oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Kajian keislaman
ternyata tidak hanya diminati oleh kalangan orang muslim sendiri namun juga orang
barat yang nota beninya non muslim yang selanjutnya disebut sebagai orentalis
sangat antusias dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman, walaupun tidak ada
keterangan jelas sejak kapan dan siapa pertama kali orang barat yang pertama
kali mempelajari Islam[1], dalam
kajian historisnya terdapat beberapa pendapat mengenai hal ini[2] namun
istilah orientalis sendiri sudah muncul sejak abad ke-17 karena pada masa tersebut
pengkajian barat tentang Islam dan dunia timur sudah bersifat ilmiah-akademik[3], hal
ini menindikasikan bahwa ilmu-ilmu keislaman memiliki penikmat yang beragam
dengan motivasi yang tentunya beragam pula.
Salah satu
bidang keilmuan Islam yang ditekuni oleh orientalis adalah bidang hadis, bahkan
dari kajian yang mereka lakukan telah melahirkan sebuah karya monumental
seperti al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāz} al-H{adīth al-Nabawī, sebuah karya dari sekelompok orientalis yang dipublikasikan
oleh A. J. Wensinck dan J. P. Mensing, karya mereka ini merupakan salah satu
karya yang juga dipergunakan oleh orang Muslim dalam melacak keberadaan hadis
berdasarkan teksnya. Karya ini walaupun dihasilkan oleh orang-orang orientalis
tetapi harus diakui bahwa karya mereka ini sangat membantu orang Muslim sendiri
khususnya bagi para peneliti-peneliti hadis, oleh karenanya merupakan sikap
yang kurang bijak dan tidak obyektif bila umat Islam memandang bahwa setiap
kajian yang dilakukan oleh orang-orang non-muslim merupakan kajian yang
distortif karena kenyataannya tidak semuanya demikian.
Kajian keilmuan
yang dilakukan oleh orientalis secara garis besar setidaknya memiliki dua dasar
motivasi yang berbeda, yang pertama adalah kajian yang dilakukan untuk mencari
celah “kesalahan” Islam untuk menghantam Islam dan menciptakan image negatif
terhadap Islam dan yang kedua adalah kajian yag obyektif dalam konteks
penyaluran hasrat intelektualitas yang bersifat ilmiah, walaupun dalam
presentasenya motivasi yang pertama jauh lebih dominan daripada motivasi yang
kedua, hal ini bisa dipahami sebgai akibat dari gesekan ketidak harmonisan
antara Islam dan non-Islam khususnya yang bersifat sentimen teologis.
Kajian keislaman yang dilakukan oleh orientalis pada mulanya
hanya kepada bidang keilmuan yang besifat umum, namun seiring berjalannya waktu
kajian tersebut mulai masuk dalam ranah kajian yang khusus termasuk didalamnya
adalah kajian tentang hadis dimana dalam
Islam hadis memiliki peranan sentral dan staregis karena hadis merupakan salah
satu landasan hukum dalam Islam dan panduan bagi umat Islam, maka dalam makalah
ini pemakalah akan memaparkan kajian yang dilakukan oleh orentalis dalam bidang
hadis dengan spesifikasi otentitas hadis dalam kajian orientalis domain teori
sistem isnād,
evolusi historisitas hadis, dan problem validitas hadis.
PEMBAHASAN
A.
Orientalisme
Sebelum membahasan kajian orientalis terhadap hadis maka
lebih baiknya kita awali dengan pembahasan tentang Orientalisme itu sendiri, secara
bahasa orientalis berasal dari bahasa Prancis dari kata orient yang
berarti timur, lawan kata dari occident yang berarti barat[4].
Sedangkan H.M. Joesoef Sou’yb memberikan
penjabaran yaitu bahwa orientalisme secara geografis berarti dunia belahan
timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa di Timur. Kata oriental adalah
sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat Timur, yang sangat luas
ruang lingkupnya meliputi bahasa, agama, kebudayaan, sejarah, ilmu bumi,
etnografi, kesusasteraan dan kesenian yang berasal dari Timur. Sedangkan kata
Isme menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Maka dari itu orientalisme
adalah suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang
berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya[5].
Awal mula orientalisme menurut Husain Haikal karena
pergesekan orang Islam dan Romawi dalam perang Mut’ah dan perang Tabuk karena
pada saat itu orang Islam sedang bermusuhan secara politik. Sedangkan sebagian
lainnya menulis bahwa orientalisme lahir sebagai akibat dari perang salib atau
ketika dimulainya pergesekan politik dan agama antara Islam dan Kristen di
Palestina. Terutama pada masa pemerintahan Nu>r al-Di>n Zanki dan S{ala>h
al-Di>n al-Ayyu>bi dan terus berlanjut pada masa al-‘Adi>l. Pendapat
lain menyeutkan bahwa orientalisme muncul pada peperangan berdarah antara umat
Islam dan Kristen di Andalusia setelah Alfonso VI mampu menaklukkan Toledo pada
tahun 488 H (1085 M). Sebagian lagi berpendapat bahwa orientalisme lahir karena
kebutuhan barat menolak Islam dan untuk mengetahui penyebab kekuatan umat Islam
terutama setelah jatuhnya Konstantinopel pada tahun 857 H (1453 M).[6]
Ada dua hal dalam proses penyelidikan orentalis terhadap
dunia timur yaitu:
1.
Mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu yang dimiliki oleh kaum
muslimin berupa ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu matematika, ilmu astronomi,
dan ilmu-ilmu yang lainnya dalam bahasa Arab untuk kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa latin yang merupakan bahasa ilmu pengetahuan dan kesusasteraan pada waktu itu. Dan pelopornya
adalah para pemuka agama Masehi yang dibantu oleh orang-orang Yahudi[7].
2.
Mempelajari bahasa-bahasa dunia Timur terutama bahasa Arab
beserta kesusasteraannya[8].
Dari penjelasan diatas kita ketahui bahwa kajian yang
dilakukan oleh orang barat terhadap dunia timur yang selanjutnya disebut dengan
orentalis telah muncul sejak masa kejayaan Islam dengan mempelajari ilmu-ilmu
yang dikembangkan oleh orang Islam termasuk juga ilmu-ilmu keislaman, dan salah
satu bahan kajian orientalis adalah tentang hadis yang akan dijelasan pada
pembahasan selanjutnya. Sedangkan interksi antara orang barat dan timur sudah
berlangsung sejak masa awal-awal Islam.
B.
Teori Sistem Isnād
Isna>d[9] memiliki
peranan yang dan posisi yang vital dalam kajian hadis, khususnya dalam
memastikan kualitas sebuah hadis, dengan demikian dapat dipastikan bahwa
isna>d memiliki relasi yang kuat terhadap keberadaan hadis.
Dalam
pandangan mayoritas ulama’ muslim, mereka meyakini bahwa permulaan sistem isna>d hadir bersamaan dengan
proses periwayatan hadis itu sendiri, namun lain halnya dengan orang orientalis
yang masih mempersoalkan tentang permulaan dan validitas sistem isna>d.
Muhammad Hamzah
dalam penelitiannya mengatakan bahwa banyak peneliti beranggapan bahwa isna>d
bermula setelah terjadinya “fitnah” sebagaimana perkataan Ibn Si>ri>n: “Mereka
tidak biasa bertanya tentang isna>d. Ketika terjadi fitnah mereka berkata,
“Berilah nama orang-orang kalian!” Bila Ahli Sunnah, maka hadis mereka diterima
dan bila ahli bid’ah, maka hadis mereka ditolak.” Namun dalam menentukan
sejarah permulaan isna>d yang dikaitkan dengan kejadian fitnah ini masih
menimbulkan permasalahan, yaitu fitnah apakah yang dimaksud oleh Ibn
Si>ri>n?[10] Maka
dari itu sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad Hamzah dari Joseph Schacht (1902-1969)[11], seorang
orientalis Jerman dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence berpendapat
bahwa fitnah yang dimaksud oleh Ibn Si>ri>n adalah fitnah pembunuhan al-Wali>d
ibn Yazi>d ibn ‘Abd al-Malik ibn Marwa>n (w. 126 H) hal ini didasarkan pada
persamaan penggunaan kata “fitnah” antara perkataan Ibn Si>ri>n dengan yang
disebutkan al-T{abari> dalam Ta>ri>kh-nya, bahwa dalam
kejadian-kejadian pada tahun 126 H perkara Bani Marwa>n kacau-balau dan
terjadilah fitnah. Hipotesis ini menyeretnya untuk menjadikan perkataan Ibn
Si>ri>n sebagai bahan karena ia wafat pada tahun 110 H, yaitu sebelum
terjadinya fitnah.[12] Secara
umum Schacht beranggapan bahwa sistem isna>>d mungkin valid untuk melacak hadis sampai pada
ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw dan para sahabat
adalah palsu dengan argumen sebagai berikut:[13]
1.
Sistem isna>d dimulai pada awal abad kedua
atau, paling awal, akhir abad pertama.
2.
Isna>d itu diletakkan secara sembarangan
dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang”
doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3.
Isna>d secara bertahap “meningkat” oleh
pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan
dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4.
Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa
Syafi’i untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadis-hadis yang
dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isna>d-isna>d keluarga”
adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isna>d-isna>d
itu.
5.
Keberadaan comman narrator dalam rantai
periwayatan merupakan indikasi bahwa hadis itu berasal dari masa periwayat itu.
Sedangkan
James Robson (1890-1970an) seorang orientalis berkebangsaan Inggris mengajukan interpretasi lain mengenai fitnah tersebut. Dalam pndangannya
yang dimaksud fitnah dalam konteks diatas adalah fitnah ‘Abd Alla>h ibn
al-Zubair pada tahun 72 H ketika ia memproklamasikan dirinya sebagai khalifah, hal
ini didasarkan pada perkataan fitnah yang dilontarkan oleh Ma>lik bin Anas
atas gerakan Ibn al-Zubair. Oleh karena itu maka isna>d muncul setengah abad
lebih awal dari yang dikatakan oleh Schacht karenanya hal ini dianggap sesuai
dengan umur Ibn Si>ri>n.[14]
Adapun
menutut Ignaz Goldziher (1850-1921) seorang orientalis Hungaria, isna>d adalah hasil dari perkembangan pemikiran generasi awal Islam.
Pendapat ini sama dengan pendapat Joseph
Schacht.[15]
ia berpendapat bahwa isna>d
diketahui secara luas berawal dari bentuk sederhana dan mencapai
kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga hijriah. Banyak isna>d yang
tidak mendapatkan perhatian dan kelompok apa pun yang ingin menisbatkan
pendapat-pendapatnya kepada orang-orang terdahulu (al-mutaqaddimu>n), maka mereka memilih figur-figur itu lalu
meletakkannya ke dalam isna>d.[16]
Dari paparan
diatas terdapat hipotesa yang bisa diambil bahwa kebanyakan para orientalis
meragukan validitas hadis terkait dengan sistem isna>d yang dibangun bahwa
isna>d adalah hasil rekayasa belaka dengan demikain hadis dalam
eksistensinya hanyalah sebuah cerita-cerita yang dinisbatkan pada Nabi SAW
untuk sebuah kepentingan-kepentingan akan tetapi tidak semua orentlis
mengasumsikan demikian karena Nabia Abbott (1897-1981 ) seorang orientalis
wanita menyatakan bahwa praktik penulisan hadis sudah berlangsung "sejak
awal" dan "berkesinambungan".[17]
Asumsi ini memberikan pemahaman bahwa para sahabat Nabi SAW sendiri telah
menyimpan catatan-catatan hadis dan tradisi ini di wariskan pada generasi
selanjutnya melalui riwayat-riwayat baik secara tertulis maupun lisan, hingga
pada akhirnya hadis-hadis tersebut didukumentasiakan dalam dalam
koleksi-koleksi kitab hadis.
Pendapat
Nabia Abbott ini menyajikan pemahaman implisit bahwa sistem isna>d sudah
dibangun sejak kemunculan hadis tersebut. Dengan demikian sistem isna>d yang
domainnya mengukur akurasi periwayatan hadis menjamin bahwa hadis yang sampai
pada kita sekarang memang bersumber dari Nabi SAW.
C.
Evolusi Historisitas Hadis
Berbicara tentang evolusi historisitas
hadis maka hal ini tidak lepas pemabasan tentang isna>d karena keberadaan
historisitas tidak bisa dipisahkan dengan isna>d itu sendiri.
Pandangan tentang evolusi historisitas
hadis sangat dipengaruhi oleh asumsi keberadaan isna>d, dalam konteks ini
ada dua kemungkinan asumsi yang dikembangkan yaitu apakah kemunculan isna>d
bersamaan dengan kemunculan hadis atau isna>d muncul jaug sesudah hadis.
Dan asumsi yang dikembangkan ini berimplikasi pada pemahaman apakah hadis-hadis
yang ada sekarang merupkan sesuatu yang benar-benar berasal dari Nabi SAW atau sebaliknya.
Pemahasan ini sebenarnya sedikit banyak
sudah disinggung diatas dimana para peneliti orientalis banyak yang berasumsi
bahwa banyak hadis-hadis yang muncul karena hasil rekayasa generasi awal Islam
dimana menurut Goldziher; fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling
awal akan tetapi, karena kandungan hadis yang terus membengkak pada era
selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim materi hadis berjalan paralel
dengan doktrin-doktrin fikih dan teologi yang seringkali saling bertentangan, maka
dapat disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan hadis-hadis orisinal yang
berasal dari Nabi. Sebagian besar materi hadis dalam koleksi kitab hadis
merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua
abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada
masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut.[18] Dan
dari pandangan Goldziher ini kumudian muridnya Schacht mengembangkan teori projecting
back.
Teori projecting back ini
merupakan teori penting dalam kajian hadis orientalis dimana kajiannya lebih
banyak menyoroti aspek isna>d daripada aspek matan dan kitab-kitab yang
dipakai dalam penelitiannya adalah al-Muwat}t}a’, al-Umn dan al-Risa>lah.[19]
Menurut Schacht hukum Islam belum eksis
pada masa al-Sha'bi> (w. 110 H). Dengan demikian apabila ditemukan
hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum, maka hadis-hadis itu adalah buatan
orang-orang yang hidup sesudah al-Sha'bi>, karena menuutnya hukum Islam baru
dikenal sejak pengangkatan para hakim agama (qa>d}i>) yang baru dilakukan
pada masa Dinasti Umayyah, sekitar pada akhir abad pertama Hijiyah (kurang
lebih 715-720 M) pengakatan qa>d}i> ini dibeikan kepada “spesialis” yang
taat beragama dan keputusan-keputusan yang diberikan pada qa>d}i> ini
menurut Schacht memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas
lebih tinggi. Atas dasar sebab ini maka mereka tidak menisbatkan
keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan menyandarkannya
kepada tokoh-tokoh sebelumnya untuk memperoleh legitimasi lebih kuat dan
akhirnya penisbatan itu sampai kepada Nabi SAW.[20]
Teori diatas mentransformasiakan
pemahaman bahwa kesejarahan hadis adalah
sebuah isapan jempol dalan keorsinilannya oleh karena itu tidak perlu lagi
menyakini keberadaan hadis sebgai sebuah warisan yang “sakral” hal ini disebabkan karena teori diatas mensinyalir
kenafian hadis yang muncul pada masa Nabi SAW akan tetapi muncul jauh sesudah
beliau wafat dan dipeparah dengan proyeksi sanad yang disandarkan pada generasi
sebelumnya hingga bersambung kepada Nabi SAW dan semua itu dilakukan sebagai
upaya justifikatif, maka berangkat dari ini muncul sebuah konklusi bahwa hadis
tidak otentik berasal dari Nabi melainkan hasil “kreatifitas” generasi-generasi
sesudah Nabi. Inilah pandangan orientalis terhadap hadis rangkaiaan
kesejarahan/historisitas hadis
Namun teori
diatas bertolak belakang dengan apa yang samapaikan oleh Nabia Abbott,
hadis-hadis Nabi dapat ditelusuri keberadaannya sejak pada masa Nabi dan bukan
merupakan buatan umat Islam dengan mengmukakan bukti tentang koleksi-koleksi
hadis pada masa sahabat, berasal dari ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn ‘Ash (w.65/684)
Abu Hurairah (56/678), Ibnu ‘Abba>s (w. 67-8/686-8), dan Anas ibn Ma>lik
(w. 94/712) yang meneruskan upaya pengoleksian, penghimpunan dan periwayatan
hadis tersebut[21].
Menurutnya penyebaran hadis secara lisan ternyata tidak berlangsung lama,
karena selain untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan juga untuk
membentuk kepercayaan masyarakat terhadap seluruh isi hadis, dan untuk
memelihara redaksi dan isi dari teks hadis tersebut, maka dari satu generasi ke
generasi selanjutnya penyebaran hadis melalui lisan dan tulisan dilakukan secara
berkesinambungan.[22]
Periwayatan hadis secara tertulis inilah yang menurutnya dapat dijadikan
sebagai jaminan bagi keshahihan dan keotentikannya. Dengan demikian ada
diantara orientalis yang masih membenarkan keberadaan hadis dalam konteks
historisitas yang bersumber dan muncul dari Nabi SAW dan bukan hasil buatan
umat Islam geneasi awal.
Dari paparan
yang telah dijelaskan diatas, ada dua aliran pemahaman yang saling bertentangan
satu sama lain dalam menyikapi kemunculan hadis dalam kajian historisnya. Pertama:
menganggap hadis muncul setelah generasi Nabi dengan kata lain hadis-hadis
tersebuat adalah hasil buatan generasi sesudah Nabi khususnya dalam bidang
hukum yang artinya hadis yang ada sekarang tidak otentik. Kedua: hadis
yang ada sampai sekarang yang dibukukan dalam buku koliksi-koleksi hadis
bersumber langsug dari Nabi SAW sehingga hadis tersebut bisa dijamin
keotentikannya.
D.
Problem Validitas Hadis
Pembahsan yang telah disajikan diatas
yaitu sistem isna>d dan evolusi historisitas hadis merupakan kajian yang
sangat mempengaruhi terhadap kajian problem validitas hadis. Sebab sistem
isna>d domain kajiannya dalam mengukur tingkat akurasi periwayatan hadis
yang mengantarkan pada penilaian valid dan tidaknya sebuah hadis. Sedangakan
kajian tentang evolusi historisitas hadis domainnya dalam menelisuri keotentikan
sebuah hadis. Dengan cara pembuktian terhadap hadis dalam catatan historisnya.
Oleh karena itu kajian validitas hadis ini sangat bergantung pada pembahasan
yang telah dipaparkan sebelumnya.
Diantara tokoh orientalis yang paling
berpengaruh dalam kajian hadis khususnya dalam konteks kajian validitas hadis
adalah Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht bahkan pengarunya juga diikuti oleh
beberapa para pemikir muslim seperti Ahmad Ami>n, Mahmu>d Abu> Rayyah
bahkan Muhammad al-Ghaza>li seorang ulama’ kontemporer kenamaan juga ikut
terpangaruh oleh prinsip-prinsip Ignaz Goldziher dalam kritik hadisnya.[23]
Menurut Ignaz Goldziher, penelitian
hadis yang dilakukan ulama’ klasik tidak dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah karena kelemahan metode yang dipakai yaitu para ulama’ lebih banyak
menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggukakan metode kritik matan. Dan
Ignaz Goldziher sendiri menawarkan
motode kritik baru yaitu kritik matan saja. Dalam pandangannya kritik matan
mencakup beberapa aspek seperti; politik, sains, sosio-kultural dan lain
sebagainya, ia mencontohkan hadis yang terdapat dalam kitab S{ahi>h}
Bukha>ri, menurutnya Bukha>ri hanya melakukan kritik sanad tanpa
melakukan kritik matan sehingga seletalah Ignaz Goldziher melakukan kritik matan ia berkesimpulan hadis
tersbut adalah hadis palsu.[24]
Ignaz Goldziher beranggapan bahwa umat Islam hanya fokus pada
kritik sanad tanpa kritik matan karena peran dari kesaksian atas kehidupan
religi umat Islam, sehingga tingkat kesahihan hadis ditentukan oleh derajat
keadilan para periwayatnya, meskipun dengan metode ini umat Islam berhasil mengetahui
banyak hal dan memisahkan banyak hadis yang silsilah isna>d-nya terdiri dari
para periwayat Tadli>s[25]
tetapi itu tidak cukup untuk mendeteksi hadis-hadis palsu. Sebab para pemalsu
dan para mudallis berhasil mengedarkan banyak hal dengan merangkai sanad-sanad
imajinatif untuk hal-hal yang hendak mereka edarkan. Pada saat yang sama, para
mudallis mendasarkan periwayatan hadis-hadis aneh mereka pada para periwayat terkenal.
Silsilah sanad-sanad imajinatif banyak memengaruhi para audiens yang cenderung
mempercayai apa yang diriwayatkan dari mereka.[26] Atas
dasar pemikiran ini ia berkesimpulan bahwa upaya yang dilakukan dalam
penyelidikan dan penyaringan isna>d kurang kompatibal dan gagal menyaring
hadis-hadis dari penambahan-penambahan, karena kritik hadis dalam pandangan
umat Islam sejak awal lebih didominasi oleh aspek eksternal. Oleh sebab itu, obyek
kritiknya hanya pada aspek eksternal saja. Kesahihan matan lebih terikat pada
kritik silsilah isna>d. Jika sanad hadis lolos dari kaidah-kaidah kritik
aspek eksternal, maka matan-nya juga akan sahih meskipun bertentangan dengan realita
atau berisi hal-hal kontradiktif.[27] Oleh
karenanya ia berkesimpulan bahwa apa yang disebut sebagai hadis diragukan
otentitasnya sebagai sabda Nabi SAW.
Sedangkan Joseph Schacht memberikan
kesimpulan lebih ekstrim daripada Goldziher yaitu tidak ada satupun hadis yang
otentik barasal dari Nabi SAW khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan
masalah hukum.[28]
Hal ini disebabkan karena konsep sistem isna>d yang ia bangun khususnya
dalam konteks kemunculannya dalam cacatan sejarah yang ia pahami.
Menurut Joseph Schacht, sanad adalah
bukti adanya tindakan sewenang-wenang dan kecerobohan yang dilakukan ulama’ ketika itu, bahkan ia
membuat teori tentang kapan terjadinya pemalsuan hadis. Ia berkata sebagaimana
yang dikitip oleh Ali Mustafa Yaqub:
‘The best way to proving that a
tradition did not exist at a certain time, is to show that it was not used as a
legal argument in a discussion which whould have made reference to it had existing”.
(cara terbaik untuk membuktikan bahwa suatu
hadis tidak pernah ada dalam suatu waktu tertentu adalah dengan menunjukkan
bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para
fuqaha sebab seandainya hadis itu pernah ada, pasti hal itu dijadikan referensi).[29]
Dengan demikian Baik Goldziher maupun
Schacht berasumsi bahwa hadis tidaklah bersumbur dari Nabi SAW melainkan buatan
ulama pada abad pertama dan kedua Hijriah, Goldziher berkata; ”Bagian terbesar
dari hadis tidak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan
kedua, baik dalam bidang keagamaan, politik, maupun sosial. Tidaklah benar
pendapat yang mengatakan bahwa hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada
sejak masa dini (masa pertumbuhan), melainkan adalah pengaruh perkembangann
Islam pada masa kematangan. Sementara Schacht berkata, “Bagian terbesar dari
sanad hadis adalah palsu. Semua orang mengetahui bahwa sanad pada mulanya
muncul dalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian mencapai tingkat
kesempurnaannya pada paruh kedua dari abad ketiga hijrah”.[30]
Sedangkan Nabia
Abbott, menyatakan keotentikan hadis-hadis Nabi SAW yang dibuktikan dengan keberadaan
dukumen-dukumen hadis ada sejak pada masa Nabi SAW. Dengan demikian hadis bukan
merupakan buatan umat Islam. Menurutnya perkembangan koleksi hadis muncul mulai
masa Nabi SAW melalui perantara keluarga, kerabat dan sahabat terdkat beliau,
kemudian setelah beliau wafat sejumlah sahabat banyak mengkoleksi dan menyebarkan hadis, walaupun hal itu
sempat terhambat karna ada larangan dari Umar bin Khattab dengan alasan
dikhawatirkan terjadi percampuan dengan al-Qur’an.
Nabia
mengemukakan telah muncul beberapa periwayat hadis terkemuka di masa awal
seperti Abu Hurairah dan Anas bin Ma>lik yang kemudian mereka meriwayatkan
hadis pada murid-muridnya, bahkan hadis-hadis dari mereka ditulis oleh
murid-muridnya. Dan ketika memasuki pertengahan abad pertama terjadi perkmbngan
signifikan terhadap disiplin keagamaan dan termasuk diantaranya adalah hadis.[31]
Paparan Nabia ini memberikan jaminan akan keotentikan hadis bahwa apa yang
disabdakn oleh Nabi SAW betul-betul bersumber dari beliau.
Dari apa yang
telah dijelaskan diatas kita bisa mengetahui bersama bahwa tidak semua
orientalis meragukan atau bahkan menafikan atentisitas hadis karena ada juga
yang mendukung keotentisitan hadis-hadis tersebut.
Simpulan
Orientalis
adalah orang-orang barat melakukan kajian terhadap dunia timur dalam beberapa
bidang disiplin meliputi bahasa, agama, kebudayaan, sejarah, ilmu bumi,
etnografi, kesusasteraan dan kesenian. Sedangkan orientalisme adalah faham atau
aliran yang mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur.
Dalam
penelitian orientalis terhadap hadis, dapat disimpulkan sebgai berikut:
1. Isna>>d
diragukan keberadaanyanya bahkan dinafikan oleh kebanyakan orentalis karena
dianggap dimulai pada awal abad kedua atau akhir abad pertama dan merupakan hasil
rekayasa oleh karenanya hadis dalam eksistensinya dianggap sebagai cerita-cerita
yang dinisbatkan pada Nabi SAW untuk sebuah kepentingan-kepentingan, namua ada
diantara mereka yang menilai bahwa isna>d merupakan sebuah warisan sistem
yang dimulai sejak munculnya hadis itu sendiri, hal ini sebagaimana yang
diungkap oleh Nabia Abbott.
2. Orientalis banyak yang berasumsi bahwa
banyak hadis muncul karena hasil
rekayasa generasi awal Islam dan sangat sulit menemukan hadis yang orisinil
yang berasal dari Nabi dan sebagian besar materi hadis adalah hasil
perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama,
atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat muslim,
diantara mereka ada yang menafikan hadis karena dianggap muncul jauh sesudah Nabi
wafat. Namun diantara suara mayoritas
ada yang menilai bahwa hadis-hadis Nabi dapat ditelusuri keberadaannya sejak
pada masa Nabi dan bukan merupakan buatan umat Islam.
3. Tidak ada
satupun hadis yang otentik barasal dari Nabi itulah asumsi yang paling ekstim
yang dituduhkan oleh orentalis, bahkan sekalipun ada itu hanya kecil
kemungkinan adanya, walaupun tidak semuanya berpendapat seperti itu dengan
menyatakan keotentikannya.
Daftar
Pustaka
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Masrur, Ali. Teori Common link G. H. A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits
Nabi. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2007
Hanafi, A. Orientalisme.
Jakarta: Pustaka Al Husna, 1981
Umar, A. Muin. Orientalisme dan
Studi Tentang Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
Baha>’ al-Di>n, Muh}ammad. Al-Mustashriqu>n wa al-H{adi>th
al-Nabawi>. Kuala Lumpur:
Fajar Ulung SDN. BHD., 1999.
Berg, Herbert. The Development of
Exegesis in Early Islam. Cornwall: Padstwom, 2000.
Afidah, Luthfi Nur. Otentisitas
Hadis Menurut Nabia Abbott. Yokyakarta: Skripsi Fak Usuluddin UIN Sunan
Kalijaga, 2008.
Mahmud, Moh Natsir. Orentalisme
Berbagai Pendekatan Barat Dalam Studi Islam Kudus: MASEIFA Jendela Ilmu,
2013.
Buchari,
Mannan. Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta: Amzah, 2006.
Aswad, Muh}ammad ‘Abd al-Razza>q. Al-Ittija>ha>t
al-Mu’a>s}irah fi> Dira>sah al-Sunnah al-Nabawiyyah fi> Mis}r wa
Bila>d al-Sha>m. Damaskus: Da>r al-Kalim al-T{ayyib, 2008.
Al-A’z}ami>, Muh}ammad Must}afa>.
Dira>sa>t fi> al-H{adi>th
al-Nabawi> wa Ta>ri>kh Tadwi>nih. Beirut: al-Maktab
al-Isla>mi>, 1980.
-------------------------------Menguji
Keaslian Hadits-Hadits Hukum. Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004.
H{amzah, Muh}ammad. Al-H{adi>th
al-Nabawi> wa Maka>natuha> fi> al-Fikr al-Isla>mi>
al-H{adi>th. Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi> al-‘Arabi>, 2005.
Assamurai, Qasim. Bukti-bukti
kebohongan Orientalis, penj: Syuhudi Ismail
Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
[1]
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) h.7
[2]
Ada yang berpendapat pertama kali terjadi pada perang mut’ah (8 H) kemudian
perang tabuk (9 H) dimana ada kontak pertama kali antara orang Romawi dengan
orang Muslim, ada juga yang berpendapat; terjadi ketika perang antara kau
muslimin dan nasrani di spanyol (andalusia)
terutama setelah Raja Alphonse VI menguasai Toledo pada tahun 488 H/1085
M, dan juga ada yang berpendapat; terjadi ktika orang-orang barat merasa
terdesak oleh ekspensi Islam khususnya setelah jatuhya Istambul pada tahun 857
H/1453 M ketangan kaum muslim dimana kemudian mereka masuk ke Wina, selain yang
telah disbutkan juga ada beberapa pendapat yang lain.
[3]
Moh Natsir Mahmud, Orentalisme Berbagai Pendekatan Barat Dalam Studi Islam
(Kudus: MASEIFA Jendela Ilmu, 2013) h.1
[4]
Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme (Jakarta: Amzah, 2006) 7
[5]
Ibid. 7-8
[6]
Qasim Assamurai, Bukti-bukti kebohongan Orientalis, penj: Syuhudi
Ismail (Jakarta: Gema Insani Press,
1996). 26-29
[7]
A. Hanafi, Orientalisme (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1981). 9-10
[8]
A. Muin Umar, Orientalisme dan Studi Tentang Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978). 9
[9]
Isna>d masih menjadi sebuah pembicaraan dalam kaidah mustalah hadis
khususnya tentang kaitannya dengan sanad dalm kontrofersi pemahamannya namun
setidak isna>d diindikasika memiliki dua pengertian, yaitu:
1. menisbatkan suatu hadist terhadap yang berbicara dengan cara
bersanad.
2. memiliki pengertian yang sama dengan sanad, yaitu mata
rantai persambungan periwayat yang bersambung bagi matan hadist. (Mah}mu>d
al-T{ah}h}an, Taisi>r Mus}t{alah} al-Had>ith, Surabaya: Toko Kitab
al-Hidayah) 16
[10]Muhammad
Hamzah, Al-H{adi>th al-Nabawi> wa Maka>natuha> fi> al-Fikr
al-Isla>mi> al-H{adi>th (Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi>
al-‘Arabi>, 2005), 204.
[11]Joseph
Schacht adalah sang orentalis yang mengembangkan teori “Projecting Back” yaitu
teori yang dikemukakan untuk meruntuhkan metode sanad/isna>d hadits yang
telah disusun dengan baik oleh para ulama Islam. Dalam teori ini, terdapat
anggapan bahwa sanad-sanad hadits yang tersebar saat ini adalah buatan para ahli
fikih sendiri untuk melegitimasi pendapat fikihnya, yang dilakukan dengan cara
memproyeksikannya ke belakang, yaitu dengan menyandarkannya kepada Nabi, atau
tokoh-tokoh di belakang mereka.
[13]
M.M Azami, Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum (Jakarta:Pustaka
Firdaus, 2004), 232-233.
[14]Muhammad
Hamzah, Al-H{adi>th al-Nabawi>...., 204-205.
[15]Ali
Masrur, Teori Common link G. H. A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits
Nabi (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2007), 39.
[16]Muh}ammad
Baha>’ al-Di>n, Al-Mustashriqu>n wa al-H{adi>th al-Nabawi>
(Kuala Lumpur: Fajar Ulung SDN. BHD., 1999) 102-103.
[17]Ali
Masrur, Teori Common link G. H. A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits
Nabi, 42.
[18]Ali
Masrur, Teori Common link G. H. A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits
Nabi, 1-2.
[19]Ali
Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, 21.
[20]Ibid.,
21-22. Lihat M. M ‘Azami
Dira>sa>t fi> al-H{adi>th al-Nabawi> wa Ta>ri>kh
Tadwi>nih. (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, 1980) II/398
[22]
Luthfi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Menurut Nabia Abbott (Yokyakarta:
Skripsi Fak Usuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2008). 77
[23]
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, 17
[24]
Ibid, 15
[25] Tadli>s ada dua macam, yaitu
:
1. Tadli>>s
al-Isna>d adalah jika seorang ra>wi meriwayatkan suatu hadis yang tidak
pernah didengarnya dari orang yang pernah didengar hadis-hadisnya, tanpa
menyebutkan bahwa perawi tersebut pernah mendengar hadits tersebut darinya.
artinya seorang ra>wi meriwayatkan sejumlah hadits yang didengarnya dari
gurunya; akan tetapi hadis yang di-tadlis-kannya itu belum pernah didengar dari
gurunya tadi, melainkan dari gurunya yang lain dan ia gugurkan gurunya yang
lain tersebut. Ia meriwayatkan hadits tersebut dengan lafadz yang mengandung
makna al-sama>’ atau sejenisnya, seperti kata qa>la atau ‘an, agar orang
lain mengira bahwa ia telah mendengar hadits tersebut dari gurunya. Ia tidak
mengatakan: sami’tu atau haddatsani sehingga tidak dianggap dusta. Orang yang
ia gugurkan itu bisa satu orang atau lebih.
-
Bagian dari tadli>s isna>d adalah tadli>s
al-Taswiyah. Yaitu ra>wi meriwayatkan
dari gurunya, tetapi perawi tersebut menggugurkan rawi d}}a’i>f yang
terletak antara dua rawi thiqah, yang salah satu dari dua ra>wi thiqah ini
saling bertemu. Bentuk hadits tersebut (yang sebenarnya) adalah bahwa ra>wi
meriwayatkan suatu hadits dari gurunya yang thiqah; guru yang thiqah ini
meriwayatkannya dari rawi d}a’i>f, dari ra>wi thiqah yang kedua. Kedua
ra>wi thiqah tersebut saling bertemu satu sama lain. Kemudian si mudallis
mendatangkan hadis tersebut dari rawi thiqah yang pertama, lalu ia gugurkan
rawi yang d}a’i>f pada sanadnya, sehingga sanadnya menjadi rawi thiqah
pertama dari thiqah kedua dengan menggunakan lafadh yang mengandung pengertian
seluruh rawinya thiqah.
Jenis tadli>s ini termasuk
tadli>s yang paling buruk, sebab rawi thiqah yang pertama tidak diketahui
tadli>snya. Si mudallis memperbaiki (membaguskan) sanadnya sesudah melakukan
penyamaan terhadap rawi thiqah yang lain, kemudian menetapkan kes}ahihannya.
Hal ini merupakan bentuk penipuan yang sangat parah.
2. Tadli>s
al-Shuyu>kh adalah jika seorang ra>wi meriwayatkan suatu hadits yang
didengar dari gurunya kemudian ia memberi nama, atau memberi kunyah, atau
menisbahka atau mensifatinya dengan nama lain yang tidak diketahui, supaya
gurunya itu tidak dikenal. (Mah}mu>d al-T{ah}h}an, Taisi>r Mus}t{alah}
al-Had>ith, Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah) 79-82
[26]Muh}ammad
H{amzah, Al-H{adi>th al-Nabawi> wa Maka>natuha> fi> al-Fikr
al-Isla>mi> al-H{adi>th, 210.
[27]Ibid.
[28] Ali Mustafa Yaqub, Kritik
Hadis, 14
[31] Luthfi Nur Afidah, Otentisitas
Hadis Menurut Nabia Abbott. 82-84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar