oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Sudah menjadi
penetahuan umum bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam, dimana Nabi Muhammad
mempunyai wewenang otoritatif dalam pembentukan sebuah hukum, hal ini merupakan
konsekuensi logis dari eksistensi Muhammad sebagai Rasulullah.
Nabi Muhammad
yang dalam keniscayaannya menjadi panutan bagi ummat manusia khususnya ummat Islam
sebagaimana firman Allah: وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan Tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”[1]
Ayat ini
mengisyaratkan bahwa setiap hal yang bersember dari beliau dalam dugaan umumnya
memiliki unsur tuhanisme yag kental, asumsi ini dimunculkan atas dasar
penafsiran kata رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ yaitu: Nabi
Muhammad merupakan Rahmat pada setiap dimensi totalitas jagad raya mulai dari
malaikat, jin, manusia, tumbuh-tumbuhan[2] dan seterusnya, dimana terdapat
garansi jaminan dari Allah dalam pribadi Nabi Muhammad sebagai layak menjidi patron
bagi umat manusia namun apakah semua hal yang bersumber dari Nabi Muhammad yang
selanjutnya disebut hadis dalam totalitasnya harus diikuti oleh umatnya atau
lebih jauhnya apakah memiliki berdimensi syar’i atau bersifat umum dan tidak
mengikat?
Dalam makalah
ini penulis mencoba mengulas hal-hal yang erat kaitannya dengan deskripsi
diatas, seperti halnya terkait dengan substansi Nabi Muhammad merupakan manusia
biasa.
PEMBAHASAN
A. Teks
Hadist Dalam Bingkai Muhammad Sebagai Manusia Dan Rasul
Hadist yang
didefisinikan dengan segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat[3] merupakan salah satu
sumber pokok dalam Islam, hal itu tidak lepas dari eksistensi Nabi Muhammad
sebgai pengemban risalah ilahi yang memiliki otoritas dalam menjalankan roda
kerasulan.
Nabi Muhammad adalah
pribadi teladan yang baik dan memiliki pengaruh besar pada ummat Islam namun
disamping itu Nabi Muhammad juga merupakan manusia biasa yang memiliki sisi
identik kemanusian sebagaimana para Rasul sebelum Nabi Muhammad, mereka
dilahirkan, diwafatkan, dan diciptakan sama seperti manusia lainnya[4] oleh karenanya itu semua ada
sebuah wacana yang berkembang yaitu pendikotomian hadist antara tasyri’iyyah
dan non tasyri’iyyah sebagaimana yang wacanakan oleh Mahmud Syaltut dalam
kitabnya yang berjudul; Al Islam ‘Aqidah Wa Syari’ah.
Wacana ini
merupakan problem yang dilematis, karena berusaha memisahkan sisi kemanusiaan
dan kerasulan Nabi Muhammad dan hal ini merupakan sesuatu yang tidak gampang karena
kedua sisi tersebuat berada dalam satu pribadi Nabi Muhammad sekalipun hal itu
bisa dibedakan secara garis besar dalam spektrum eksistensi dan substansi yaitu
substansi Nabi Muhammad sebagai manusia biasa dan eksistensi beliau sebagai
Rasul. dalam hal ini pamakalah berpijak pada firman Allah:
¨ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ×|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqã ¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_öt uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ wur õ8Îô³ç Íoy$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& [5]
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa
seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu
adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya,
Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Ayat ini
mengindikasikan bahwa dalam pribadi Rasulullah terdapat sisi kemanusian yang
melekat dalam substansinya, maka sebagai manusia biasa Rasulullah sekalipun ada
kecenderungan untuk berbuat keliru hanya saja beliau memiliki kelebihan dari
manusia biasa dengan kemaksumannya sebagai konsekuensi logis dari eksistensinya
sebagai Rasulullah, sehingga menjadi
penting untuk diketahui kemunculan sebuah teks yang bersumber dari Nabi
(hadist) apakah berdimenisi kerasulan atau manusia biasa, karena tidak semua teks yang ada menpunyai
dimensi syari’at[6]
dimana syariat sendiri dalam bentuk motode dan mekanisme aturan merupakan
pergerakan melampaui setiap teks dan ungkapan[7] ia selalu kompatibel
dengan setiap situasi dengan pola dialogis antara teks dan konteks.
B. Teks
Hadist Dalam Prespektif Mahmud Syaltut; Hadist Tasyri’ dan Non Tasyri’
Seorang
intelektual asal Mesir Mahmud Syaltut membagi sunnah menjadi: sunnah tasyri’
dan gharu tasyri’[8],
dengan ini menunjukkan bahwa tidak semua teks dapat diamalkan maka yang
dimaksudnya sunnah tasyri’ adalah sunnah yang wajib dilaksanakan sebagai bentuk
ketaatan pada Rasulullah yang memiliki hak otoritas dalam pembentukan syariat
sedangkan sunnah ghairu tasyri’ maksudnya adalah sunnah yang disandarkan pada
Nabi Muhammad yang tendensiusnya lebih pada sisi -substansi- kemanusiaan Nabi
Muhammad.
Mahmud Syaltut
membagi teks hadist/sunnah empat katagori:
1. Teks
yang lahir atas dasar kebutuhan yang bersifat kemanusiaan, seperti teks tentang
makan, minum, tidur, berjalan dan lain sebagainya.
2. Teks
yang lahir atas dasar eksperimen dan adat yang bersifat personal atau sosial
seperti teks tentang pertanian, kedokteran dan sebagainya.
3. Teks
yang lahir atas dasar pengaturan strategi yang terkait dengan kondisi tertentu
seperti teks tentang pengaturan pasukan perng.
4. Teks
yang lahir dalam kepentingan tasyri’ yang kemudian dirincikan dalam beberapa macan,
yaitu:
a. Domain
penyampaian risalah (tabligh), misal penjelasan Nabi terhadap teks yang
masih mujmal dari al-qur’an, penjelsan prihal ritual pribadatan, halal
dan haram dan seterusnya.
b. Domain
kepemimpinan bagi umat Islam (imam). Misal pengiriman pasuakan perang,
pendistribusian harta ghanimah dan lain sebagainya.
c. Domain
kewewenang sebagai hakim karena selain sebagai pemimpin Nabi juga memiliki
peran sebagai qadhi atau hakim[9].
Teks yang
bersifat tasyri’ ini secara garis besar dikatagorikan dalam tasyri’ ‘am dan
khas, katagori tasyri’ am pada perincian diatas adalah teks dalam wilayah
penyampaian risalah, dimana teks tersebut harus dipahami dan dilakukan sebagaiman
dalam hadis tersebut (tektual). Sedangkan teks yang bersifat tasyri’ khas ialah
teks dalam wilayah Nabi sebagai pemimpin dan hakim.
C. Contoh
Kritik Terhadap Kandungan Syari’at Pada Teks Hadist.
Ada beberapa
hadist yang diduga tidak memiliki unsur tasy’ri’ namun untuk memaparkan semua
hadist tersebut membutuhkan sebuah kajian khusus dan panjang oleh karenanya
pemakalah hanya mencantumkan sebagian kecil dari hadist yang muatan tasyri’nya
disinyalir perlu dilakukan kritik, dan dibawah ini ada beberapa topik yang
diangkat untuk dijadikan sebagai contoh, diantaranya:
1. Mencukur
kumis dan memanjangkan jenggot
a. Teks
Hadist
وحدثناه
قتيبة بن سعيد عن مالك بن أنس عن أبي بكر بن نافع عن أبيه عن ابن عمر عن النبي صلى
الله عليه و سلم أنه أمر بإحفاء الشوارب وإعفاء اللحية[10]
“sesungguhnya Rasulullah memerintahkan
untuk mencukur kumis dan memanjangkan jenggot”
b. Analis
Teks
Hadist ini disinyalir tidak
memiliki dimensyi’ tasyri’ karena kandungan hadist tersebut yaitu perintah
untuk mencukur kumis dan memanjangkan jenggot tidak masuk dalam ranah iti
kerisalahan karena hadis tersebut lebih cenderung pada kondisi budaya sosial
geografis arab.
Secara umum memang hadist
ini hanya bisa diakukan oleh orang-orang yang memiliki genitik yang memiliki
pertumbuhan bulu yang lebat seperti kebanyakan orang-orang arab sedangkan untuk
orang-orang asia khususnya dalam konteks keindonesiaan hal ini sulit untuk
terapkan karena secara genetik orang indonesia tidak memiliki
“bakat” untuk memanjangkan jnggot dengan alasan sebagaima yang telah
dijelaskan.
Atas dasar keterangan diatas maka hadist ini dianggap tidak memiiki
unsur tasyri’ karena tidak bisa di terapkan secaru universal dalam semua umat
Islam, sehingga bila dipaksakan untuk memasukkan kandungan teks hadis diatas
dalam wilayah tasyri’ maka tidak semua umat Islam bisa melaksanakan hadist
tersebut.
2. Makan
dengan tiga jari
a. Teks
Hadist
حدثنا
يحيى بن يحيى أخبرنا أبو معاوية عن هشام بن عروة عن عبدالرحمن بن سعد عن ابن كعب بن
مالك عن أبيه قال :كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يأكل
بثلاث أصابع ويلعق يده قبل أن يمسحها[11]
“ Rasulullah
pernah makan dengan tiga jari lalu mengecup tangan beliau sebelum membasuhnya”
b. Analis
Teks
Hadist ini secara tekstual
menjelaskan tenang tata cara makan yang benar sebagaimana Rasulullah telah
mencontohkan ketika beliau makan yaitu dengan menggunakan tiga jari, maka secara
tekstual makan dengan mengunakan empat dan lima jari atau menggunakan sendok
dan garpu merupakan cara yang kurang benar ketika makan karena tidak
dicontohkan oleh Rasulullah.
Dalam konteks ini hadist
diatas tidak bisa dicerna secara tekstual yaitu harus menggunakan tiga jari
ketika makan, namun harus dipahami secara kontekstual dimana hadist ini
mencerminkan untk tidak tergesa-gesa ketika menyatap makan, agar seseorang
ketika ia makan bisa merasakan nikmatnya anugrah makanan yang diberikan oleh
Allah SWT sehingga dengan itu ia bisa mensyukuri dalam setiap butir makanan
tersebut, kalau dipahami seperti ini maka pantas apabila Rasulullah mengecup
tangan beliau sebelum beliau membasuhnya yang itu merupakan bentuk ekspresi
rasa syuur terhdap nikmat makanan tersebut.
Dari keteranagn diatas maka
yang menjadi fokus dalam etika memakan makanan bukan pada penggunaan tiga jari
sebagai bentuk sunah Rasul karena contoh prilaku Rasul ini, karena dalam
penggunaan tiga jari ini tidak bisa digunakan dalam beberapa bentuk makanan
seperti makanan yang berkuah, mie dan lain sebagainya. Sehingga makan dengan
menggunakan tiga jari bukan merupakan sunah Rasul yang bersifat syar’i.
3. Perempuan tidak boleh bepergian tanpa
didampingi muhrimnya
a. Teks
Hadist
وَحَدَّثَنِى
أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِىُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ جَمِيعًا عَنْ مُعَاذِ
بْنِ هِشَامٍ - قَالَ أَبُو غَسَّانَ حَدَّثَنَا مُعَاذٌ - حَدَّثَنِى أَبِى عَنْ
قَتَادَةَ عَنْ قَزَعَةَ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُسَافِرِ امْرَأَةٌ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ
إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ ».[12]
“janganlah
seorang perempuan lebih dari tiga malam kecuali disertai muhrimnya”
b. Analis
Teks
Hadist ini merupakan salah
satu hadist yang kerapkali menjadi perdebatan dalam karangan umat Islam dimana
terdapat larangan bagi seorang perempuan untuk tidak bepergian tanpa
didampingi muhrinya, secara tekstual
hadist ini memberikan pemahaman atas keharaman seorang perempuan untuk
bepergian seorang diri, namun kalau dipahami secara kontekstual hadist ini
tidak bisa dilepaskan dari latar belakang historis giografis arab dengan padang
pasirnya.
Perjalanan dipadang pasir
ketika itu ditempuh berhari-hari bahkan berbulan-bulan dengan menggunakan alat
transportasi hewan seperti kuda, onta dan keledai, maka dalam kondisi seperti
ini perempuan dikhawatirkan untuk melalakukan perjalanan sendiian hal ini
didukung oleh faktor fisikal perempuan yang tergolong lebih lemah dari
laki-laki, selain itu didukung oleh faktor kondisi sosial dimana tidak adanya
jaminan keselamatan bagi perempuan yang mencancam baik berupa keselamatan jiwa,
raga dan kehormatanan, maka hadist ini titik fokusnya adalah bukan pada
larangan bepergian bagi perempuan seorang diri akan tetapi pada menjaga
keselamatan jiwa, raga dan kehormatan seorang perempuan.
Dengan demikian kalau
melihat kondisi sekarang dengan fasilitas transportasi yang cukup memadai untuk
mengapresiasi keberadaan seorang wanita maka kekhawatiran seperti yang
diutarakan diatas terhadap keselamatan perempuan bisa diminimalisir, karena
teknologi transportasi saat ini setidaknya bisa membeikan kenyamanan untuk
melakuakan perjalanan seorang diri walaupun hal tidak memberikan jaminan seratus
persen bagi mereka. Sydah menjadi berita umum bahwa saat ini memang kerap
terjadi tindakan kejahatan bagi perempuan yang dilakuakan jalanan, angkutan
umum dan lain sebagainya, namun itu semua terjadi karena baberapa faktor lain
yang kontens tidak sepenuhnya menyentuh pada alasan kesalamatan bagi perempuan
untuk melakukan perjalanan sendirian secara umum, melainkan terjadi karena
kelalaian masing-masing individunya, seperti berpakaian yang mengundang
syahwat, membuka aurat, dan sikap kurang menghargai wanita bagi sekelompok
orang-orang.
Atas dasar penjelasan diatas maka hadist ini harus
dimaknai secara kontekstual dan inilah yang menjadi titik dari syari’at yang
terkandung dalam hadist tersebut yaitu
menjaga perjalanan sorang perempuan secara aman bukan pada larangan bepergian
tanpa muhrim.
Itulah beberapa
contoh teks hadist yang muatan tasyri’nya perlu dikritisi karena tidak
menyentuntuh pada konten kerisalahan Nabi Muhammad, pemikiran yang seperti ini
sah-sah saja dimuculkan walaupun memang dalam satu sisi wacana dikotomi teks
hadist pada tasyri’ dan non tasyri’ membuka pintu dialogis yang lebar antara
yang pro dan yang kontra, namun setidaknya wacana ini merupakan salah satu dari
khazanah tersendiri dalam dunia pemikiran keislaman.
Setiap orang
berhak untuk berpendapat dan salah satunya dalam memahami dan menentukan sebuah
teks antara yang tasyri’ dan non tasyri’ asalkankan ia didukung dengan
kemampuan intelektual yang bisa dipertanggung jawabkan dalam ranah ilmiah bukan
sekedar pemahaman yang didasari kepentingan-kepentingan, hal yang seperti ini
jelas ditolak dan tidak dibenarkan.
D. Pradigma
Reflektive
Uraian dikitomi
teks hadist pada tasyri’ dan non tasyri’ diatas berada dalam lingkaran
pro-kontra cendikiawan muslim, namun pemakah tidak mau masuk pada lingkaran
tersebut melainkan lebih tertarik menjadikan wacana diatas sebagai arketipe
untuk mengembangkan sebuah konsep, pemakalah menyadari bahwa upaya ini
memungkinkan terjadinya perdebatan baru akan tetapi pemakalah berkeyakinan
upaya ini adalah bagian dari hak ilmiah seseorang unuk menyampaikan frame
worknya tanpa ada interes tertentu.
Atas dasar asumsi
diatas maka pemakalah membreak down teks hadist atas dua katagori besar,
pertama: bersifat substansi kemanusiaan Rasulullah dengan setiap aspek
yang meliputi sisi kemenusiaannya, yaitu yang berkenaan dengan sosial, budaya,
pun juga dengan kebutuhan dan ekperimen.
Teks yang masuk
dalam katagori pertama ini tidak memiliki kandunga tasyri’ namun memiliki unsur
nilai-nilai (value) yang bisa diterjemahkan dalam bentuk penyerapan nilai-nilai
dalam kehidupan kita bahkan bisa kita menirunya sebagaimana Rasalullah telah melaksanakannya
pada hal-hal yang memugkinkan untuk dilakukan karena Rasulullah merupakan sosok
paripurna (insan kamil) yang dalam keniscayaannya selalu mencerminkan hal-hal
yang baik, positif dan patut diteladani. Namun walaupun demikian hadist/sunnah
yang muncul dari sisi substansi kemanusiaan Rasulullah tidak lantas
semerta-merta dipahami sebagaimana tekstualnya artinya memposisikan
hadist/sunnah tersebut tidak sebagai teks yang memiliki unsur syari’at yang
selanjutnya memiliki keterkaitan dengan hukum ke-Islam-an.
Salah satu
contoh dari hadis yang yang masuk katagori substansi kemanusian Rasulullah
adalah hadist-hadist tentang metode berobat Rasulullah, semisal madu, bekam,
jintan hitam dan lain sebagainya, hadist bisa kita menirunya sebagaimana
Rasulullah telah melaksanakanya, bahkan dewasa ini telah banyak
penemuan-penemuan ilmiah dari hadist-hadist yang masuk dalam katagori ini, maka
sangat pantas bagi kita sebagai umatnya untuk meneladaninya namun dengan
peahaman bahwa hadist-hadts tersebut tidak menyentuh unsur syari’at melainkan
menjadikan hadist-hadist yang masuk dalam katagori ini sebagai hadist-hadist
yang serat dngan nilai-nilai yang bisa untuk ditransformasikan dalam kehidupan
kita selagi hal tersebut memungkinkan untuk direalisasikan.
Kedua: teks yang muncul dari aspek eksistensial
Rasulullah sebagai tangan kanan Tuhan dimuka bumi yaitu sebagai pengemban
risalah kerasulan, pemimpin kenegaraan dan umat dan pengempu otoritas kebijakan
(hakim).
Dalam katagori
risalah yaitu yang meliputi: syariah, aqidah dan etika mengandung unsur tasyri’ yang secara umum
harus dipahami secara tekstual kerena tiga hal tersebut merupakan pondasi dalam
ajaran dan pengajaran Islam, dimana kita sebagai ummat Islam harus tunduk
sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah.
Sedangkan dua
katagori lainnya yaitu sebagai pemimpin atau imam dan sebagai hakin mengandung
unsur tasyri’ yang dipahami secara kontekstual karena hal tersebut bersifat
fleksibel dan ada juga yang bersifat temporal seperti hadist yang memuat perintah-perintah
Rasullah dalam mengatur strategi perang.
Simpulan
Sebuah wacana
muncul dalam memposisikan Teks hadist kepada dua diskursus yaitu; Tasyri’iyah, yaitu teks yang erat kaitannya dengan
penetapan ajaran yang mengikat. Dan Non Tasri’iyah, yaitu teks
yang tidak berkenan dengan penetapan
ajaran agama yang mengikat karena teks
trsebut lahir dari basyariyah Nabi Muhammad sebagaima yang telah diwacanakan
oleh Mahmud Syaltut.
Dalam pandangan umumnya pemakalah sepenapat dengan wacana ini
namun pemakalah dalam pemahamannya tidak menggunakan kata non tasyri’ walaupun
dalam kenyataannya memang demikian karena pemakalah menyakini bahwa pada teks yang bersifat non tasyri’ ini
mengandung sebuah nilai-nilai yang bisa ditranformasikan oleh umat Islam dalam kehidupannya
dengan argumentasi bahwa Nabi Muhammad merupakan manusia terbaik pilihan Tuhan
yang tentunya dari setiap sesuatu yang baik akan memantulkan energi yang baik
pula dan manusia paripurna yang pantas untuk diteladani oleh karena itu
walaupum teks yang lahir dari basyariyah Nabi Muhammad tersebut tidak mengikat
karena tidak berdimensi tasyri’ tapi teks tersebut patut untuk ditranformasikan
dan diteladani nilai-nilai yang terpancar dariya.
Untuk mempermudah pemahaman pemakalah
menawarkan konsep yang muncul sebagai reflesi dari wacana yang dibangun oleh
Mahmud Syaltut yaitu membagi teks dalam dua katagori besar sebagaimana telah
dijelaskan diatas yaitu bersifat substansial dan eksistensial dengan rangkaian
sebagaimana yang telah dijelaskan.
Atas dasar apa
yang telah dipaparkan pemakalah mengambil hipotesa bahwa teks tidak bisa
dipahami secara tekstual dalam totalitasnya karena ada banyak teks yang harus
dipahami dan dicerna secara kontekstual, hal ini dilakukan supaya kita bisa
menempatkan sebuah teks dalam proporsinya dan pemhaman kitapun terhadap teks
sesuai dengan posrinya tanpa mengurangi rasa hormat terhadap keberadaan
Rasulullah sebagai utusan Allah yang patut ditiru dan diteladani.
Daftar Pustaka
Muhammad al-Sya’rawi, Tafsir
Al-Sya’rawi. Maktabah Al-Syamilah
Mahmud al
Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadist, Surabaya, Toko Kitab Al-Hidayah
Ali Al-Thanthanwi, Ta’rif
‘Am Bi Din al-Islam, Jeddah, Dar Al-Manarah, 1989
Abu Yazid, Nalar
& Wahyu , Jakarta: Penerbit ERLANGGA, 2007
Mahmud Syaltut, Al-Islam
‘Aqidah Wa Syariah, Kairo: Dar al-Syuruq, 2001
Muslim
al-Naisaburi, Shahih Muslim , Bairut: Dar Ihya’ Al-Turast Al-‘Arabi
--------------------------------------------------
Bairut: Dar al-Jiil & Dar al-Afaq al-Jadid
[1] QS
Al-Ambiya. 107
[2]
Muhammad al-Sya’rawi, Tafsir Al-Sya’rawi (Maktabah Al-Syamilah)
[3] Mahmud al Thahhan, Taisir
Musthalah al-Hadist, (Surabaya, Toko Kitab Al-Hidayah) h 15
[4] Ali Al-Thanthanwi, Ta’rif
‘Am Bi Din al-Islam, (Jeddah, Dar Al-Manarah, 1989) h 157
[5] QS Al-Kahfi 110
[6] Syariat merupakan
perangkat ajaran agama dalam domain implementasi ajaran agama dalam kehidupan
pribadi dan sosial kemasyarakatan dengan totalitasnya sebagai bentuk
penghambaan.
[7]
Abu Yazid, Nalar & Wahyu (Jakarta: Penerbit ERLANGGA, 2007) h 90
[8]
Mahmud Syaltut, Al-Islam ‘Aqidah Wa Syariah (Kairo: Dar al-Syuruq, Cet,18,
2001) h 499
[9] Ibid. h 499-500
[10]
Muslim al-Naisaburi, Shahih Muslim (Bairut: Dar Ihya’ Al-Turast Al-‘Arabi ) J. 1
H. 222
[11] Ibid,
J.3 H. 1605
Tidak ada komentar:
Posting Komentar