Kamis, 18 Juli 2013

Muhammad Sebagai Manusia dan Rasul

oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir

PENDAHULUAN
Sudah menjadi penetahuan umum bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam, dimana Nabi Muhammad mempunyai wewenang otoritatif dalam pembentukan sebuah hukum, hal ini merupakan konsekuensi logis dari eksistensi Muhammad sebagai Rasulullah.
Nabi Muhammad yang dalam keniscayaannya menjadi panutan bagi ummat manusia khususnya ummat Islam sebagaimana firman Allah:      وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”[1]
Ayat ini mengisyaratkan bahwa setiap hal yang bersember dari beliau dalam dugaan umumnya memiliki unsur tuhanisme yag kental, asumsi ini dimunculkan atas dasar penafsiran kata رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ yaitu: Nabi Muhammad merupakan Rahmat pada setiap dimensi totalitas jagad raya mulai dari malaikat, jin, manusia, tumbuh-tumbuhan[2] dan seterusnya, dimana terdapat garansi jaminan dari Allah dalam pribadi Nabi Muhammad sebagai layak menjidi patron bagi umat manusia namun apakah semua hal yang bersumber dari Nabi Muhammad yang selanjutnya disebut hadis dalam totalitasnya harus diikuti oleh umatnya atau lebih jauhnya apakah memiliki berdimensi syar’i atau bersifat umum dan tidak mengikat?
Dalam makalah ini penulis mencoba mengulas hal-hal yang erat kaitannya dengan deskripsi diatas, seperti halnya terkait dengan substansi Nabi Muhammad merupakan manusia biasa.


PEMBAHASAN
A.  Teks Hadist Dalam Bingkai Muhammad Sebagai Manusia Dan Rasul
Hadist yang didefisinikan dengan segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat[3] merupakan salah satu sumber pokok dalam Islam, hal itu tidak lepas dari eksistensi Nabi Muhammad sebgai pengemban risalah ilahi yang memiliki otoritas dalam menjalankan roda kerasulan.
Nabi Muhammad adalah pribadi teladan yang baik dan memiliki pengaruh besar pada ummat Islam namun disamping itu Nabi Muhammad juga merupakan manusia biasa yang memiliki sisi identik kemanusian sebagaimana para Rasul sebelum Nabi Muhammad, mereka dilahirkan, diwafatkan, dan diciptakan sama seperti manusia lainnya[4] oleh karenanya itu semua ada sebuah wacana yang berkembang yaitu pendikotomian hadist antara tasyri’iyyah dan non tasyri’iyyah sebagaimana yang wacanakan oleh Mahmud Syaltut dalam kitabnya yang berjudul; Al Islam ‘Aqidah Wa Syari’ah.
Wacana ini merupakan problem yang dilematis, karena berusaha memisahkan sisi kemanusiaan dan kerasulan Nabi Muhammad dan hal ini merupakan sesuatu yang tidak gampang karena kedua sisi tersebuat berada dalam satu pribadi Nabi Muhammad sekalipun hal itu bisa dibedakan secara garis besar dalam spektrum eksistensi dan substansi yaitu substansi Nabi Muhammad sebagai manusia biasa dan eksistensi beliau sebagai Rasul. dalam hal ini pamakalah berpijak pada firman Allah:
¨ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ׎|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqム¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_ötƒ uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ Ÿwur õ8ÎŽô³ç ÍoyŠ$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& [5]    
 Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Ayat ini mengindikasikan bahwa dalam pribadi Rasulullah terdapat sisi kemanusian yang melekat dalam substansinya, maka sebagai manusia biasa Rasulullah sekalipun ada kecenderungan untuk berbuat keliru hanya saja beliau memiliki kelebihan dari manusia biasa dengan kemaksumannya sebagai konsekuensi logis dari eksistensinya sebagai Rasulullah,  sehingga menjadi penting untuk diketahui kemunculan sebuah teks yang bersumber dari Nabi (hadist) apakah berdimenisi kerasulan atau manusia biasa,  karena tidak semua teks yang ada menpunyai dimensi syari’at[6] dimana syariat sendiri dalam bentuk motode dan mekanisme aturan merupakan pergerakan melampaui setiap teks dan ungkapan[7] ia selalu kompatibel dengan setiap situasi dengan pola dialogis antara teks dan konteks.

B.   Teks Hadist Dalam Prespektif Mahmud Syaltut; Hadist Tasyri’ dan Non Tasyri’
Seorang intelektual asal Mesir Mahmud Syaltut membagi sunnah menjadi: sunnah tasyri’ dan gharu tasyri’[8], dengan ini menunjukkan bahwa tidak semua teks dapat diamalkan maka yang dimaksudnya sunnah tasyri’ adalah sunnah yang wajib dilaksanakan sebagai bentuk ketaatan pada Rasulullah yang memiliki hak otoritas dalam pembentukan syariat sedangkan sunnah ghairu tasyri’ maksudnya adalah sunnah yang disandarkan pada Nabi Muhammad yang tendensiusnya lebih pada sisi -substansi- kemanusiaan Nabi Muhammad.
Mahmud Syaltut membagi teks hadist/sunnah empat katagori:
1.      Teks yang lahir atas dasar kebutuhan yang bersifat kemanusiaan, seperti teks tentang makan, minum, tidur, berjalan dan lain sebagainya.
2.      Teks yang lahir atas dasar eksperimen dan adat yang bersifat personal atau sosial seperti teks tentang pertanian, kedokteran dan sebagainya.
3.      Teks yang lahir atas dasar pengaturan strategi yang terkait dengan kondisi tertentu seperti teks tentang pengaturan pasukan perng.
4.      Teks yang lahir dalam kepentingan tasyri’ yang kemudian dirincikan dalam beberapa macan, yaitu:
a.       Domain penyampaian risalah (tabligh), misal penjelasan Nabi terhadap teks yang masih mujmal dari al-qur’an, penjelsan prihal ritual pribadatan, halal dan haram dan seterusnya.
b.      Domain kepemimpinan bagi umat Islam (imam). Misal pengiriman pasuakan perang, pendistribusian harta ghanimah dan lain sebagainya.
c.       Domain kewewenang sebagai hakim karena selain sebagai pemimpin Nabi juga memiliki peran sebagai qadhi atau hakim[9].  
Teks yang bersifat tasyri’ ini secara garis besar dikatagorikan dalam tasyri’ ‘am dan khas, katagori tasyri’ am pada perincian diatas adalah teks dalam wilayah penyampaian risalah, dimana teks tersebut harus dipahami dan dilakukan sebagaiman dalam hadis tersebut (tektual). Sedangkan teks yang bersifat tasyri’ khas ialah teks dalam wilayah Nabi sebagai pemimpin dan hakim.

C.   Contoh Kritik Terhadap Kandungan Syari’at Pada Teks Hadist.
Ada beberapa hadist yang diduga tidak memiliki unsur tasy’ri’ namun untuk memaparkan semua hadist tersebut membutuhkan sebuah kajian khusus dan panjang oleh karenanya pemakalah hanya mencantumkan sebagian kecil dari hadist yang muatan tasyri’nya disinyalir perlu dilakukan kritik, dan dibawah ini ada beberapa topik yang diangkat untuk dijadikan sebagai contoh, diantaranya:
1.    Mencukur kumis dan memanjangkan jenggot
a.    Teks Hadist
وحدثناه قتيبة بن سعيد عن مالك بن أنس عن أبي بكر بن نافع عن أبيه عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه أمر بإحفاء الشوارب وإعفاء اللحية[10]
“sesungguhnya Rasulullah memerintahkan untuk mencukur kumis dan memanjangkan jenggot”
b.    Analis Teks
Hadist ini disinyalir tidak memiliki dimensyi’ tasyri’ karena kandungan hadist tersebut yaitu perintah untuk mencukur kumis dan memanjangkan jenggot tidak masuk dalam ranah iti kerisalahan karena hadis tersebut lebih cenderung pada kondisi budaya sosial geografis arab.
Secara umum memang hadist ini hanya bisa diakukan oleh orang-orang yang memiliki genitik yang memiliki pertumbuhan bulu yang lebat seperti kebanyakan orang-orang arab sedangkan untuk orang-orang asia khususnya dalam konteks keindonesiaan hal ini sulit untuk terapkan  karena  secara genetik orang indonesia tidak memiliki “bakat” untuk memanjangkan jnggot dengan alasan sebagaima yang telah dijelaskan.
Atas dasar keterangan  diatas maka hadist ini dianggap tidak memiiki unsur tasyri’ karena tidak bisa di terapkan secaru universal dalam semua umat Islam, sehingga bila dipaksakan untuk memasukkan kandungan teks hadis diatas dalam wilayah tasyri’ maka tidak semua umat Islam bisa melaksanakan hadist tersebut.

2.    Makan dengan tiga jari
a.    Teks Hadist
حدثنا يحيى بن يحيى أخبرنا أبو معاوية عن هشام بن عروة عن عبدالرحمن بن سعد عن ابن كعب بن مالك عن أبيه قال :كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يأكل بثلاث أصابع ويلعق يده قبل أن يمسحها[11]
“ Rasulullah pernah makan dengan tiga jari lalu mengecup tangan beliau sebelum membasuhnya”
b.    Analis Teks
Hadist ini secara tekstual menjelaskan tenang tata cara makan yang benar sebagaimana Rasulullah telah mencontohkan ketika beliau makan yaitu dengan menggunakan tiga jari, maka secara tekstual makan dengan mengunakan empat dan lima jari atau menggunakan sendok dan garpu merupakan cara yang kurang benar ketika makan karena tidak dicontohkan oleh Rasulullah.
Dalam konteks ini hadist diatas tidak bisa dicerna secara tekstual yaitu harus menggunakan tiga jari ketika makan, namun harus dipahami secara kontekstual dimana hadist ini mencerminkan untk tidak tergesa-gesa ketika menyatap makan, agar seseorang ketika ia makan bisa merasakan nikmatnya anugrah makanan yang diberikan oleh Allah SWT sehingga dengan itu ia bisa mensyukuri dalam setiap butir makanan tersebut, kalau dipahami seperti ini maka pantas apabila Rasulullah mengecup tangan beliau sebelum beliau membasuhnya yang itu merupakan bentuk ekspresi rasa syuur terhdap nikmat makanan tersebut.
Dari keteranagn diatas maka yang menjadi fokus dalam etika memakan makanan bukan pada penggunaan tiga jari sebagai bentuk sunah Rasul karena contoh prilaku Rasul ini, karena dalam penggunaan tiga jari ini tidak bisa digunakan dalam beberapa bentuk makanan seperti makanan yang berkuah, mie dan lain sebagainya. Sehingga makan dengan menggunakan tiga jari bukan merupakan sunah Rasul yang bersifat syar’i.

3.     Perempuan tidak boleh bepergian tanpa didampingi muhrimnya
a.    Teks Hadist
وَحَدَّثَنِى أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِىُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ جَمِيعًا عَنْ مُعَاذِ بْنِ هِشَامٍ - قَالَ أَبُو غَسَّانَ حَدَّثَنَا مُعَاذٌ - حَدَّثَنِى أَبِى عَنْ قَتَادَةَ عَنْ قَزَعَةَ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُسَافِرِ امْرَأَةٌ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ ».[12]
“janganlah seorang perempuan lebih dari tiga malam kecuali disertai muhrimnya”
b.    Analis Teks
Hadist ini merupakan salah satu hadist yang kerapkali menjadi perdebatan dalam karangan umat Islam dimana terdapat larangan bagi seorang perempuan untuk tidak bepergian tanpa didampingi  muhrinya, secara tekstual hadist ini memberikan pemahaman atas keharaman seorang perempuan untuk bepergian seorang diri, namun kalau dipahami secara kontekstual hadist ini tidak bisa dilepaskan dari latar belakang historis giografis arab dengan padang pasirnya.
Perjalanan dipadang pasir ketika itu ditempuh berhari-hari bahkan berbulan-bulan dengan menggunakan alat transportasi hewan seperti kuda, onta dan keledai, maka dalam kondisi seperti ini perempuan dikhawatirkan untuk melalakukan perjalanan sendiian hal ini didukung oleh faktor fisikal perempuan yang tergolong lebih lemah dari laki-laki, selain itu didukung oleh faktor kondisi sosial dimana tidak adanya jaminan keselamatan bagi perempuan yang mencancam baik berupa keselamatan jiwa, raga dan kehormatanan, maka hadist ini titik fokusnya adalah bukan pada larangan bepergian bagi perempuan seorang diri akan tetapi pada menjaga keselamatan jiwa, raga dan kehormatan seorang perempuan.
Dengan demikian kalau melihat kondisi sekarang dengan fasilitas transportasi yang cukup memadai untuk mengapresiasi keberadaan seorang wanita maka kekhawatiran seperti yang diutarakan diatas terhadap keselamatan perempuan bisa diminimalisir, karena teknologi transportasi saat ini setidaknya bisa membeikan kenyamanan untuk melakuakan perjalanan seorang diri walaupun hal tidak memberikan jaminan seratus persen bagi mereka. Sydah menjadi berita umum bahwa saat ini memang kerap terjadi tindakan kejahatan bagi perempuan yang dilakuakan jalanan, angkutan umum dan lain sebagainya, namun itu semua terjadi karena baberapa faktor lain yang kontens tidak sepenuhnya menyentuh pada alasan kesalamatan bagi perempuan untuk melakukan perjalanan sendirian secara umum, melainkan terjadi karena kelalaian masing-masing individunya, seperti berpakaian yang mengundang syahwat, membuka aurat, dan sikap kurang menghargai wanita bagi sekelompok orang-orang.
Atas dasar penjelasan diatas maka hadist ini harus dimaknai secara kontekstual dan inilah yang menjadi titik dari syari’at yang terkandung dalam hadist tersebut  yaitu menjaga perjalanan sorang perempuan secara aman bukan pada larangan bepergian tanpa muhrim.
Itulah beberapa contoh teks hadist yang muatan tasyri’nya perlu dikritisi karena tidak menyentuntuh pada konten kerisalahan Nabi Muhammad, pemikiran yang seperti ini sah-sah saja dimuculkan walaupun memang dalam satu sisi wacana dikotomi teks hadist pada tasyri’ dan non tasyri’ membuka pintu dialogis yang lebar antara yang pro dan yang kontra, namun setidaknya wacana ini merupakan salah satu dari khazanah tersendiri dalam dunia pemikiran keislaman.
Setiap orang berhak untuk berpendapat dan salah satunya dalam memahami dan menentukan sebuah teks antara yang tasyri’ dan non tasyri’ asalkankan ia didukung dengan kemampuan intelektual yang bisa dipertanggung jawabkan dalam ranah ilmiah bukan sekedar pemahaman yang didasari kepentingan-kepentingan, hal yang seperti ini jelas ditolak dan tidak dibenarkan.

D.  Pradigma Reflektive
Uraian dikitomi teks hadist pada tasyri’ dan non tasyri’ diatas berada dalam lingkaran pro-kontra cendikiawan muslim, namun pemakah tidak mau masuk pada lingkaran tersebut melainkan lebih tertarik menjadikan wacana diatas sebagai arketipe untuk mengembangkan sebuah konsep, pemakalah menyadari bahwa upaya ini memungkinkan terjadinya perdebatan baru akan tetapi pemakalah berkeyakinan upaya ini adalah bagian dari hak ilmiah seseorang unuk menyampaikan frame worknya tanpa ada interes tertentu.
Atas dasar asumsi diatas maka pemakalah membreak down teks hadist atas dua katagori besar, pertama: bersifat substansi kemanusiaan Rasulullah dengan setiap aspek yang meliputi sisi kemenusiaannya, yaitu yang berkenaan dengan sosial, budaya, pun juga dengan kebutuhan dan ekperimen.
Teks yang masuk dalam katagori pertama ini tidak memiliki kandunga tasyri’ namun memiliki unsur nilai-nilai (value) yang bisa diterjemahkan dalam bentuk penyerapan nilai-nilai dalam kehidupan kita bahkan bisa kita menirunya sebagaimana Rasalullah telah melaksanakannya pada hal-hal yang memugkinkan untuk dilakukan karena Rasulullah merupakan sosok paripurna (insan kamil) yang dalam keniscayaannya selalu mencerminkan hal-hal yang baik, positif dan patut diteladani. Namun walaupun demikian hadist/sunnah yang muncul dari sisi substansi kemanusiaan Rasulullah tidak lantas semerta-merta dipahami sebagaimana tekstualnya artinya memposisikan hadist/sunnah tersebut tidak sebagai teks yang memiliki unsur syari’at yang selanjutnya memiliki keterkaitan dengan hukum ke-Islam-an.
Salah satu contoh dari hadis yang yang masuk katagori substansi kemanusian Rasulullah adalah hadist-hadist tentang metode berobat Rasulullah, semisal madu, bekam, jintan hitam dan lain sebagainya, hadist bisa kita menirunya sebagaimana Rasulullah telah melaksanakanya, bahkan dewasa ini telah banyak penemuan-penemuan ilmiah dari hadist-hadist yang masuk dalam katagori ini, maka sangat pantas bagi kita sebagai umatnya untuk meneladaninya namun dengan peahaman bahwa hadist-hadts tersebut tidak menyentuh unsur syari’at melainkan menjadikan hadist-hadist yang masuk dalam katagori ini sebagai hadist-hadist yang serat dngan nilai-nilai yang bisa untuk ditransformasikan dalam kehidupan kita selagi hal tersebut memungkinkan untuk direalisasikan. 
Kedua: teks yang muncul dari aspek eksistensial Rasulullah sebagai tangan kanan Tuhan dimuka bumi yaitu sebagai pengemban risalah kerasulan, pemimpin kenegaraan dan umat dan pengempu otoritas kebijakan (hakim).
Dalam katagori risalah yaitu yang meliputi: syariah, aqidah dan etika  mengandung unsur tasyri’ yang secara umum harus dipahami secara tekstual kerena tiga hal tersebut merupakan pondasi dalam ajaran dan pengajaran Islam, dimana kita sebagai ummat Islam harus tunduk sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah.
Sedangkan dua katagori lainnya yaitu sebagai pemimpin atau imam dan sebagai hakin mengandung unsur tasyri’ yang dipahami secara kontekstual karena hal tersebut bersifat fleksibel dan ada juga yang bersifat temporal seperti hadist yang memuat perintah-perintah Rasullah dalam mengatur strategi perang.

Simpulan
Sebuah wacana muncul dalam memposisikan Teks hadist kepada dua diskursus yaitu; Tasyri’iyah,  yaitu teks yang erat kaitannya dengan penetapan  ajaran yang mengikat. Dan Non Tasri’iyah,  yaitu  teks yang  tidak berkenan dengan penetapan ajaran agama yang  mengikat karena teks trsebut lahir dari basyariyah Nabi Muhammad sebagaima yang telah diwacanakan oleh Mahmud Syaltut.
 Dalam pandangan  umumnya pemakalah sepenapat dengan wacana ini namun pemakalah dalam pemahamannya tidak menggunakan kata non tasyri’ walaupun dalam kenyataannya memang demikian karena pemakalah menyakini  bahwa pada teks yang bersifat non tasyri’ ini mengandung sebuah nilai-nilai yang bisa ditranformasikan oleh umat Islam dalam kehidupannya dengan argumentasi bahwa Nabi Muhammad merupakan manusia terbaik pilihan Tuhan yang tentunya dari setiap sesuatu yang baik akan memantulkan energi yang baik pula dan manusia paripurna yang pantas untuk diteladani oleh karena itu walaupum teks yang lahir dari basyariyah Nabi Muhammad tersebut tidak mengikat karena tidak berdimensi tasyri’ tapi teks tersebut patut untuk ditranformasikan dan diteladani nilai-nilai yang terpancar dariya. 
 Untuk mempermudah pemahaman pemakalah menawarkan konsep yang muncul sebagai reflesi dari wacana yang dibangun oleh Mahmud Syaltut yaitu membagi teks dalam dua katagori besar sebagaimana telah dijelaskan diatas yaitu bersifat substansial dan eksistensial dengan rangkaian sebagaimana yang telah dijelaskan.
Atas dasar apa yang telah dipaparkan pemakalah mengambil hipotesa bahwa teks tidak bisa dipahami secara tekstual dalam totalitasnya karena ada banyak teks yang harus dipahami dan dicerna secara kontekstual, hal ini dilakukan supaya kita bisa menempatkan sebuah teks dalam proporsinya dan pemhaman kitapun terhadap teks sesuai dengan posrinya tanpa mengurangi rasa hormat terhadap keberadaan Rasulullah sebagai utusan Allah yang patut ditiru dan diteladani.



Daftar Pustaka
Muhammad al-Sya’rawi, Tafsir Al-Sya’rawi.  Maktabah Al-Syamilah
Mahmud al Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadist, Surabaya, Toko Kitab Al-Hidayah
Ali Al-Thanthanwi, Ta’rif ‘Am Bi Din al-Islam, Jeddah, Dar Al-Manarah, 1989
Abu Yazid, Nalar & Wahyu , Jakarta: Penerbit ERLANGGA, 2007
Mahmud Syaltut, Al-Islam ‘Aqidah Wa Syariah, Kairo: Dar al-Syuruq, 2001         
Muslim al-Naisaburi, Shahih Muslim , Bairut: Dar Ihya’ Al-Turast Al-‘Arabi
-------------------------------------------------- Bairut: Dar al-Jiil & Dar al-Afaq al-Jadid


[1] QS Al-Ambiya. 107
[2] Muhammad al-Sya’rawi, Tafsir Al-Sya’rawi (Maktabah Al-Syamilah)
[3] Mahmud al Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadist, (Surabaya, Toko Kitab Al-Hidayah) h 15
[4] Ali Al-Thanthanwi, Ta’rif ‘Am Bi Din al-Islam, (Jeddah, Dar Al-Manarah, 1989) h 157
[5] QS Al-Kahfi 110
[6] Syariat merupakan perangkat ajaran agama dalam domain implementasi ajaran agama dalam kehidupan pribadi dan sosial kemasyarakatan dengan totalitasnya sebagai bentuk penghambaan.
[7] Abu Yazid, Nalar & Wahyu  (Jakarta: Penerbit ERLANGGA, 2007) h 90
[8] Mahmud Syaltut, Al-Islam ‘Aqidah Wa Syariah (Kairo: Dar al-Syuruq, Cet,18, 2001) h 499
[9] Ibid.  h 499-500
[10] Muslim al-Naisaburi, Shahih Muslim  (Bairut: Dar Ihya’ Al-Turast Al-‘Arabi ) J. 1 H. 222
[11] Ibid, J.3 H. 1605
[12] Muslim al-Naisaburi, Shahih Muslim  (Bairut: Dar al-Jiil & Dar al-Afaq al-Jadid ) J. 4.  H. 103    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar