Jumat, 21 Juni 2013

Shi'ah Imamiyah, Ismailiyah dan Zaydiyah

oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir


 PENDAHULUAN
Beragamnya pemikiran, aliran dan sekte dalam satu sisi adalah sebuah kearifan dimana memberikan ruang keleluasaan dalam memahami sebuah obyek dan mengaktualisasikan fungsi logika dalam bernalar namun disisi yang lain keragaman dan perbedaan bisa menjadi momok yang menakutkan untuk memecah belah kerukunan.
Dalam fakta historis, Islam kaya dengan khazanah keberagamanan pemikiran baik dalam bidang teologi, hukum, filsafat, tasawuf dan politik. Shi’ah adalah salah satu aliran teologi dalam Islam yang memiliki setidaknya lima sekte yaitu; kaisaniyah, zaidiyah, imamiyah, ghulat dan ismailiyah[1]. Sekte-sekte ini mucul karena dialektika imamah atau kepimimpinan[2] sesudah terbunuhnya Husain di karbala.      
  
Shi’ah dalam sejarahnya merupakan sebuah aliran yang muncul dikarenakan pergolakan politik dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi yang fokus perhatian mereka bukanlah masalah hukum  atau mistisisme (tasawuf) melainkan loyalitas terhadap khalifah[3].
Dalam makalah ini akan disajikan penjelasan sejarah dan pemikiran-pemikiran shi’ah guna menemukan arti dari eksistensi sebuah sejarah yaitu memberikan penafsiran, pemahaman dan pengertian[4], namun penekanan kajiannya hanya pada tiga sekte saja yaitu; Imamiyah, Ismailiyah dan Zaydiyah.

  
PEMBAHASAN
1.  Pengertian dan Sejarah Munculnya Shi’ah
Kata Shi‘ah (شيعة) secara etimologi bermakna golongan, pengikut, pembela, dan penolong[5], sedangkan dalam pengertian terminologisnya istilah Shi‘ah sulit untuk didefinisikan secara sempurna karena Shi’ah terkait dengan peristiwa dalam proses sejarah yang panjang dan dinamika ajarannya, namun secara garis besar Shi’ah adalah istilah khusus bagi kolompok pendukung Ali bin Abi Ta>lib yang mengatakan bahwa pengangkatan Ali sebagai pemimpin (imamah) atau khalifah atas dasar nash dan wasiat dengan persepsi bahwa kepemimpinan tersebut senantiasa berlanjut pada keturunan-keturunannya[6]. Apabila disederhanakan shi’ah adalah kelompok partisan atau pengikut Ali bin Abi Ta>lib dan keturunan-keturunannya dengan mengusung  konsep imamah.
Kemunculan shi’ah pada dasarnya terdapat perbedaan pendapat, pertama; Shi’ah dikatakan awal kemunculannya setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih pengganti Rasulullah yang pada akhirnya mengangkat Abu bakr sebagai khalifah maka ada sekelompok sahabat yang menolak kekhalifahan Abu Bakr karena menganggap terlalu tergesa-gesa dan tanpa berunding dengan Ahl al Bait yang ketika itu sedang disibukkan mengurusi jenazah Rasulullah[7], dan sahabat yang dikatakan sebagai shi’ah diantaranya adalah Abu Dhar al Ghifariy, Ammar bin Yasir, Hudaifah bin al Yaman, Khuzaimah bin Thabit, Abu Ayyub al Ans.ari, Khalid bin Sa’id ibn al ‘As. dan Qois bin Sa’ad bin ‘Ubadah[8]
Kedua: pada akhir kepemimpinan ‘Uthman dan berkembang pada masa kekhalifahan Ali ibn Abi Talib, setelah khalifah ‘Uthman bin Affan  terbunuh Muawiyah berpendapat agar pelaku pembunuhan segera dilacak dan ditindak tegas, sedangkan Ali ibn Abi Talib berpedapat lebih baik ditunda dulu beberpa waktu sampai keadaan mereda karena pelacakan di saat keadaan masih panas akan memperuncing keadaan.  Ketiga; saat perang siffin dan Ali menerima arbitrase dari Muawiyah lalu dari pasukan Ali terpecah menjadi dua, ada yang menolak sikap Ali serta ada juga yang mendukung dan golongan inilah yang selanjutnya menjadi aliran Shi’ah.
Kalau dianalisa dari semua pendapat tentang awal kemunculan Shi’ah maka terlihat bahwa lahirnya Shi’ah murni produk politik bukan ideologi teologis, seandainya Shi’ah lahir dari ideologi teologis maka menjadi absurd bila kaum Ans}ar mencalonkan Sa’ad bin Abi Waqqas sebagai khalifah demikianpun Muhajirin tidak akan mencalonkan Abu Bakar ra. Pada pendapat yang keduapun  tidak ada alasan apupun selain masalah politik praktis karena ‘Uthman dikenal sebagai khalifah yang royal terhadap kerabatnya dalam memangku jabatan, dan hanya pada pendapat ketiga yang munuat alasan teologis dalam sistem arbitrase (tahkim) di saat perang siffin, namun sisi politisnya masih lebih dominan karean proses atbitrase itu sendiri dilakukan karena intrik politik.
.
1.1 Shi’ah Imamiyah
Shi’ah Imamiyah adalah partisipan Ali dengan menjadikan Imamah[9] sebagai dasar ideoliginya, sekte Shi’ah Imamiyah juga dikenal dengan sebutan Shi’ah Ithna Ashariyah yang lahir ketika Imam Ja’far al-Sadiq meninggal pada tahun 765 M.
Shi’ah Imamiyah terpecah Setelah meninggalnya Ja’far al-Sadiq, perpecahan itu dikarenakan perbedaan pendapat dalam menentukan siapakah diantara lima orang putera Ja’far al-Sodiq yang akan menggantikan kedudukannya sebagai Imam.
Ja’far al-Sadiq mempunyai lima anak laki-laki. Ismail bin Ja’far dan abdullah al-Aftah adalah putera-putera tertua dari Ja’far dengan isterinya yang pertama bernama Fatimah. Dan 3 putera lain adalah Musa, Ishaq, dan muhammad adalah putera Ja’far dengan seorang budak bernama Hamidah. Dari sini kemudian golongan Shi‘ah Imamiyah terpecah lagi menjadi beberapa kelompok. Menurut Al-syahrastani, setelah Ja’far wafat, Imamiyah terpecah menjadi tujuh kelompok, yaitu:
1.      Baqiriyah dan Ja’fariyah: pengikut aliran Baqir dan Ja’far. Mereka menolak imam-imam yang menggantikan Imam Ja’far. Setelah Ja’far meninggal imamah terhenti.
2.      Nawusiyah: pengikut Nawus. Mereka percaya bahwa Ja’far masih hidup dan akan muncul kembali, bahkan mereka juga menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib juga masih hidup.
3.      Shumaitiyah, menganggap bahwa pengganti imam Ja’far adalah Yahya bin Abu Shumait.
4.      Aftahiyah: menganggap bahwa pengganti Imam Ja’far adalah anaknya yang bernama Abdullah al-Aftah
5.      Musawiyah dan Mufaddaliyah: mereka adalah orang-orang yang mempercayai Musa al-Kadzim itu pengganti Imam Ja’far dan setelah Musa meninggal, imamah terhenti padanya.
6.      Ithna ‘Ashariyah: mereka adalah orang-orang yang juga mempercayai Musa al-Kazim sebagai pengganti Imam Ja’far. Hanya saja setelah Musa meninggal, imamah dilanjutkan oleh keturunannya.
7.      Ismailiyah: menganggap bahwa pengganti Ja’far adalah putranya yang bernama Ismail lalu dilanjutkan oleh puteranya, Muhammad dan diteruskan oleh para imam yang tersembunyi.[10]
Adapun urutan imam Shi’ah Imamiyah adalah sebagai berikut:
1.      Ali bin Abi Talib (600–661), dikenal dengan Amirul Mu’minin
2.      Hasan bin Ali (625–669), dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3.      Husain bin Ali (626–680), dikenal dengan Husain al-Shahid
4.      Ali bin Husain (658–713), dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5.      Muhammad bin Ali (676–743), dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6.      Jafar bin Muhammad (703–765), dikenal dengan Ja'far al-Sadiq
7.      Musa bin Ja'far (745–799), dikenal dengan Musa al-Kaz}im
8.      Ali bin Musa (765–818), dikenal dengan Ali al-Rid}a
9.      Muhammad bin Ali (810–835), dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad al-Taqiy
10.  Ali bin Muhammad (827–868), dikenal dengan Ali al-Hadiy
11.  Hasan bin Ali (846–874), dikenal dengan Hasan al-As}kariy
12.  Muhammad bin Hasan (868—), dikenal dengan Muhammad al-Mahdi
.
1.2  Shi’ah Isma’iliyyah
Shi‘ah Ismailiyyah juga  familiar dengan sebutan Sab’iyyah adalah salah satu aliran pecahan dari Shi‘ah Imamaiyah, Perpecahan ini dilatarbelakangi perbedaan pendapat dalam menentukan Imam setelah Ja’far al-Sadiq meninggal.
Pada mulanya golongan Imamiyah sepakat hierarki  keimamahan mulai dari Ali bin Abi Thalib, kemudian diwasiatkan kepada pada putranya Hasan yang diterukan oleh saudaranya Husain. Kemudian dilanjutkan oleh putera Husain yang bernama Ali Zainal Abidin, kemudian diteruskan oleh puteranya Muhammad al-Baqir, kemudian pada puteranya Ja’far as-Shodiq.
Dalam perkembangan selanjutnya diantara ketujuh kelompok dalam Imamiyah yang telah disebutkan diatas itu hanya kelompok Itsna Ash’ariyah dan Ismailiyah saja yang mempunyai pengaruh luas. Karena diantara kedua kelompok itu terdapat perbedaan gerakan dan ajaran, terutama Ismailiyyah yang dinilai mempunyai corak tersendiri, maka Ismailiyah dianggap sebagai suatu sekte dalam Shi‘ah disamping Kaisaniyah, Itsna As’Ariyah, Zaidiyah dan Ghullat.
Ismailiyyah yang berarti “pengikut Ismail” yaitu, muncul pada masa pemerintahan al-Mansur, kholifah kedua dari dinasti Abasiyah, tepatnya setelah Ja’far al-Sadiq wafat pada tahun 148 H/765 M. bahwa Imam Ja’far telah mengangkat Ismail, puteranya yang tertua, sebagai penggantinya. Akan tetapi karena Ismail meninggal lima tahun lebih dulu dari Ja’far al-Sodiq maka timbul pertanyaan dikalangan pengikut Ja’far tentang siapa penggantinya
Golongan Ismailiyah menyatakan bahwa memang Ismail telah meninggal sebelum Ja’far. Namun karena Ismail telah ditunjuk oleh Imam Ja’far sebagai penggantinya berdasarkan nas yang tidak dapat dirubah, maka hak imamah diteruskan kepada puteranya yaitu Muhammad bin Ismail. Sebagian yang lain menyatakan bahwa Ismail tidak meninggal sebelum Imam Ja’far wafat. Tetapi ia dikabarkan meninggal untuk menyembunyikan dan menghindarkannya dari orang-orang yang ingin membunuhnya[11].
Sepeninggal Muhammad bin Ismail, Imam Ismailiyyah tidak pernah diumumkan, sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti nama, tahun lahir dan tahun wafat imam-imam yang tertutup tersebut. Terdapat beberapa versi rangkaian imam-imam Ismailiyah yang tersembunyi hingga munculnya Ubaidillah al-Mahdi, pendiri Dinasti Fatimiyah.
Adapun urutan imam Shi’ah Isma’iliyah adalah sebagai berikut:
1          Ali Abi Talib (600–661), dikenal juga dengan Amirul Mu’minin
2          Hasan bin Ali (625–669), dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3          Husain bin Ali (626–680), dikenal dengan Husain al-Shahid
4          Ali bin Husain (658–713), dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5          Muhammad bin Ali (676–743), dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6          Jafar bin Muhammad (703–765), dikenal dengan Ja'far al-Sadiq
7          Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far al-Sadiq dan kakak Musa al-Kazim.
                              
1.3  Shi’ah Zaydiyah
Shi’ah Zaydiyah adalah suatu sekte yang paling muderat ajarannya paling dekat pada ahli sunnah[12] karenanya sekte ini tak menjerumuskan diri dalam kefanatikan, mereka tidak menolak para Khalifah al-Rasyidin yang mendahului Ali bahkan dalam khotbah-khotbahnya mereka selalu memohonkan keridhaan Allah bagi khalifah al-Rasyidin. Pendiri sekte ini ialah Zaid bin Ali Zainul Abidin bin Husain [13].  Dan dari nama Zaid inilah nama sekte ini diambil.
Sekte Zaydiyah merupakan sekte yang  militan mereka terkenal dengan keberanian pendirinya untuk keluar medan, memimpin perjuangan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Pendiri sekte ini adalah seorang yang sangat bertaqwa, alim, pemberani, disegani oleh masyarakat dan tekun dalam memahami dan mengikuti kandungan Kitabullah dan Sunnah. Ia belajar ilmu ilmu Agama dan Hadist-Hadist Rasulullah dari saudaranya Muhammad al-Baqir yang dipandang sebagai ulama besar Shi’ah Imamiyah, ia berhubungan dengan Washil bin ‘Atha’ pelopor Mu’tazilah, dan belajar ilmu kalam padanya. Hal inilah yang membuatnya terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah masuk kedalam ajaran–ajaran Zaidiyah[14].
Adapun urutan imam Shi’ah Isma’iliyah adalah sebagai berikut:
1.      Ali bin Abi Talib (600–661), dikenal juga dengan Amirul Mu’minin
2.      Hasan bin Ali (625–669), dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3.      Husain bin Ali (626–680), dikenal dengan Husain al-Shahid
4.      Ali bin Husain (658–713), dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5.      Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid ibn Ali al-Syahid, adalah anak Ali ibn Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.
  
2.    Doktrin Pokok Shi’ah; Komparasi Shi’ah Imamiyah, Ismailiyah dan Zaidiyah
Pemikiran-pemikiran Shi’ah mencakup beberapa aspek, seperti hukum, politik ,teologis bahkan sosial. Namun karena luasnya cakupan pemikiran Shi’ah maka yang akan disajikan adalah asumsi atau prinsip dasar, diantaranya adalah : 
1. Washiyah
Ajaran Wishayah diyakini dan diakui oleh sekte Shi‘ah Imamiyah dan Isma’ilyah. berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW mewasiatkan bahwa yang menggantikan beliau adalah Ali bin Abi Talib. Untuk melegitimasi keyakinan itu, mereka mengemukakan hadits yang menetapkan Ali sebagai wasiat Nabi Muhammad. Nash yang terkenal dengan hadits Ghadir Khum yang diyakini kesahihan sanadnya oleh golongan Shi‘ah itu juga diyakini sebagai wasiat Nabi kepada Ali.[15]
Adapun Menurut Zaydiyah, menolak jabatan warisan bahwa nabi telah Ali telah diwarisi kepemimpinan Nabi Muhammad[16]. Hal ini, karena mereka menilai bahwa nabi Muhammad tidak menunjuk Ali dengan menyebut namanya, tetapi hanya dengan mendeskripsikannya. Dan Ali lah orang yang tepat dengan deskripsi tersebut, karena itulah mereka mengatakan Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada sahabat yang lain, tapi mereka membolehkan adanya yang mafdhul di samping adanya imam yang afdhal, yaitu Ali. Berdasarkan konsep ini, mereka memandang Abu Bakr, Umar bin Khatab, dan Usman bin Affan adalah sah sebagai khalifah, yang memenuhi syarat menjadi imam sepeninggal Nabi. sekalipun Ali lebih utama menurut mereka.
Pada realitas sekarang konsep wishayah ini banyak diparaktekkan oleh para penguasa salah satu contoh kecil adalah apa yang terjadi pada kasus kepala desa, tidak jarang di desa-desa, pencalonan kepala desa dilatarbelakangi keberlanjutan posisi yang sebelumnya dijabat oleh kerabat terdekat, Dimonopoli sedemikaian rupa untuk melanggengkan kekuasan padahal dalam kehidupan demokratis-plural hal-hal yang semacam ini perlu dihilangkan.
  
2. Imamah
Shi‘ah Imamiyah dan Isma’ilyah meyakini bahwa yang berhak memimpin umat Islam hanyalah imam yang sudah ditunjuk dan namanya mereka kenali. Para Imam terpilih ini menjalankan fungsi spiritual dan politik yang tinggi dan memiliki berkah yang khusus, kemampuan yang luar biasa (mu’jizat), dan pengetahuan rahasia yang tidak dimiliki manusia pada umumnya. Konsep-konsep tentang karakter keimamahan lebih detail diklasifikasikan oleh Hasan Tabattabai dalam tafsirnya:
-          Imam adalah maqam yang ditetapkan (dengan wahyu)
-          Imam harus ma’sum dengan Ismah Ilahi
-          Bumi tidak akan teratur tanpa seorang imam pembawa kebenaran selama manusia masih ada di bumi.
-          Imam bersandar pada pilihan Allah
-          Perbuatan manusia tidak terhijabi oleh ilmu imam
-          Imam harus mengetahui seluruh apa yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan spiritualnya.
-          Tak ada seorangpun yang menandingi keutamaan-keutamaan imam.[17]
Dalam pandangan Shi’ah Zaydiyah, imamah mencakup beberapa ciri,
-          Keturunan ahl bait
-          Memiliki kemampuan berperang
-          Memiliki kapasitas intelektual yang memadai[18]
Melihat konsep-konsep keimamahan Imamiyah dan Isma’ilyah diatas adalah sesuatu yang berlebihan, dan tidak sesuai dengan fakta sejarah khususnya  konsep penetapan dan pemilihan imam oleh Allah, seperti keimamahan Musa al-Kazim yang diangkat oleh para pengikutnya.
Sebagaimana konsep wishayah, konsep imamah juga kerapkali diadopsi pada kehidupan sehari-hari kita, dalam analisa pemakalah praktek konsep ini sering terjadi pada pemuka agama atau dunia kiai dan kaum adiningrat, biasanya seorang yang memiliki garis keturunan darah biru dianggap memiliki keistimewaan daripada ”orang biasa”, sehingga ia patut untuk dihormat, disanjung -bahkan melebihi batas ketidak wajaran- dan dijadikan sebagai tokoh panutan, walupun keberadaan mereka tidak sesuai dengan kenyatan bahwa mereka selayaknya diperlakukan seperti itu.

3. Ishmah
Ismah menurut istilah umum adalah kemampuan menjauhi maksiat dengan seksama, bisa juga diartikan dengan terpelihara dari semua dosa, Sedangkan pandangan Shi’ah itu sendiri, satu naluri yang mencegah seseorang berbuat kemaksiatan.[19] Imam bagi shi’ah seperti halnya Nabi adalah ma’sum. Semua imam suci dari kesalahan, kealfaan dan juga dari dosa besar dan dosa kecil.  Sedangkan Zaydiyah menolak prinsip tentang kesucian imam dari dosa yang besar dan dosa kecil, bagi mereka imam itu hanya orang biasa yang mungkin melakukan kesalahan namun sebagian kaum Zaydiyah ada yang mensucikan empat orang dari keluarga ahl bait, yaitu Ali ibn Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husain.
Dalam pandangan pemakalah konsep ishmah ini terlalu berlebihan, mengandung fanatisme yang sangat kental, karena sifat ma’sum hanya pantas dimiliki oleh Nabi, walaupun imam-imam shi’ah adalah keturunan Nabi penisbatan sifat ma’sum merupakan sesuatu yang melampaui batas yang bisa berbias terhadap pengkultusan.  

4. Raj’ah
Shi’ah meyakini al-raj’ah, yaitu kembalinya imam ke tengah masyarakat setelah lewat masa gaib atau masa bersembunyi dari pandangan pengikutnya. Dalam keyakinan shi’ah Imamiyah, imam al-Hasan al Askariy meninggalkan seorang putra yang berusia sekitar empat sampai enam tahun, yang bergelar Imam Mahdi. Riwayat lain menyatakan bahwa al-mahdi telah lahir sebelum ayahnya wafat, dan dinobatkan oleh ayahnya sebagai imam ke-12, dan dalam usia yang sangat belia, ia lari dan bersembunyi dalam lubang (sardab) di rumah ayahnya di Irak. Persembunyian ini menurut pengikutnya berlangsung selama eman puluh lima tahun. Dalam masa ini, seorang Shi’ah dapat berhubungan dengan imamnya melalui empat orang wakil khas, yang selama masa ini disebut dengan ghaib kecil (al-ghaibah al-shugra’)
Setelah meninggalnya empat orang wakil ini, maka dimulailah gaib besar (al-ghaib al-kubra), karena hubungan dengan imam terputus sama sekali dan imam baru akan menampakkan diri lagi saat kiamat sudah semakin dekat. Pada masa ini kepemimpinan Syi’ah dipegang dan dikendalkan oleh wilayah al-Faqih, yaitu para ulama shalih yang dipercaya oleh masyarakat Shi’ah. 
Adapun Shi’ah Ismailiyah menganggap bahwa Muhammad bin Ismail itu sebagai al-mahdi yang suatu saat akan muncul kembali memimpin umat di dunia, menegakkan kebenaran dan keadilan
Shi’ah Zaydiyah menolak al-raj’ah, karena imam kalau seandainya calon imam itu ada di tengah mereka, atau menurut mereka kehadiran imam merupakan syarat utama. Oleh karena itu Zaydiyah tidak mengakui tentang keberadaan imam Mahdi yang akan keluar di akhir zaman nanti.
Adapun sebab-sebab yang melatarbelakangi terbentuknya faham mahdi :
a.       Faktor intern: golongan Shi‘ah secara beruntun mengalami kegagalan demi kegagalan dalam memperoleh kekuasaan politik sejak tidak terpilihnya Ali sebagai khalifah  pertama hingga kekuasaan direbut oleh dinasti umayyah dan Abbasiyah. Terbunuhnya imam-imam Shi‘ah semakin membuat kecewa dan putus asa. Untuk menghibur dan membesarkan hati pengikut Shi‘ah yang mulai kehilangan semangat dan daya juang, maka dimunculkan ide tentang kembalinya imam mereka sebagai Mahdi.[20]
b.      Faktor ekstern: sikap keterbukaan kaum shi’ah menerima ide-ide dan keyakinan non Islam sangat memudahkan masuknya pengaruh kepercayaan mesianisme yang bersumber dari pengikut ajaran Yahudi dan Nasrani lewat tokoh-tokohnya yang berpura-pura mencintai ahlul bait. Ajaran Shi‘ah yang berkaitan dengan faham Mahdi itu adalah kepercayaan al-Ghaibah (kegaiban imam) dan ar-raj’ah (kembalinya imam). 


 SIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Shi’ah adalah aliran teologi yang berangkat dari gerakan politik praktis yang merupakan golongan yang sangat loyal bahkan fanatic terhadap Ali bin Abi Thalib atau ahl al-Bait, dengan pendapat mereka bahwa Ali ibn Abi Talib yang merupakan sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad dengan kepercayaan bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah, walaupun shi’ah Zaydiyah menolak konsepsi ini.
Sebagian ajaran atau doktrin aliran Shi’ah memiliki kesamaan pemahaman antar sekte-sekte ditubuh Shi‘ah pada umumnya, namun ada beberapa perbedaan persepsi antara satu sekte ini dengan sekte lainnya, khususnya sekte Zaydiyah yang memiliki perbedaan mindset yang mencolok dengan sekte yang lain.
  
DAFTAR RUJUKAN
Al-Syahrastani, Abu al-Fath, al-Milal wa Nihal, Beirut: Dar al-fikr,2005
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (historial explanation), Yokyakarta: Tiara Wacana,2008
Muz.afar, Muhammad Husain, Tarikh al Shi’ah, Bairut: Dar al-Zahbudak.1985
Rozaq, Abdul. Anwar, Rosihun, Ilmu Kalam Bandung, Pustaka Setia,2010
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, ter. Gufron A. Mas’adi, Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
Annan, Abdullah, Gerakan-gerakan yang Mengguncang Dunia Islam Surabaya. Pustaka Progressif. 1993
al-Tabatabai, Muhammad Husein, al-Mizan fi  Tafsir  al-Qur’an, Iran : Al-Matba’ah Isma’iliyani, 1973
Asjmuni. Manhaj Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007


[1] Abu al-Fath Syakhrasytani, al-Milal wa an-Nihal (Beirut:Dar al-fikr,2005) 118
[2] Salah satu pandangan syiah adalah menolak kekhalifah abu bakar, umar dan usman dan ini ditentang oleh sunniy
[3] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, ter. Gufron A. Mas’adi (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), 177.
[4] Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (historial explanation)  (Yokyakarta: Tiara Wacana,2008). 2
[5] Muhammad Husain Muz.afar, Tarikh al Shi’ah, (Bairut: Dar al zahbudak.1985)13
[6] Syakhrasytani, al-Milal wa an-Nihal,  118
[7] Abdul Rozaq, Rosihun Anwar, Ilmu Kalam (Bandung, Pustaka Setia,2010) 90-91
[8] Muhammad Husain Muz.afar, Tarikh al Shi’ah, 19
[9] Imamah merupakan pimpinan tertinggi dalam regulasi religio politik shi’ah dengan  keyakinan bahwa imam adalah wakil Tuhan dibumi sehingga timbul pemahaman bahwa Nabi Muhammad telah menanamkan ilmu rahasia kepada Ali yang seterusnya ilmu ini diwariskan kepada para imam yang semuanya berada satu garis keturunan
[10] Syakhrasytani, al-Milal wa an-Nihal, 133-136
[11] Ibid, 153-154
[12] Abdul Rozaq, Rosihun Anwar, Ilmu Kalam. 101
[13] Abdullah Annan , Gerakan-gerakan yang Mengguncang Dunia Islam (Surabaya. Pustaka Progressif. 1993)  85
[14] Ibid. 86-87 
[15] Bunyi lengkap Hadits Ghadir Khum itu adalah sebagai berikut:
“ Muhammad saw berangkat pada malam hari langsung ke Madinah. Setibanya di suatu tempat di sekitar al-Juhfa yang bernama Ghadir khum pada tanggal 18 Dzulhijjah, beliau berhenti dan menyampaikan satu ucapan wahyu. Dengan memegang tangan ali bin abi thalib, beliau berkata: “Apakah aku tidak dicintai oleh orang-orang yang beriman lebih daripada diri mereka sendiri?”, dijawab oleh hadir:”benar, ya rasulullah”. Kemudian beliau mengatakan “barang siapa mengakui aku sebagai pemimpinnya, akui pula Ali sebagai pemimpinnya!. Selanjutnya Rasulullah bersabda: “ Hai manusia, aku akan meninggalkan kalian semua dan kalian semua akan menjumpai aku kelak di mata air di surga. Di situ aku akan menanyai kalian semua tentang dua khazanah. Maka hati-hatilah terhadap bagaimana kalian menjaga dua khazanah itu. Para anggota rombongan bertanya:” apa sajakah dua khazanah itu ya Rasulullah? Nabi menjawab:”khazanah yang terbesar adalah Kitabullah, karena dia dari Allah yang diberikan sebagaimana apa adanya oleh tangan Allah untuk dipercayakan kepada tangan-tanganmu. Berpegang teguhlah padanya! Jangan hilangkan atau menukar-nukarnya. Khazanah yang satu lagi aialah garis keturunanku, ahlul bayt”.
[16] Abdul Rozaq, Rosihun Anwar, Ilmu Kalam 101
[17]Muhammad Husein al-Tabatabai , al-Mizan fi  Tafsir  al-Qur’an, Juz I (Iran : Al-Matba’ah Isma’iliyani, 1973), 274-275.
[18] Abdul Rozaq, Rosihun Anwar, Ilmu Kalam (Bandung, Pustaka Setia,2010) 102
[19] Asjmuni. Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) 269.
[20] Muslih fathoni, Faham Mahdi Shi‘ah, hal 87-88

Tidak ada komentar:

Posting Komentar