kepada Muhammad Abduh di al-Azhar dengan materi kuliah tafsir al-Qur'an.[10] 
Selain itu Rid}a>  mendapatkan bimbingan dari beberapa ulama besar seperti, Syaikh 'Abd al-Ghani al-Rafi'i dan Syaikh Muhamad al-Wawaqiji dengan memberikan bimbimgan ilmu bahasa Arab, sastra dan tasawuf, kemudian belajar fiqh al-Syafi'i dan hadis dibawah bimbingan syaikh Mahmud Nasyabah.[11]
Rashi>d Rid}a> hidup pada kurun waktu antara sepertiga akhir abad ke 19 dan sepertiga awal ke-20. Kurun waktu tersebut merupakan kurun waktu yang paling kelabu dalam sejarah Arab modern jika dibandingkan dengan kurun waktu sebelumnya. Sebab kondisi umat Islam pada masa itu dipropaganda oleh kaum imperialis Barat yang dibantu oleh kaum zionis internasional untuk memecah-belah umat Islam. Pada kurun waktu tersebut, kerajaan Turki yang pernah menjadi kerajaan adikuasa mengalami kemunduran yang begitu drastis yang berujung kepada kehancuran kerajaan tersebut, yang kemudian mengakibatkan keadaan umat Islam menjadi dijajah oleh banga-bangsa Eropa. Inilah kondisi umat Islam pada masa Rashi>d Rid}a> >.[12]

  1. Karya-Karya Rashi>d Rid}a>
Diantara karya yang ditulis oleh Rashi>d Rid}a>  adakah sebagai berikut:
1.      Al-Hikmah al-Syar’iyyah fi Muhakamah Al-Qadariyyah wa al-Rifa’iyyah
2.      Tari>kh al-Usta>dh al-Ima>m Muhammad Abduh
3.      Al-Wahyu al-Muhammadiy
4.      Risa>lah fi Hujjah al-Islam al-Ghaza>li
5.      Majalah al-Mana>r sebanyak 34 jilid
6.      Tafsir al-Qur'a>n yang al-Mana>r sebanyak 12 jilid
7.      Al-Fata>wa sebanyak 6 jilid
8.      Shubhatu al-Nas}ara wa Hujjaju al-Islam
9.      Nida>>’ li al-Jins al-Laz}i>f  
10.  Al-Muslimu>n wa al-Qibti wa al-Muktama>r al- Mashry

  1. Perbedaan-perbedaan antara Muhammad 'Abduh  dan Rashi>d Rid}a>
Dalam penafsirannya Muhammad Rasyid Ridha mempunyai banyak perbedaan dengan Muhammad Abduh[13]. Di bawah ini akan dikemukakan contoh perbedaan-perbedaan tersebut:
a.       Rashi>d Rid}a> dikenal luas sebagai seorang ulama yang amat dalam pengetahuannya tentang sunah nabi, dia juga menilai banyak riwayat baik dari nabi, sahabat maupun tabi’in yang dapat membantu menjelasakan kandungan al-Qur’an. Sedangkan Muhammad Abduh tidak banyak mengambil riwayat untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an.
b.      Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat, dalam hal keluasan pembahasan ini, Rashi>d Rid}a> menasihatkan agar uraian tersebut dibaca tersendiri, bukan pada waktu membaca tafsir ayat-ayat al-Qur’an, supaya tidak terputus pikiran pembaca dengan ayat-ayat tersebut.
c.       Rashi>d Rid}a> mengikuti jejak Ibnu Kathi>r dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat-ayat lainnya.
d.      Rashi>d Rid}a> berusaha untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang dikandung oleh suatu kata, atau rahasia-rahasia yang dapat ditarik dari susunan suatu redaksi, khususnya yang berbeda dengan redaksi ayat lain yang juga berbicara tentang persoalan yang sama.
e.       Rashi>d Rid}a> lebih rasional sedangkan Muhammad ‘Abduh tidak terlalu rasional, disebut rasional karena pada masa itu adanya taklid buta. Muhammad Abduh juga banyak memasukkan perjanjian lama.
B.     Kitab Tafsir al-Mana>r
Tafsir al-Mana>r berawal dari ide Rashi>d Rid}a>> yang mengusulkan kepada gurunya yaitu Muhammad 'Abduh agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-idenya. Maka terbitlah sebuah majalah dengan judul al-Mana>r, sebuah judul yang diusulkan oleh Rashi>d Rid}a>  yang kemudian judul tersebut dietujui oleh gurunya.
Pada terbitan pertama, dijelaskan bahwa tujuan majalah al-Mana>r sama dengan majalah al-'Urwah al-Wusqa, yaitu untuk memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala pahama yang menyimpang.
Setahun etelah al-Mana>r terbit, ia mengajukan saran kepada gurunya agar menafsikan al-Qur'an dengan tafsiran yang relevan dengan tuntutan zaman. Ketika itu Muhammad 'Abduh aktif mengajar tafsir al-Qur'an di al-Azhar. Sebagai murid, Rashid Rid}a>  mencatat kuliah-kuliah gurunya, lalu catatan itu diserahkan kepada gurunya untuk dikoreksi. Selesai periksa, catatan itu diterbitkan dalam majalah al-Mana>r. Kumpulan tulisan dalam majalah al-Mana>r ini kemudian dibukukan menjadi tafir al-Mana>r. Sampai wafatnya, Muhammad Abduh hanya sempat menafsirkan hingga surat al-Nisa>' ayat 125. Penafsiran ayat-ayat selanjutnya diteruskan oleh Rashi>d Rid}a>.[14]
Kitab tafsir ini diberi judul "Tafsi>r al-Qur'a>n al-Haki>m", namun tafsir ini lebih popular dengan sebutan tafs>r al-Mana>r. Nama ini terambil dari majalah al-Mana>r, sebuah jurnal ilmiah Muhammad 'Abduh yang diterbitkan setiap bulan. Adapun pimpinan redaksi adalah Muhammad Rashi>d Rid}a>>.[15]
Tafsir ini tidak seperti kitab-kitab tafsir pada umumnya, bila dalam kitab-kitab tafsir pada umumnya mengawali penafsiran dari surat al-fa>tihah hingga surat al-Na>s sedangkan dalam kitab tafsir al-Mana>r diawali dari surat ke-1 yaitu al-Fa>tihah hingga surat ke-12 yaitu surat Yu>suf ayat 52.[16]
Adapun sistematika penulisan kitab tafsir al-Mana>r sebagai berikut:
1.      Memberi muqaddimah pada setiap surat-surat dalam al-Qur'an sebelum masuk pada penafsirkan ayat.
2.      Mengelompokkan ayat-ayat dalam satu tema atau munasabah ayat.
3.      Menjelaskan secara umum ayat-ayat yang dikelompokkan dalam satu tema.
4.      Menafsirkan satu persatu atau merinci ayat-ayat yang telah dikelompokkan dalam satu tema.
5.      Mencantumkan kalimat :” قال الاستاذ الامام”, maksud kalimat ini adalah perkataan Muhammad 'Abduh. Dan Rashi>d Rid}a mencantumkan kata “أقول” dalam menguraikan pendapatnya.
Dalam buku Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern disebutkan bahwa sistematika penulisan tafsir Muhammad Abduh memiliki Sembilan ciri[17] yaitu:
1.      Melihat setiap surat sebagai satu kesatuan ayat yang  serasi
2.      Ayat al-Qur’an bersifat umum.
3.      Al-Qur’an sumber aqidah dan hukum.
4.      Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
5.      Menentang dan memberantas taqlid.
6.      Tidak memerinci yang mubham.
7.      Selektif dalam memasukan hadits.
8.      Kritis terhadap pendapat sahabat dan menolak israiliyat.
9.      Mengaitkan tafsir al-Qur’an dengan kehidupan sosial.

  1. Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran yang disajikan oleh Muhammad 'Abduh dan Rashi>d Rid}a dalam tafsir al-Mana>r adalah lebih cenderung kepada al-Ra'yi. Hal ini dikarenakan Muhammad 'Abduh berusaha mencapai tujuan, yakni menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni -menurut pandangannya- serta menghubungkan dengan masa kini.
Menurut Muhammad 'Abduh, pengunaan akal secara luas dalam menafsirkan al-Qur'anberdasarkan asumsi bahwa ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana diakuinya pula bahwa ada masalah keagamaan yang sulit dipahami oleh akal, tetapi tidak pertentangan dengan akal.[18] Oleh karenanya rasionalitas dalam berpikir adalah sesuatu yang memiliki signifiknsi yang kuat.
Dari penjelasan ini maka pemakalah mengambil kesimpulan bahwa tafsir al-Mana>r dilihat dari sumber penafsirannya cenderung pada tafsir Bi al-Ra’yi walaupun terkadang ada berbagai riwayat tentang Nabi dalam kitab tafsir tersebut namun hal itu hanya sebagian kecil saja contoh ketika menafsirkan surat al-Baqarah, 187; أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
" Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam "
 Muhammad'Abduh menjelaskan ayat ini dengan menyebutkan hadis Nabi[19] yang berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِم
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila malam telah datang, siang telah hilang, dan matahari telah terbenam, maka seorang yang berpuasa sungguh sudah boleh berbuka."

Namun demikian penjelasan yang menggunakan penjelasan yang bersifat riwayat hanyalah sedikat dan ada dalam segelintir penjelasan ayat saja sehingga pemakalah mengambil konklusi bahwa tafsir al-Mana>r adalah tafsir yang tergolong Bi al-Ra’yi.



  1. Cara Penjelasan
 Tafsir al-Mana>r dalam cara penjelasannya yang dilakukan oleh Muhammad 'Abduh dan Rashi>d al-Rid}a> adalah bersifat Bayani karena jarang dijumpai dalam tafsir tersebut kajian Muqarin atau perbandingan, baik antara ayat, hadis maupun perbandingan antara kitab-kitab tafsir yang lain.

  1. Keluasan Penjelasan
Keluasan penjelasan dalam tafsir al-Mana>r adalah bersifat Tafsi>li> karena tafsir tersebut dalam penjelasannya yang diuraikan adalah secara rinci dalam memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Contoh ketika Muhammad 'Abduh menjelaskan surat al-Baqarah : 142
{سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْها
"Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?"
Muhammad 'Abduh menjelaskan kata السُّفَهَاءُ yang terambil dari kata السَّفَهُ وَالسَّفَاهَةُ  yang bermakna الِاضْطِرَابُ فِي الرَّأْيِ وَالْفِكْرِ أَوِ الْأَخْلَاقِ.[20]

  1. Sasaran dan Tertib Ayat
Tafsir al-Mana>r bila bila dilihat dari segi sasaran dan tertib ayatnya menggunakan metode Tahli>li>, yaitu menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya. Kesimpulan ini diambil atas dasar dua hal, yaitu:
1.      Menjelaskan ayat-ayat secara berurutan dari awal hingga akhir.
2.      Menjelaskan surat demi surat dengan mengikuti mushaf 'Usma>ni>.

  1. Corak Tafsir al-Mana>r
Tafsir al-Mana>r bila dilihat dari corak tafsirnya, tafsirsir tersebut cenderung kepada tafsir al-Adab al-Ijtima>'i>, yaitu sebuah penafsiran yang condong kepada persoalan sosial kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan bahasa.[21] Hal ini dikarenakan kemunculan tafsir al-Mana>r perkenaan dengan persoalan politik, sosial, ekonomi, pendidikan maupun persoalan agama yang berkembang pada saat itu.
Dikalangan ulama tafsir, menyebutkan bahwa Muhammad 'Abduh ada seorang mufassir yang dikenal sebagai face maker (peletak dasar) penafsiran yang bercorak Adabi Ijtima’i  (sastra dan budaya kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan. 'Abduh menilai keterbelakangan masyarakat Islam disebabkan oleh kebodohan dan kedangkalan pengetahuan mereka akibat taklid dan mengabaikan peranan akal.[22]


C.    Komentar Terhadap Tafsir al-Mana>r
Manna> al-Qat}t}a>n dalam Tafsir kitabnya Maba>'its fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n memberikan komentar terhadap tafsir al-Mana>r bahwa tafsir tersebut adalah sebuah tafsir yang penuh dengan pendapat para sahabat dan tabi'in dan penuh pulang dengan uslub-uslub bahasa Arab dan penjelasan tentang sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan umat manusia, dengan menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an dengan gaya bahasa menarik dan menyajikan pemahaman kandungan makna dengan redaksi yang mudah dipahami, penjelasan terhadap berbagai persoalan diurai secara jelas dan tuntas, membantaah terhadap tuduhan dan kesalapahaman terhadap Islam dengan tegas dan memberian petunjuk qur'ani untuk mengobati penyakit-penyakit masyarakat. Dan Syaikh Rashi>d menjelaskan bahwa tujuan pokok tafsirnya ialah "(untuk) memahami Kitabullah sebagai sumber ajaran agama yang membimbing umat manusia kearah kebahagiaan hidup di dunia dan hidup di akhirat.[23]

D.    Keistimewaan Tafsir al-Manar
Komentar al-Qat{t}an diatas, secara tidak langsung  menunjukkan kepada keistimewaan tafsir al-Mana>r. namun secara umum keistimewaan tafsir al-Mana>r menurut pemakalah adalah sebagai beikut:
1.      Penjelasannya mudah.
2.      Gaya bahasanya menarik.
3.      Pengoptimalan peran akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
4.      Menolak riwayat israiliyat khususnya menyimpang.
5.      Mengaitkan tafsir al-Qur’an dengan kehidupan sosial.
6.      Menjadikan al-Qur’an sebagai pembimbing bagi kehidupan manusia.
Keistimewaan dan ciri khas tersendiri yang menjadi menu dalam kitab tafsir al-Mana>r menjadikan kitab tafsir ini mendapatkan tempat dalam  kajian khazanah intelektual Islam khususnya dalam bidang tafsir.


Simpulan
Tafsir al-Mana>r adalah salah satu kitab tafsir yang menitik beratkan penjelasanayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an yakni membawa petunjuk dalam kehidupan manusia kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Pada dasarnya tafsir ini ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi problema-problema umat manusia, karena itu tafsir al-Mana>r tidak merinci hal-hal yang tidak dapat terjangkau oleh akal, selain itu jkitab tafsir ini memproklamasikan untuk menghidupkan kembali nilai-nila Qur'ani dan memcegah untuk bersikap taklid buta.

  

Daftar Rujukan
Salim, Abd Muin. Metodologi Ilmu Tafsir. Yaogyakarta: Teras, 2005.
Hourani, Albert. Arabic Thought in The Liberal Age, London: Oxford University Press, 1933.
Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar. Jakarta: Erlangga, 2006.
Dewan Penyusun, Ensiklopedia Islam, vol. 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Faiz, Fachruddin. Hermeneutika Qur’an, Yogyaarta: Qalam,  2002.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. IX
Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir. Terj. M. Alaika Salamullah dkk. Yogyakarta:Elsaq Press, 2010.
Muslim, S{ah}i>h Muslim, vol. 1, Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1999
al-Qat}t}an, Manna> Khali>l. Studi Ilmu-Ilmu Qur'an. Jakarta, Lintera antarnusa, 1992.
Anwar, Rosihan. Samudera Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.
al-Khalidi, Sholah Abdul Fatah. Ta’rif ad-DarisÎn bi Manahij al-MufassirÎn, (Beirut: Dar al-Syamiyah, 2002
Syibromalisi, Faizah Ali dan Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern. Jakarta: LITBANG UIN. 2011
Ridla>, Muhammad Rashi>d. Tafsi>r al-Qur'a>n al-H{aki>m al-Mashhur bi Tafsi>r al-Mana>r, vol. 2. Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1999.
Shihab,  Qurais. Rasionalitas Al-Quran, Tangerang: lentera Hati, 2006



[1] Sholah Abdul Fatah al-Khalidi, Ta’rif ad-DarisÎn bi Manahij al-MufassirÎn, (Beirut: Dar al-Syamiyah, 2002) 563
[2] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. IX. 59.
[3]  Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age (London: Oxford University Press, 1933) 23
[4] Dewan Penyusun, Ensiklopedia Islam, vol. 4 ( Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997) 256.
[5] Fachruddin Faiz, Hermeneutika Qur’an, (Yogyakarta: Qalam,  2002), 61.
[6] A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar (Jakarta: Erlangga, 2006), 26 ; Fahd al-Ru>mi>, Manhaj al-Madrasah al-'Aqliyyah al-Hadi>thah fi> al-Tafsi>r (Beirut: Mu'assasah Mishriyyah al-'Ammah, tt), 172.
[7] Ibd.
[8] Ibd., 37.
[9] M. Qurais Shihab, Rasionalitas Al-Quran, (Tangerang: lentera Hati, 2006) 71
[10] Dewan Penyusun, Ensiklopedia Islam, 403.
[11] A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar, 28.
[12] Ibd.,  21-26.
[13] M. Qurais Shihab, Rasionalitas al-Quran.117
[14] Dewan Penyusun, Ensiklopedia Islam, vol. 4, 162.
[15] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir. Terj. M. Alaika Salamullah dkk, (Yogyakarta:Elsaq Press, 2010), 396.
[16] Dalam surat Yu>suf terdapat 111 ayat.
[17] Faizah Ali Syibromalisi, dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern. (Jakarta: LITBANG UIN. 2011,) 102
[18]Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001),  260.
[19] Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-H{aki>m al-Mashhur bi Tafsi>r al-Mana>r, vol. 2 (Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1999),145 : lihat  Muslim, S{ah}i>h Muslim, vol. 1((Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1999), 144.
[20] Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, vol. 2, 3
[21] Abd Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yaogyakarta: Teras, 2005), 45.
[22] Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur’an, Bandung. 260
[23] Manna> Khali>l al-Qat}t}an, Studi Ilmu-Ilmu Qur'an (Jakarta, Lintera antarnusa, 1992), 512.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar