oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Dalam konteks historisitas
keberadaan kitab suci umat beragama, tidak ditemukan kitab suci manapun yang
memiliki dimensi yang memuat setiap segmen yang berkaitan dengan manusia dengan
segala kompleksitasnya secara komprehensif yang menandingi muatan al-Qur’an,
al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang hubungan hamba dengan Tuhannya tetapi
juga berbicara tentang ke”manusia”an manusia, baik dalam bidang ilmu
pengetahuan, hukum, sosial dan semacamnya. Dan semua hal itu banyak diuraikan
dalam kitab-kitab tafsir yang dikarang oleh para mufassir.
Mengetahui latar belakang dari
seorang mufassir serta metode yang digunakan dalam tafsirnya merupakan salah
satu faktor yang penting dalam memahami sebuah kitab tafsir karena kehidupan
seorang mufassir mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan dan
sosial-politik yang ada pada masanya, juga kecenderungan dan karakteristiknya
merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan karya tafsir dari mufassir tesebut, baik dalam metode atau aliran yang
digunakan dalam kitab tafsirnya. Oleh karenanya mengenal keperibadian seorang
mufassir mempunyai peranan yang penting untuk memahami sebuah kitab tafsir.
Salah satu mufassir yang
muncul pada dekade abad 20-an adalah Muhammad Abduh dan Rashi>d Rid}a>,
dengan kitab karya tafsirnya al-Mana>r,
dimana dalam hal ini makalah ini akan membahas dua tokoh tersebut dengan karya
tafsirnya.
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Muhammad 'Abduh
dan Rashi>d Ridla>
1.
Riwayat Hidup Muhammad 'Abduh
- Biografi Muhammad 'Abduh
Nama lengkap Muhammad 'Abduh adalah Muhammad bin 'Abduh
bin Hasan Khairullah, ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr, kabupaten
al-Buhairah, Mesir pada tahun 1266 H/1849 M dan wafat pada tahun 1323 H /1905
M. Orang tua Muhammad ‘Abduh adalah seorang dermawan yang sangat dihormati di
kampungnya dan sangat mencintai ilmu, sehingga memotivasi Muhammad ‘Abduh untuk
menuntut ilmu. Muhammad Abduh adalah seorang ulama besar di al-Azhar, pernah
menjabat sebagai Mufti di Mesir, serta menjadi murid dari tokoh yang masyhur,
Jamaluddin al-Afghani[1].
Pada usia 12 tahun ‘Abduh telah hafal al-Qur’an. Pada usia 13 tahun
ia dibawa ke Tanta untuk belajar di Mesjid Ahamdi. Mesjid ini sering disebut
“Mesjid Syeikh Ahmad”, yang kedudukannya dianggap sebagai level kedua setelah
Al-Azhar dari segi menghafal
dan belajar al-Qur’an. Pelajaran di mesjid Ahmadi ini ia selesaikan selama 2
tahun namun
‘Abduh merasa tak mengerti apa-apa karena menganggap metode yang
diajarkan
yang salah yaitu guru-gurunya menyuruh untuk menghafal istilah-istilah
tentang nahwu dan fiqh yang tidak
dimengerti maksudnya, sedangkan
mereka tidak merasa
penting apakah muridnya
mengerti
atau tidak tentang
istilah-istilah itu.[2]
Inilah latar belakang dari pokok pembaruannya dalam bidang pendidikan di
kemudian hari.
Pada umur 16 tahun, tepatnya pada tahun 1865, ‘Abduh
menikah dan bekerja sebagai petani. Namun hal itu hanya berlangsung selama 40 hari karena
ia harus pergi ke Tanta untuk belajar kembali. Tahun 1866 ‘Abduh meninggalkan
isteri dan keluarganya menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Namun ia keluar karena proses
belajar yang berlangsung menonjolkan ilmu dan hafalan luar kepala tanpa
pemahaman, seperti pengalamannya di Tanta. Inilah juga yang melatarbelakangi
‘Abduh ingin mengadakan pembaruan dalam bidang pendidikan,
Tiga
tahun setelah ‘Abduh di Al-Azhar, Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir lalu ‘Abduh bergabung
bersamanya. Di bawah bimbingan al-Afghani, ‘Abduh mulai memperluas studinya
sampai meliputi filsafat dan ilmu sosial serta politik. Afghani aktif
memberikan dorongan kepada murid-muridnya ini untuk menghadapi intervensi Eropa
di negeri mereka dan pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu[3].
Jamaluddin
al-Afgani mempelopori sebuah gerakan menentang kekuasaan barat
yaitu
Gerakan Nasional Mesir. Gerakan ini banyak mengecam kebijaksanaan pemerintah
Mesir yang terlalu memberikan perhatian kepada penguasa barat, Inggris dan
Prancis. Pemerintah Mesir dengan bantuan Barat berusaha menumpas gerakan ini
karena dianggap membahayakan. Satu persatu pimpinannya ditangkap dan
dipenjarakan, termasuk Muhammad 'Abduh. Setelah dipenjarakan selama tiga bulan
'Abduh diasingkan ke luar negeri.
'Abduh pergi
ke Beirut kemudian ke Paris dan disana ia bertemu dengan Jamaluddin dan membentuk gerakan
yang diberi nama al-'Urah al-Wusqa> (Ikatan yang kuat). Salah satu kegiatan
dari gerakan ini adalah menerbitkan majalah yang diberi nama al-'Urah
al-Wusqa> pada tahun 1884. Namun karena tekanan dari pihak Barat terhadap
gerakannya
tersebut, maka Jamaluddin dan 'Abduh meninggalkan Paris, keduanya lalu
berpisah. Muhammad 'Abduh kembali ke Beirut via Tunis pada tahun 1885.[4]
b. Karya-Karya Muhammad
'Abduh
Diantara karya yang ditulis oleh Muhammad
'Abduh adakah sebagai berikut:
1. Ha>syiyah
'Ala Syarh al-Dawwani> li al-'Aqa>'id al-'Adudiyah
2. Risa>lah
al-Tauhi>d
3. al-Isla>m
wa al-Nasra>niyah ma'a al-'Ilm al-Madaniyah
4. Duru>s
min al-Qur'a>n
5. Ar-Raddu
'Ala ad-Dahriyyi>n
(menterjemah karangan
Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia)
6. Tafsi>r
al-Qur'a>n al-Kari>m Juz 'Amma
7. Tafsi>r
al-Mana>r
- Riwayat Hidup Rashi>d Rid}a>
- Biografi Rashi>d Rid}a>
Muhammad Rashi>d
Rid}a > memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a> ibn ‘Ali Rid}a>
ibn Muhammad Syamsuddi>n ibn al-Sayyid Baha’uddi>n ibn al-Sayyid Manlan
‘Ali Khalifah al-Bagdadi.[5] Ia dilahirkan
pada hari rabu, tanggal 27 Jumadi al-Ula 1282 H atau 18 Oktober 1865 M di
Qalamun, sebuah desa yang terletak di pantau Laut Tengah, sekitar tiga mil
jauhnya di sebelah selatan kota Tripoli, Libanon.[6] Ayah
dan Ibunya berasal dari keturunan al-Husain bin 'Ali> ibn Abi> Tha>lib
dengan Fatimah, puteri Rasulallah saw.[7] Dan ia wafat pada
hari kamis,
23 Juma>di> al-U>la 1354 H. yang bertepatan pada tangal 22 Agustus
1935 M pada
usia 70 tahun.[8]
Keluarga Rashi>d Rid}a>
dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta
menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan ”Shaikh”[9]
Pada tahun 1882, ia mulia berguru kepada Syaikh husain
al-Jisr di Madrasahal-Wataniyah al-Islamiyah, di madrasah inilah Rid}a>
belajar bahasa Arab, Turki dan Prancis serta mempelajari pengetahuan umam. Kemudian pada tahun
1899, Rid}a> berguru kepada
Muhammad ‘Abduh
di al-Azhar dengan
materi kuliah tafsir al-Qur'an.[10]
Selain itu Rid}a> mendapatkan bimbingan dari beberapa ulama besar
seperti, Syaikh 'Abd al-Ghani al-Rafi'i dan Syaikh Muhamad al-Wawaqiji dengan
memberikan bimbimgan ilmu bahasa Arab, sastra dan tasawuf, kemudian belajar
fiqh al-Syafi'i dan hadis dibawah bimbingan syaikh Mahmud Nasyabah.[11]
Rashi>d
Rid}a> hidup pada kurun waktu antara sepertiga akhir abad ke 19 dan
sepertiga awal ke-20. Kurun waktu tersebut merupakan kurun waktu yang paling
kelabu dalam sejarah Arab modern jika dibandingkan dengan kurun waktu
sebelumnya. Sebab kondisi umat Islam pada masa itu dipropaganda oleh kaum
imperialis Barat yang dibantu oleh kaum zionis internasional untuk
memecah-belah umat Islam. Pada kurun waktu tersebut, kerajaan Turki yang pernah
menjadi kerajaan adikuasa mengalami kemunduran yang begitu drastis yang
berujung kepada kehancuran kerajaan tersebut, yang kemudian mengakibatkan
keadaan umat Islam menjadi dijajah oleh banga-bangsa Eropa. Inilah kondisi umat
Islam pada masa Rashi>d Rid}a> >.[12]
- Karya-Karya Rashi>d Rid}a>
Diantara karya yang ditulis oleh Rashi>d Rid}a> adakah sebagai berikut:
1.
Al-Hikmah al-Syar’iyyah fi
Muhakamah Al-Qadariyyah wa al-Rifa’iyyah
2.
Tari>kh al-Usta>dh al-Ima>m Muhammad Abduh
3.
Al-Wahyu al-Muhammadiy
4.
Risa>lah fi Hujjah al-Islam al-Ghaza>li
5.
Majalah al-Mana>r sebanyak 34
jilid
6.
Tafsir al-Qur'a>n yang
al-Mana>r sebanyak 12 jilid
7.
Al-Fata>wa sebanyak 6 jilid
8.
Shubhatu al-Nas}ara wa Hujjaju
al-Islam
9.
Nida>>’ li al-Jins
al-Laz}i>f
10. Al-Muslimu>n wa al-Qibti wa al-Muktama>r al- Mashry
- Perbedaan-perbedaan antara Muhammad 'Abduh dan Rashi>d Rid}a>
Dalam penafsirannya Muhammad
Rasyid Ridha mempunyai banyak perbedaan dengan Muhammad Abduh[13].
Di bawah ini akan dikemukakan contoh perbedaan-perbedaan tersebut:
a.
Rashi>d Rid}a> dikenal
luas sebagai seorang ulama yang amat dalam pengetahuannya tentang sunah nabi, dia
juga menilai banyak riwayat baik dari nabi, sahabat maupun tabi’in yang dapat
membantu menjelasakan kandungan al-Qur’an. Sedangkan Muhammad Abduh tidak
banyak mengambil riwayat untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an.
b.
Penyisipan pembahasan yang
luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat, dalam hal keluasan
pembahasan ini, Rashi>d Rid}a> menasihatkan agar uraian tersebut dibaca
tersendiri, bukan pada waktu membaca tafsir ayat-ayat al-Qur’an, supaya tidak
terputus pikiran pembaca dengan ayat-ayat tersebut.
c.
Rashi>d Rid}a> mengikuti
jejak Ibnu Kathi>r dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat-ayat
lainnya.
d.
Rashi>d Rid}a> berusaha
untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang dikandung oleh suatu kata, atau
rahasia-rahasia yang dapat ditarik dari susunan suatu redaksi, khususnya yang
berbeda dengan redaksi ayat lain yang juga berbicara tentang persoalan yang
sama.
e.
Rashi>d Rid}a> lebih
rasional sedangkan Muhammad ‘Abduh tidak terlalu rasional, disebut rasional
karena pada masa itu adanya taklid buta. Muhammad Abduh juga banyak memasukkan
perjanjian lama.
B.
Kitab Tafsir al-Mana>r
Tafsir al-Mana>r berawal dari ide Rashi>d Rid}a>>
yang mengusulkan kepada gurunya yaitu Muhammad 'Abduh agar menerbitkan sebuah
majalah yang akan menyiarkan ide-idenya. Maka terbitlah sebuah majalah dengan
judul al-Mana>r, sebuah judul yang diusulkan oleh Rashi>d Rid}a> yang kemudian judul tersebut dietujui oleh
gurunya.
Pada terbitan pertama, dijelaskan bahwa tujuan majalah
al-Mana>r sama dengan majalah al-'Urwah al-Wusqa, yaitu untuk memajukan umat
Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala pahama yang menyimpang.
Setahun
etelah al-Mana>r terbit, ia mengajukan saran kepada gurunya agar menafsikan
al-Qur'an dengan tafsiran yang relevan dengan tuntutan zaman. Ketika itu
Muhammad 'Abduh aktif mengajar tafsir al-Qur'an di al-Azhar. Sebagai murid,
Rashid Rid}a> mencatat kuliah-kuliah
gurunya, lalu catatan itu diserahkan kepada gurunya untuk dikoreksi. Selesai
periksa, catatan itu diterbitkan dalam majalah al-Mana>r. Kumpulan tulisan
dalam majalah al-Mana>r ini kemudian dibukukan menjadi tafir al-Mana>r.
Sampai wafatnya, Muhammad Abduh hanya sempat menafsirkan hingga surat
al-Nisa>' ayat 125. Penafsiran ayat-ayat selanjutnya diteruskan oleh
Rashi>d Rid}a>.[14]
Kitab tafsir ini diberi judul "Tafsi>r
al-Qur'a>n al-Haki>m", namun tafsir ini lebih popular dengan
sebutan tafs>r al-Mana>r. Nama ini terambil dari majalah al-Mana>r,
sebuah jurnal ilmiah Muhammad 'Abduh yang diterbitkan setiap bulan. Adapun
pimpinan redaksi adalah Muhammad Rashi>d Rid}a>>.[15]
Tafsir ini tidak seperti kitab-kitab tafsir pada umumnya,
bila dalam kitab-kitab tafsir pada umumnya mengawali penafsiran dari surat
al-fa>tihah hingga surat al-Na>s sedangkan dalam kitab tafsir
al-Mana>r diawali dari surat ke-1 yaitu al-Fa>tihah hingga surat ke-12
yaitu surat Yu>suf ayat 52.[16]
Adapun sistematika penulisan
kitab tafsir al-Mana>r sebagai berikut:
1.
Memberi muqaddimah pada setiap
surat-surat dalam al-Qur'an sebelum masuk pada penafsirkan ayat.
2.
Mengelompokkan ayat-ayat dalam
satu tema atau munasabah ayat.
3.
Menjelaskan secara umum
ayat-ayat yang dikelompokkan dalam satu tema.
4.
Menafsirkan satu persatu atau
merinci ayat-ayat yang telah dikelompokkan dalam satu tema.
5.
Mencantumkan kalimat :” قال الاستاذ الامام”, maksud kalimat ini adalah perkataan
Muhammad 'Abduh. Dan Rashi>d
Rid}a mencantumkan kata “أقول” dalam menguraikan pendapatnya.
Dalam buku Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern disebutkan
bahwa sistematika penulisan tafsir Muhammad Abduh memiliki Sembilan ciri[17]
yaitu:
1.
Melihat setiap surat sebagai
satu kesatuan ayat yang serasi
2.
Ayat al-Qur’an bersifat umum.
3.
Al-Qur’an sumber aqidah dan
hukum.
4.
Penggunaan akal secara luas
dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
5.
Menentang dan memberantas
taqlid.
6.
Tidak memerinci yang mubham.
7.
Selektif dalam memasukan
hadits.
8.
Kritis terhadap pendapat
sahabat dan menolak israiliyat.
9.
Mengaitkan tafsir al-Qur’an
dengan kehidupan sosial.
- Sumber Penafsiran
Sumber
penafsiran yang disajikan
oleh Muhammad 'Abduh dan Rashi>d Rid}a dalam tafsir al-Mana>r adalah
lebih cenderung
kepada al-Ra'yi. Hal ini dikarenakan Muhammad 'Abduh berusaha mencapai tujuan,
yakni menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni -menurut pandangannya- serta menghubungkan
dengan masa kini.
Menurut
Muhammad 'Abduh, pengunaan akal secara luas dalam menafsirkan al-Qur'anberdasarkan asumsi bahwa ada
masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika,
sebagaimana diakuinya pula bahwa ada masalah keagamaan yang sulit dipahami oleh
akal, tetapi tidak pertentangan dengan akal.[18] Oleh
karenanya rasionalitas
dalam berpikir adalah sesuatu yang memiliki signifiknsi yang kuat.
Dari penjelasan ini maka pemakalah mengambil kesimpulan bahwa
tafsir al-Mana>r dilihat dari sumber penafsirannya cenderung pada tafsir Bi al-Ra’yi
walaupun terkadang ada berbagai riwayat tentang Nabi dalam kitab tafsir
tersebut namun hal itu hanya sebagian kecil saja contoh ketika menafsirkan
surat al-Baqarah, 187; أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
" Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam "
Muhammad'Abduh
menjelaskan ayat ini dengan menyebutkan hadis Nabi[19]
yang berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ
وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِم
"Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila malam telah datang, siang
telah hilang, dan matahari telah terbenam, maka seorang yang berpuasa sungguh
sudah boleh berbuka."
Namun demikian penjelasan yang menggunakan penjelasan
yang bersifat riwayat hanyalah sedikat dan ada dalam segelintir penjelasan ayat
saja sehingga pemakalah mengambil konklusi bahwa tafsir al-Mana>r adalah tafsir
yang tergolong Bi al-Ra’yi.
- Cara Penjelasan
Tafsir al-Mana>r dalam cara penjelasannya yang
dilakukan oleh
Muhammad 'Abduh dan
Rashi>d al-Rid}a> adalah bersifat Bayani karena jarang dijumpai
dalam tafsir tersebut kajian Muqarin atau perbandingan, baik antara ayat,
hadis maupun perbandingan antara kitab-kitab tafsir yang lain.
- Keluasan Penjelasan
Keluasan
penjelasan dalam
tafsir al-Mana>r adalah bersifat
Tafsi>li> karena tafsir tersebut
dalam penjelasannya yang diuraikan adalah secara rinci dalam memahami
kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Contoh ketika Muhammad 'Abduh menjelaskan surat
al-Baqarah : 142
{سَيَقُولُ
السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا
عَلَيْها
"Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata:
"Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul
Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?"
Muhammad 'Abduh menjelaskan kata السُّفَهَاءُ yang terambil dari kata السَّفَهُ وَالسَّفَاهَةُ yang bermakna الِاضْطِرَابُ فِي الرَّأْيِ
وَالْفِكْرِ أَوِ الْأَخْلَاقِ.[20]
- Sasaran dan Tertib Ayat
Tafsir al-Mana>r bila bila dilihat dari segi sasaran
dan tertib ayatnya menggunakan metode Tahli>li>, yaitu menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya. Kesimpulan ini diambil
atas dasar dua hal, yaitu:
1.
Menjelaskan ayat-ayat secara berurutan
dari awal hingga akhir.
2.
Menjelaskan surat demi surat dengan
mengikuti mushaf 'Usma>ni>.
- Corak Tafsir al-Mana>r
Tafsir
al-Mana>r bila dilihat
dari
corak tafsirnya, tafsirsir tersebut cenderung kepada tafsir al-Adab
al-Ijtima>'i>, yaitu sebuah penafsiran yang condong kepada persoalan
sosial kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan bahasa.[21] Hal
ini dikarenakan kemunculan tafsir al-Mana>r perkenaan dengan persoalan
politik, sosial, ekonomi, pendidikan maupun persoalan agama yang
berkembang pada
saat itu.
Dikalangan ulama tafsir, menyebutkan bahwa Muhammad
'Abduh ada seorang mufassir yang dikenal sebagai face maker (peletak
dasar) penafsiran yang bercorak Adabi Ijtima’i (sastra dan budaya kemasyarakatan). Ayat-ayat
yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha
mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan. 'Abduh menilai keterbelakangan
masyarakat Islam disebabkan oleh kebodohan dan kedangkalan pengetahuan mereka
akibat taklid dan mengabaikan peranan akal.[22]
C.
Komentar Terhadap Tafsir
al-Mana>r
Manna>
al-Qat}t}a>n dalam
Tafsir kitabnya Maba>'its fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n memberikan
komentar terhadap tafsir
al-Mana>r bahwa tafsir tersebut adalah sebuah tafsir yang penuh dengan
pendapat para sahabat dan tabi'in dan penuh pulang dengan uslub-uslub bahasa
Arab dan penjelasan tentang sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan umat
manusia, dengan menjelaskan
ayat-ayat al-Qur'an dengan gaya bahasa menarik dan menyajikan pemahaman kandungan makna dengan redaksi
yang mudah dipahami, penjelasan terhadap berbagai persoalan diurai secara jelas dan tuntas, membantaah
terhadap tuduhan
dan kesalapahaman terhadap Islam dengan tegas dan memberian petunjuk
qur'ani untuk mengobati penyakit-penyakit masyarakat. Dan Syaikh Rashi>d
menjelaskan bahwa tujuan pokok tafsirnya ialah "(untuk) memahami
Kitabullah sebagai sumber ajaran agama yang membimbing umat manusia kearah
kebahagiaan hidup di dunia dan hidup di akhirat.[23]
D.
Keistimewaan Tafsir al-Manar
Komentar
al-Qat{t}an diatas, secara tidak langsung
menunjukkan kepada keistimewaan tafsir al-Mana>r. namun
secara umum keistimewaan tafsir al-Mana>r menurut pemakalah adalah sebagai
beikut:
1.
Penjelasannya mudah.
2.
Gaya bahasanya menarik.
3.
Pengoptimalan peran akal
secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
4.
Menolak riwayat israiliyat
khususnya menyimpang.
5.
Mengaitkan tafsir al-Qur’an
dengan kehidupan sosial.
6.
Menjadikan al-Qur’an sebagai
pembimbing bagi kehidupan manusia.
Keistimewaan dan ciri khas tersendiri yang menjadi menu
dalam kitab tafsir al-Mana>r menjadikan kitab tafsir ini mendapatkan tempat
dalam kajian khazanah intelektual Islam
khususnya dalam bidang tafsir.
Simpulan
Tafsir al-Mana>r adalah salah satu kitab tafsir yang menitik beratkan
penjelasanayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian
menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan
penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an yakni membawa petunjuk dalam
kehidupan manusia kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan
hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Pada dasarnya tafsir ini ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran
al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi
problema-problema umat manusia, karena itu tafsir al-Mana>r tidak merinci
hal-hal yang tidak dapat terjangkau oleh akal, selain itu jkitab tafsir ini
memproklamasikan untuk menghidupkan kembali nilai-nila Qur'ani dan memcegah
untuk bersikap taklid buta.
Daftar Rujukan
Salim, Abd Muin. Metodologi
Ilmu Tafsir. Yaogyakarta: Teras, 2005.
Hourani, Albert. Arabic Thought in The Liberal Age, London: Oxford University
Press, 1933.
Athaillah, Rasyid
Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar. Jakarta: Erlangga,
2006.
Dewan Penyusun, Ensiklopedia
Islam, vol. 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Faiz, Fachruddin. Hermeneutika
Qur’an, Yogyaarta: Qalam, 2002.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), Cet. IX
Goldziher,
Ignaz. Mazhab Tafsir. Terj. M. Alaika Salamullah dkk. Yogyakarta:Elsaq
Press, 2010.
Muslim, S{ah}i>h
Muslim, vol. 1, Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1999
al-Qat}t}an, Manna>
Khali>l. Studi Ilmu-Ilmu Qur'an. Jakarta, Lintera antarnusa, 1992.
Anwar, Rosihan.
Samudera Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.
al-Khalidi, Sholah Abdul Fatah. Ta’rif ad-DarisÎn bi
Manahij al-MufassirÎn, (Beirut: Dar al-Syamiyah, 2002
Syibromalisi,
Faizah Ali dan Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern.
Jakarta: LITBANG UIN. 2011
Ridla>,
Muhammad Rashi>d. Tafsi>r al-Qur'a>n al-H{aki>m al-Mashhur bi
Tafsi>r al-Mana>r, vol. 2. Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyyah,
1999.
Shihab, Qurais. Rasionalitas
Al-Quran, Tangerang: lentera Hati, 2006
[1] Sholah Abdul Fatah al-Khalidi, Ta’rif ad-DarisÎn bi Manahij
al-MufassirÎn, (Beirut: Dar al-Syamiyah, 2002) 563
[6] A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir
al-Manar (Jakarta: Erlangga, 2006), 26 ; Fahd al-Ru>mi>, Manhaj
al-Madrasah al-'Aqliyyah al-Hadi>thah fi> al-Tafsi>r (Beirut: Mu'assasah Mishriyyah
al-'Ammah, tt), 172.
[15] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir. Terj. M. Alaika Salamullah
dkk, (Yogyakarta:Elsaq Press, 2010), 396.
[17] Faizah Ali Syibromalisi, dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir
Klasik-Modern. (Jakarta: LITBANG UIN. 2011,) 102
[19] Muhammad Rashi>d
Rid}a>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-H{aki>m al-Mashhur bi Tafsi>r
al-Mana>r, vol. 2 (Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1999),145 : lihat Muslim, S{ah}i>h Muslim, vol.
1((Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1999), 144.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar