oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir
PENDAHULUAN
SIMPULAN
PENDAHULUAN
Beragamnya
pemikiran, aliran dan sekte dalam satu sisi adalah sebuah kearifan dimana
memberikan ruang keleluasaan dalam memahami sebuah obyek dan mengaktualisasikan
fungsi logika dalam bernalar namun disisi yang lain keragaman dan perbedaan
bisa menjadi momok yang menakutkan untuk memecah belah kerukunan.
Dalam fakta
historis, Islam kaya dengan khazanah keberagamanan pemikiran baik dalam bidang
teologi, hukum, filsafat, tasawuf dan politik. Shi’ah adalah salah satu aliran
teologi dalam Islam yang memiliki setidaknya lima sekte yaitu; kaisaniyah,
zaidiyah, imamiyah, ghulat dan ismailiyah[1]. Sekte-sekte ini mucul karena dialektika imamah
atau kepimimpinan[2] sesudah terbunuhnya
Husain di karbala.
Shi’ah dalam sejarahnya merupakan
sebuah aliran yang muncul dikarenakan pergolakan politik dan seterusnya
berkembang menjadi aliran teologi yang fokus perhatian mereka bukanlah masalah
hukum atau mistisisme (tasawuf)
melainkan loyalitas terhadap khalifah[3].
Dalam makalah ini akan
disajikan penjelasan sejarah dan pemikiran-pemikiran shi’ah
guna menemukan arti dari eksistensi sebuah sejarah yaitu memberikan penafsiran,
pemahaman dan pengertian[4], namun penekanan
kajiannya hanya pada tiga sekte saja yaitu; Imamiyah, Ismailiyah dan Zaydiyah.
PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Sejarah Munculnya Shi’ah
Kata Shi‘ah
(شيعة) secara etimologi
bermakna golongan, pengikut, pembela, dan penolong[5], sedangkan
dalam pengertian terminologisnya istilah Shi‘ah sulit untuk didefinisikan secara
sempurna karena Shi’ah terkait dengan peristiwa dalam proses
sejarah yang panjang
dan dinamika ajarannya, namun secara garis besar Shi’ah adalah istilah khusus
bagi kolompok pendukung Ali bin Abi Ta>lib yang mengatakan bahwa pengangkatan Ali sebagai pemimpin (imamah)
atau khalifah atas dasar nash
dan wasiat dengan persepsi bahwa
kepemimpinan
tersebut senantiasa berlanjut
pada keturunan-keturunannya[6].
Apabila disederhanakan
shi’ah adalah kelompok partisan atau pengikut Ali bin Abi Ta>lib dan
keturunan-keturunannya dengan
mengusung konsep imamah.
Kemunculan shi’ah pada dasarnya terdapat perbedaan
pendapat, pertama; Shi’ah dikatakan awal kemunculannya setelah Rasulullah
SAW wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih pengganti Rasulullah yang pada
akhirnya mengangkat Abu bakr sebagai khalifah maka ada sekelompok sahabat yang
menolak kekhalifahan Abu Bakr karena menganggap terlalu tergesa-gesa dan tanpa
berunding dengan Ahl al Bait yang ketika itu sedang disibukkan mengurusi
jenazah Rasulullah[7],
dan sahabat yang dikatakan sebagai shi’ah diantaranya adalah Abu Dhar al
Ghifariy, Ammar bin Yasir, Hudaifah bin al Yaman, Khuzaimah bin Thabit, Abu
Ayyub al Ans.ari, Khalid bin Sa’id ibn al ‘As. dan Qois bin Sa’ad bin ‘Ubadah[8]
Kedua: pada akhir kepemimpinan ‘Uthman dan berkembang pada
masa kekhalifahan Ali ibn Abi Talib, setelah khalifah ‘Uthman bin Affan terbunuh Muawiyah berpendapat agar pelaku pembunuhan
segera dilacak dan ditindak tegas, sedangkan Ali ibn Abi Talib berpedapat lebih
baik ditunda dulu beberpa waktu sampai keadaan mereda karena pelacakan di saat
keadaan masih panas akan memperuncing keadaan. Ketiga; saat perang siffin dan Ali
menerima arbitrase dari Muawiyah lalu dari pasukan Ali terpecah menjadi dua,
ada yang menolak sikap Ali serta ada juga yang mendukung dan golongan inilah
yang selanjutnya menjadi aliran Shi’ah.
Kalau dianalisa dari semua pendapat tentang awal
kemunculan Shi’ah maka terlihat bahwa lahirnya Shi’ah murni produk politik
bukan ideologi teologis, seandainya Shi’ah lahir dari ideologi teologis maka menjadi
absurd bila kaum Ans}ar mencalonkan Sa’ad bin Abi Waqqas sebagai khalifah demikianpun
Muhajirin tidak akan mencalonkan Abu Bakar ra. Pada pendapat yang keduapun tidak ada alasan apupun selain masalah politik
praktis karena ‘Uthman dikenal sebagai khalifah yang royal terhadap kerabatnya
dalam memangku jabatan, dan hanya pada pendapat ketiga yang munuat alasan
teologis dalam sistem arbitrase (tahkim) di saat perang siffin, namun sisi
politisnya masih lebih dominan karean proses atbitrase itu sendiri dilakukan
karena intrik politik.
.
1.1 Shi’ah Imamiyah
Shi’ah Imamiyah adalah partisipan Ali
dengan menjadikan Imamah[9]
sebagai dasar ideoliginya, sekte Shi’ah Imamiyah juga dikenal dengan sebutan
Shi’ah Ithna Ashariyah yang lahir ketika Imam Ja’far al-Sadiq meninggal pada
tahun 765 M.
Shi’ah Imamiyah terpecah Setelah meninggalnya Ja’far al-Sadiq, perpecahan itu
dikarenakan perbedaan pendapat dalam menentukan siapakah diantara lima orang
putera Ja’far al-Sodiq yang akan menggantikan kedudukannya sebagai Imam.
Ja’far al-Sadiq
mempunyai lima anak laki-laki. Isma’il
bin Ja’far dan abdullah al-Aftah adalah putera-putera tertua dari Ja’far dengan
isterinya yang pertama bernama Fatimah. Dan 3 putera lain adalah Musa, Ishaq,
dan muhammad adalah putera Ja’far dengan seorang budak bernama Hamidah. Dari
sini kemudian golongan Shi‘ah Imamiyah terpecah lagi menjadi beberapa kelompok.
Menurut Al-syahrastani,
setelah Ja’far wafat, Imamiyah terpecah menjadi tujuh kelompok, yaitu:
1. Baqiriyah dan
Ja’fariyah: pengikut aliran Baqir dan Ja’far. Mereka menolak imam-imam yang
menggantikan Imam Ja’far. Setelah Ja’far meninggal imamah terhenti.
2. Nawusiyah: pengikut
Nawus. Mereka percaya bahwa Ja’far masih hidup dan akan muncul kembali, bahkan
mereka juga menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib juga masih hidup.
3. Shumaitiyah,
menganggap bahwa pengganti imam Ja’far adalah Yahya bin Abu Shumait.
4. Aftahiyah:
menganggap bahwa pengganti Imam Ja’far adalah anaknya yang bernama Abdullah
al-Aftah
5. Musawiyah dan
Mufaddaliyah: mereka adalah orang-orang yang mempercayai Musa al-Kadzim itu
pengganti Imam Ja’far dan setelah Musa meninggal, imamah terhenti padanya.
6. Ithna ‘Ashariyah:
mereka adalah orang-orang yang juga mempercayai Musa al-Kazim sebagai pengganti
Imam Ja’far. Hanya saja setelah Musa meninggal, imamah dilanjutkan oleh
keturunannya.
7. Ismailiyah:
menganggap bahwa pengganti Ja’far adalah putranya yang bernama Ismail lalu
dilanjutkan oleh puteranya, Muhammad dan diteruskan oleh para imam yang
tersembunyi.[10]
Adapun urutan imam Shi’ah Imamiyah
adalah sebagai berikut:
1.
Ali bin Abi Talib
(600–661), dikenal dengan Amirul Mu’minin
2.
Hasan bin Ali
(625–669), dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3.
Husain bin Ali
(626–680), dikenal dengan Husain al-Shahid
4.
Ali bin Husain
(658–713), dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5.
Muhammad bin Ali
(676–743), dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6.
Jafar bin Muhammad
(703–765), dikenal dengan Ja'far al-Sadiq
7.
Musa bin Ja'far
(745–799), dikenal dengan Musa al-Kaz}im
8.
Ali bin Musa (765–818), dikenal dengan Ali al-Rid}a
9.
Muhammad bin Ali
(810–835), dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad al-Taqiy
10. Ali bin
Muhammad (827–868), dikenal dengan Ali al-Hadiy
11. Hasan bin
Ali (846–874), dikenal dengan Hasan al-As}kariy
12. Muhammad bin
Hasan (868—), dikenal
dengan Muhammad al-Mahdi
.
1.2 Shi’ah Isma’iliyyah
Shi‘ah Ismailiyyah juga
familiar dengan sebutan Sab’iyyah adalah salah satu aliran pecahan dari
Shi‘ah Imamaiyah, Perpecahan ini dilatarbelakangi perbedaan pendapat dalam
menentukan Imam setelah Ja’far al-Sadiq meninggal.
Pada mulanya golongan
Imamiyah sepakat hierarki keimamahan
mulai dari Ali bin
Abi Thalib, kemudian diwasiatkan kepada pada putranya Hasan yang diterukan oleh
saudaranya Husain. Kemudian dilanjutkan oleh putera Husain yang bernama Ali
Zainal Abidin, kemudian diteruskan oleh puteranya Muhammad al-Baqir, kemudian
pada puteranya Ja’far as-Shodiq.
Dalam perkembangan
selanjutnya diantara ketujuh kelompok dalam Imamiyah yang telah disebutkan
diatas itu hanya kelompok Itsna Ash’ariyah dan Ismailiyah saja yang mempunyai
pengaruh luas. Karena diantara kedua kelompok itu terdapat perbedaan gerakan
dan ajaran, terutama Ismailiyyah yang dinilai mempunyai corak tersendiri, maka
Ismailiyah dianggap sebagai suatu sekte dalam Shi‘ah disamping Kaisaniyah,
Itsna As’Ariyah, Zaidiyah dan Ghullat.
Ismailiyyah yang
berarti “pengikut Ismail” yaitu, muncul pada masa pemerintahan al-Mansur,
kholifah kedua dari dinasti Abasiyah, tepatnya setelah Ja’far al-Sadiq wafat
pada tahun 148 H/765 M. bahwa Imam Ja’far telah mengangkat Ismail, puteranya
yang tertua, sebagai penggantinya. Akan tetapi karena Ismail meninggal lima
tahun lebih dulu dari Ja’far al-Sodiq maka timbul pertanyaan dikalangan
pengikut Ja’far tentang siapa penggantinya
Golongan Ismailiyah
menyatakan bahwa memang Ismail telah meninggal sebelum Ja’far. Namun karena
Ismail telah ditunjuk oleh Imam Ja’far sebagai penggantinya berdasarkan nas
yang tidak dapat dirubah, maka hak imamah diteruskan kepada puteranya yaitu
Muhammad bin Ismail. Sebagian yang lain menyatakan bahwa Ismail tidak meninggal
sebelum Imam Ja’far wafat. Tetapi ia dikabarkan meninggal untuk menyembunyikan
dan menghindarkannya dari orang-orang yang ingin membunuhnya[11].
Sepeninggal
Muhammad bin Ismail, Imam Ismailiyyah tidak pernah diumumkan, sehingga tidak
dapat diketahui dengan pasti nama, tahun lahir dan tahun wafat imam-imam yang
tertutup tersebut. Terdapat beberapa versi rangkaian imam-imam Ismailiyah yang
tersembunyi hingga munculnya ‘Ubaidillah
al-Mahdi, pendiri Dinasti Fatimiyah.
Adapun urutan imam Shi’ah Isma’iliyah
adalah sebagai berikut:
1
Ali Abi
Talib (600–661), dikenal juga dengan
Amirul Mu’minin
2
Hasan bin
Ali (625–669), dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3
Husain bin Ali
(626–680), dikenal dengan Husain al-Shahid
4
Ali bin Husain
(658–713), dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5
Muhammad bin Ali
(676–743), dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6
Jafar bin Muhammad
(703–765), dikenal dengan Ja'far al-Sadiq
7
Ismail bin Ja'far (721
– 755), adalah anak pertama Ja'far al-Sadiq dan kakak Musa al-Kazim.
1.3 Shi’ah Zaydiyah
Shi’ah Zaydiyah adalah suatu
sekte yang paling muderat ajarannya paling dekat pada ahli sunnah[12]
karenanya sekte ini tak menjerumuskan diri dalam kefanatikan, mereka tidak
menolak para Khalifah al-Rasyidin yang mendahului Ali bahkan dalam
khotbah-khotbahnya mereka selalu memohonkan keridhaan Allah bagi khalifah
al-Rasyidin. Pendiri sekte ini ialah Zaid bin
Ali Zainul Abidin bin Husain
[13]. Dan dari nama
Zaid inilah nama sekte ini diambil.
Sekte Zaydiyah merupakan sekte yang militan mereka terkenal dengan keberanian
pendirinya untuk keluar medan, memimpin perjuangan melawan kekuasaan Bani
Umayyah. Pendiri sekte ini adalah seorang yang sangat bertaqwa, alim,
pemberani, disegani oleh masyarakat dan tekun dalam memahami dan mengikuti
kandungan Kitabullah dan Sunnah. Ia belajar ilmu ilmu Agama dan Hadist-Hadist
Rasulullah dari saudaranya Muhammad al-Baqir yang dipandang sebagai ulama besar
Shi’ah Imamiyah, ia berhubungan dengan Washil bin ‘Atha’ pelopor Mu’tazilah, dan belajar ilmu kalam
padanya. Hal inilah yang membuatnya terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah
masuk kedalam ajaran–ajaran Zaidiyah[14].
Adapun urutan imam Shi’ah Isma’iliyah
adalah sebagai berikut:
1.
Ali bin Abi Talib
(600–661), dikenal juga dengan
Amirul Mu’minin
2.
Hasan bin Ali
(625–669), dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3.
Husain bin Ali
(626–680), dikenal dengan Husain al-Shahid
4.
Ali bin Husain
(658–713), dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5.
Zaid bin Ali
(658–740), juga dikenal dengan Zaid ibn Ali al-Syahid, adalah anak Ali ibn Husain dan
saudara tiri Muhammad al-Baqir.
2.
Doktrin Pokok Shi’ah; Komparasi Shi’ah Imamiyah,
Ismailiyah dan Zaidiyah
Pemikiran-pemikiran Shi’ah mencakup beberapa aspek, seperti hukum, politik ,teologis bahkan sosial.
Namun karena luasnya cakupan pemikiran
Shi’ah maka yang akan disajikan adalah asumsi atau prinsip dasar,
diantaranya adalah :
1. Washiyah
Ajaran Wishayah diyakini dan diakui oleh sekte Shi‘ah Imamiyah dan Isma’ilyah. berkeyakinan
bahwa Nabi Muhammad SAW mewasiatkan bahwa yang menggantikan beliau adalah Ali bin Abi Talib. Untuk melegitimasi keyakinan itu, mereka mengemukakan hadits yang menetapkan Ali sebagai wasiat
Nabi Muhammad. Nash yang terkenal dengan hadits Ghadir Khum yang diyakini
kesahihan sanadnya oleh golongan Shi‘ah itu juga diyakini sebagai wasiat Nabi
kepada Ali.[15]
Adapun Menurut Zaydiyah, menolak jabatan warisan bahwa nabi
telah Ali telah diwarisi kepemimpinan Nabi Muhammad[16]. Hal ini, karena mereka menilai bahwa nabi Muhammad
tidak menunjuk Ali dengan menyebut namanya, tetapi hanya dengan
mendeskripsikannya. Dan Ali lah orang yang tepat dengan deskripsi tersebut,
karena itulah mereka mengatakan Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada
sahabat yang lain, tapi mereka membolehkan adanya yang mafdhul di samping
adanya imam yang afdhal, yaitu Ali. Berdasarkan konsep ini, mereka memandang
Abu Bakr, Umar bin Khatab, dan Usman bin Affan adalah sah sebagai khalifah, yang memenuhi syarat
menjadi imam sepeninggal Nabi. sekalipun Ali lebih utama menurut mereka.
Pada realitas sekarang konsep wishayah ini banyak diparaktekkan oleh para
penguasa salah satu contoh kecil adalah apa yang terjadi pada kasus kepala desa,
tidak jarang di desa-desa, pencalonan kepala desa dilatarbelakangi keberlanjutan
posisi yang sebelumnya dijabat oleh kerabat terdekat, Dimonopoli sedemikaian
rupa untuk melanggengkan kekuasan padahal dalam kehidupan demokratis-plural
hal-hal yang semacam ini perlu dihilangkan.
2. Imamah
Shi‘ah Imamiyah dan Isma’ilyah meyakini bahwa yang berhak memimpin umat Islam hanyalah
imam yang sudah ditunjuk dan namanya mereka kenali. Para Imam terpilih ini
menjalankan fungsi spiritual dan politik yang tinggi dan memiliki berkah yang
khusus, kemampuan yang luar biasa (mu’jizat), dan pengetahuan rahasia yang
tidak dimiliki manusia pada umumnya. Konsep-konsep tentang karakter keimamahan
lebih detail diklasifikasikan oleh Hasan Tabattabai dalam tafsirnya:
-
Imam adalah maqam yang ditetapkan (dengan wahyu)
-
Imam harus ma’sum dengan
Ismah Ilahi
-
Bumi tidak akan teratur tanpa seorang imam pembawa
kebenaran selama manusia masih ada di bumi.
-
Imam bersandar pada pilihan Allah
-
Perbuatan manusia tidak terhijabi oleh ilmu imam
-
Imam harus mengetahui seluruh apa yang dibutuhkan oleh
manusia dalam kehidupan spiritualnya.
-
Tak ada seorangpun yang menandingi keutamaan-keutamaan
imam.[17]
Dalam pandangan Shi’ah Zaydiyah, imamah
mencakup beberapa ciri,
-
Keturunan ahl bait
-
Memiliki kemampuan berperang
-
Memiliki kapasitas intelektual yang
memadai[18]
Melihat konsep-konsep keimamahan Imamiyah dan
Isma’ilyah diatas adalah sesuatu yang berlebihan, dan tidak sesuai dengan fakta
sejarah khususnya konsep penetapan dan
pemilihan imam oleh Allah, seperti keimamahan Musa al-Kazim yang diangkat oleh
para pengikutnya.
Sebagaimana konsep wishayah, konsep imamah juga kerapkali diadopsi pada kehidupan
sehari-hari kita, dalam analisa pemakalah praktek konsep ini sering terjadi
pada pemuka agama atau
dunia kiai dan kaum adiningrat, biasanya seorang yang memiliki garis keturunan
darah biru dianggap memiliki keistimewaan daripada ”orang biasa”, sehingga ia
patut untuk dihormat, disanjung -bahkan melebihi batas ketidak wajaran- dan
dijadikan sebagai tokoh panutan, walupun keberadaan mereka tidak sesuai dengan
kenyatan bahwa mereka selayaknya diperlakukan seperti itu.
3. Ishmah
Ismah menurut istilah umum adalah kemampuan
menjauhi maksiat dengan seksama, bisa juga diartikan dengan terpelihara dari
semua dosa, Sedangkan pandangan Shi’ah itu sendiri, satu naluri yang mencegah
seseorang berbuat kemaksiatan.[19]
Imam bagi shi’ah seperti halnya Nabi adalah ma’sum. Semua imam suci dari
kesalahan, kealfaan dan juga dari dosa besar dan dosa kecil. Sedangkan Zaydiyah menolak prinsip tentang
kesucian imam dari dosa yang besar dan dosa kecil, bagi mereka imam itu hanya
orang biasa yang mungkin melakukan kesalahan namun sebagian kaum Zaydiyah ada
yang mensucikan empat orang dari keluarga ahl bait, yaitu Ali ibn Abi Thalib,
Fatimah, Hasan dan Husain.
Dalam pandangan pemakalah konsep ishmah
ini terlalu berlebihan, mengandung fanatisme yang sangat kental, karena sifat
ma’sum hanya pantas dimiliki oleh Nabi, walaupun imam-imam shi’ah adalah
keturunan Nabi penisbatan sifat ma’sum merupakan sesuatu yang melampaui batas
yang bisa berbias terhadap pengkultusan.
4. Raj’ah
Shi’ah meyakini al-raj’ah, yaitu kembalinya imam ke tengah masyarakat setelah lewat
masa gaib atau masa bersembunyi dari pandangan pengikutnya. Dalam keyakinan shi’ah
Imamiyah, imam al-Hasan al Askariy meninggalkan seorang putra yang berusia
sekitar empat sampai enam tahun, yang bergelar Imam Mahdi. Riwayat lain menyatakan
bahwa al-mahdi telah lahir sebelum ayahnya wafat, dan dinobatkan oleh ayahnya
sebagai imam ke-12, dan dalam usia yang sangat belia, ia lari dan bersembunyi
dalam lubang (sardab) di rumah ayahnya di Irak. Persembunyian ini menurut
pengikutnya berlangsung selama eman puluh lima tahun. Dalam masa ini, seorang Shi’ah dapat berhubungan
dengan imamnya melalui empat orang wakil khas, yang selama masa ini disebut
dengan ghaib kecil (al-ghaibah al-shugra’)
Setelah meninggalnya empat orang wakil
ini, maka dimulailah gaib besar (al-ghaib al-kubra), karena hubungan dengan
imam terputus sama sekali dan imam baru akan menampakkan diri lagi saat kiamat
sudah semakin dekat. Pada masa ini kepemimpinan Syi’ah dipegang dan dikendalkan
oleh wilayah al-Faqih, yaitu para ulama shalih yang dipercaya oleh masyarakat Shi’ah.
Adapun Shi’ah Ismailiyah
menganggap bahwa Muhammad bin Ismail itu sebagai al-mahdi yang suatu saat akan
muncul kembali memimpin umat di dunia, menegakkan kebenaran dan keadilan
Shi’ah Zaydiyah menolak al-raj’ah, karena imam kalau seandainya calon
imam itu ada di tengah mereka, atau menurut mereka kehadiran imam merupakan
syarat utama. Oleh karena itu Zaydiyah tidak mengakui tentang
keberadaan imam Mahdi yang akan keluar di akhir zaman nanti.
Adapun
sebab-sebab yang melatarbelakangi terbentuknya
faham mahdi :
a. Faktor intern:
golongan Shi‘ah secara beruntun mengalami kegagalan demi kegagalan dalam
memperoleh kekuasaan politik sejak tidak terpilihnya Ali sebagai khalifah pertama hingga kekuasaan direbut oleh dinasti
umayyah dan Abbasiyah. Terbunuhnya imam-imam Shi‘ah semakin membuat kecewa dan
putus asa. Untuk menghibur dan membesarkan hati pengikut Shi‘ah yang mulai
kehilangan semangat dan daya juang, maka dimunculkan ide tentang kembalinya
imam mereka sebagai Mahdi.[20]
b.
Faktor
ekstern: sikap keterbukaan kaum shi’ah menerima ide-ide dan keyakinan non Islam
sangat memudahkan masuknya pengaruh kepercayaan mesianisme yang bersumber dari
pengikut ajaran Yahudi dan Nasrani lewat tokoh-tokohnya yang berpura-pura
mencintai ahlul bait. Ajaran Shi‘ah yang berkaitan dengan faham Mahdi itu
adalah kepercayaan al-Ghaibah (kegaiban imam) dan ar-raj’ah (kembalinya imam).
Dari pembahasan di
atas dapat disimpulkan bahwa Shi’ah adalah aliran teologi yang berangkat dari
gerakan politik praktis yang merupakan golongan yang sangat loyal bahkan
fanatic terhadap Ali bin Abi Thalib atau ahl al-Bait, dengan pendapat mereka
bahwa Ali ibn Abi Talib yang merupakan sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad
adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad dengan kepercayaan bahwa Ali
dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti
wahyu dari Allah, walaupun shi’ah Zaydiyah menolak konsepsi ini.
Sebagian ajaran atau doktrin aliran Shi’ah
memiliki kesamaan pemahaman antar sekte-sekte ditubuh Shi‘ah pada
umumnya, namun ada beberapa perbedaan
persepsi antara satu sekte
ini dengan sekte lainnya, khususnya sekte Zaydiyah yang memiliki perbedaan
mindset yang mencolok dengan sekte yang lain.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Syahrastani, Abu al-Fath, al-Milal
wa Nihal, Beirut: Dar al-fikr,2005
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah
(historial explanation), Yokyakarta: Tiara Wacana,2008
Muz.afar, Muhammad Husain, Tarikh al Shi’ah, Bairut: Dar al-Zahbudak.1985
Rozaq, Abdul. Anwar, Rosihun, Ilmu
Kalam Bandung, Pustaka Setia,2010
Ira M. Lapidus, Sejarah
Sosial Umat Islam, ter. Gufron A. Mas’adi, Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
Annan, Abdullah, Gerakan-gerakan yang Mengguncang Dunia Islam Surabaya.
Pustaka Progressif. 1993
al-Tabatabai, Muhammad Husein, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Iran : Al-Matba’ah Isma’iliyani, 1973
Asjmuni. Manhaj Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
[2] Salah satu pandangan syiah adalah
menolak kekhalifah abu bakar, umar dan usman dan ini ditentang oleh sunniy
[3] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, ter. Gufron A. Mas’adi (Jakarta:
Rajawali Pers, 2000), 177.
[9] Imamah merupakan pimpinan tertinggi
dalam regulasi religio politik shi’ah dengan
keyakinan bahwa imam adalah wakil Tuhan dibumi sehingga timbul pemahaman
bahwa Nabi Muhammad telah menanamkan ilmu rahasia kepada Ali yang seterusnya
ilmu ini diwariskan kepada para imam yang semuanya berada satu garis keturunan
[13] Abdullah Annan , Gerakan-gerakan
yang Mengguncang Dunia Islam (Surabaya. Pustaka Progressif. 1993) 85
“ Muhammad saw
berangkat pada malam hari langsung ke Madinah. Setibanya di suatu tempat di
sekitar al-Juhfa yang bernama Ghadir khum pada tanggal 18 Dzulhijjah, beliau
berhenti dan menyampaikan satu ucapan wahyu. Dengan memegang tangan ali bin abi
thalib, beliau berkata: “Apakah aku tidak dicintai oleh orang-orang yang
beriman lebih daripada diri mereka sendiri?”, dijawab oleh hadir:”benar, ya
rasulullah”. Kemudian beliau mengatakan “barang siapa mengakui aku sebagai
pemimpinnya, akui pula Ali sebagai pemimpinnya!. Selanjutnya Rasulullah
bersabda: “ Hai manusia, aku akan meninggalkan kalian semua dan kalian semua
akan menjumpai aku kelak di mata air di surga. Di situ aku akan menanyai kalian
semua tentang dua khazanah. Maka hati-hatilah terhadap bagaimana kalian menjaga
dua khazanah itu. Para anggota rombongan bertanya:” apa sajakah dua khazanah
itu ya Rasulullah? Nabi menjawab:”khazanah yang terbesar adalah Kitabullah,
karena dia dari Allah yang diberikan sebagaimana apa adanya oleh tangan Allah
untuk dipercayakan kepada tangan-tanganmu. Berpegang teguhlah padanya! Jangan
hilangkan atau menukar-nukarnya. Khazanah yang satu lagi aialah garis
keturunanku, ahlul bayt”.
[17]Muhammad Husein al-Tabatabai , al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz I
(Iran : Al-Matba’ah Isma’iliyani, 1973), 274-275.
[19]
Asjmuni. Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007) 269.
[20] Muslih fathoni, Faham Mahdi Shi‘ah, hal 87-88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar