Minggu, 28 Juli 2013

Otentisitas Hadis dalam Pandangan Orientalis


oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir

PENDAHULUAN
Kajian keislaman ternyata tidak hanya diminati oleh kalangan orang muslim sendiri namun juga orang barat yang nota beninya non muslim yang selanjutnya disebut sebagai orentalis sangat antusias dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman, walaupun tidak ada keterangan jelas sejak kapan dan siapa pertama kali orang barat yang pertama kali mempelajari Islam[1], dalam kajian historisnya terdapat beberapa pendapat mengenai hal ini[2] namun istilah orientalis sendiri sudah muncul sejak abad ke-17 karena pada masa tersebut pengkajian barat tentang Islam dan dunia timur sudah bersifat ilmiah-akademik[3], hal ini menindikasikan bahwa ilmu-ilmu keislaman memiliki penikmat yang beragam dengan motivasi yang tentunya beragam pula.
Salah satu bidang keilmuan Islam yang ditekuni oleh orientalis adalah bidang hadis, bahkan dari kajian yang mereka lakukan telah melahirkan sebuah karya monumental seperti al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāz} al-H{adīth al-Nabawī, sebuah karya dari sekelompok orientalis yang dipublikasikan oleh A. J. Wensinck dan J. P. Mensing, karya mereka ini merupakan salah satu karya yang juga dipergunakan oleh orang Muslim dalam melacak keberadaan hadis berdasarkan teksnya. Karya ini walaupun dihasilkan oleh orang-orang orientalis tetapi harus diakui bahwa karya mereka ini sangat membantu orang Muslim sendiri khususnya bagi para peneliti-peneliti hadis, oleh karenanya merupakan sikap yang kurang bijak dan tidak obyektif bila umat Islam memandang bahwa setiap kajian yang dilakukan oleh orang-orang non-muslim merupakan kajian yang distortif karena kenyataannya tidak semuanya demikian.
Kajian keilmuan yang dilakukan oleh orientalis secara garis besar setidaknya memiliki dua dasar motivasi yang berbeda, yang pertama adalah kajian yang dilakukan untuk mencari celah “kesalahan” Islam untuk menghantam Islam dan menciptakan image negatif terhadap Islam dan yang kedua adalah kajian yag obyektif dalam konteks penyaluran hasrat intelektualitas yang bersifat ilmiah, walaupun dalam presentasenya motivasi yang pertama jauh lebih dominan daripada motivasi yang kedua, hal ini bisa dipahami sebgai akibat dari gesekan ketidak harmonisan antara Islam dan non-Islam khususnya yang bersifat sentimen teologis.
Kajian keislaman yang dilakukan oleh orientalis pada mulanya hanya kepada bidang keilmuan yang besifat umum, namun seiring berjalannya waktu kajian tersebut mulai masuk dalam ranah kajian yang khusus termasuk didalamnya adalah kajian tentang hadis dimana  dalam Islam hadis memiliki peranan sentral dan staregis karena hadis merupakan salah satu landasan hukum dalam Islam dan panduan bagi umat Islam, maka dalam makalah ini pemakalah akan memaparkan kajian yang dilakukan oleh orentalis dalam bidang hadis dengan spesifikasi otentitas hadis dalam kajian orientalis domain teori sistem isnād, evolusi historisitas hadis, dan problem validitas hadis.




PEMBAHASAN
A.    Orientalisme
Sebelum membahasan kajian orientalis terhadap hadis maka lebih baiknya kita awali dengan pembahasan tentang Orientalisme itu sendiri, secara bahasa orientalis berasal dari bahasa Prancis dari kata orient yang berarti timur, lawan kata dari occident yang berarti barat[4]. Sedangkan  H.M. Joesoef Sou’yb memberikan penjabaran yaitu bahwa orientalisme secara geografis berarti dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa di Timur. Kata oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat Timur, yang sangat luas ruang lingkupnya meliputi bahasa, agama, kebudayaan, sejarah, ilmu bumi, etnografi, kesusasteraan dan kesenian yang berasal dari Timur. Sedangkan kata Isme menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Maka dari itu orientalisme adalah suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya[5].
Awal mula orientalisme menurut Husain Haikal karena pergesekan orang Islam dan Romawi dalam perang Mut’ah dan perang Tabuk karena pada saat itu orang Islam sedang bermusuhan secara politik. Sedangkan sebagian lainnya menulis bahwa orientalisme lahir sebagai akibat dari perang salib atau ketika dimulainya pergesekan politik dan agama antara Islam dan Kristen di Palestina. Terutama pada masa pemerintahan Nu>r al-Di>n Zanki dan S{ala>h al-Di>n al-Ayyu>bi dan terus berlanjut pada masa al-‘Adi>l. Pendapat lain menyeutkan bahwa orientalisme muncul pada peperangan berdarah antara umat Islam dan Kristen di Andalusia setelah Alfonso VI mampu menaklukkan Toledo pada tahun 488 H (1085 M). Sebagian lagi berpendapat bahwa orientalisme lahir karena kebutuhan barat menolak Islam dan untuk mengetahui penyebab kekuatan umat Islam terutama setelah jatuhnya Konstantinopel pada tahun 857 H (1453 M).[6]
Ada dua hal dalam proses penyelidikan orentalis terhadap dunia timur yaitu:
1.      Mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu yang dimiliki oleh kaum muslimin berupa ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu matematika, ilmu astronomi, dan ilmu-ilmu yang lainnya dalam bahasa Arab untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin yang merupakan bahasa ilmu pengetahuan  dan kesusasteraan pada waktu itu. Dan pelopornya adalah para pemuka agama Masehi yang dibantu oleh orang-orang Yahudi[7].
2.      Mempelajari bahasa-bahasa dunia Timur terutama bahasa Arab beserta kesusasteraannya[8].
Dari penjelasan diatas kita ketahui bahwa kajian yang dilakukan oleh orang barat terhadap dunia timur yang selanjutnya disebut dengan orentalis telah muncul sejak masa kejayaan Islam dengan mempelajari ilmu-ilmu yang dikembangkan oleh orang Islam termasuk juga ilmu-ilmu keislaman, dan salah satu bahan kajian orientalis adalah tentang hadis yang akan dijelasan pada pembahasan selanjutnya. Sedangkan interksi antara orang barat dan timur sudah berlangsung sejak masa awal-awal Islam.


B.    Teori Sistem Isnād
Isna>d[9] memiliki peranan yang dan posisi yang vital dalam kajian hadis, khususnya dalam memastikan kualitas sebuah hadis, dengan demikian dapat dipastikan bahwa isna>d memiliki relasi yang kuat terhadap keberadaan hadis.
Dalam pandangan mayoritas ulama’ muslim, mereka meyakini bahwa permulaan sistem isna>d hadir bersamaan dengan proses periwayatan hadis itu sendiri, namun lain halnya dengan orang orientalis yang masih mempersoalkan tentang permulaan dan validitas sistem isna>d.
Muhammad Hamzah dalam penelitiannya mengatakan bahwa banyak peneliti beranggapan bahwa isna>d bermula setelah terjadinya “fitnah” sebagaimana perkataan Ibn Si>ri>n: “Mereka tidak biasa bertanya tentang isna>d. Ketika terjadi fitnah mereka berkata, “Berilah nama orang-orang kalian!” Bila Ahli Sunnah, maka hadis mereka diterima dan bila ahli bid’ah, maka hadis mereka ditolak.” Namun dalam menentukan sejarah permulaan isna>d yang dikaitkan dengan kejadian fitnah ini masih menimbulkan permasalahan, yaitu fitnah apakah yang dimaksud oleh Ibn Si>ri>n?[10] Maka dari itu sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad Hamzah dari Joseph Schacht (1902-1969)[11], seorang orientalis Jerman dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence berpendapat bahwa fitnah yang dimaksud oleh Ibn Si>ri>n adalah fitnah pembunuhan al-Wali>d ibn Yazi>d ibn ‘Abd al-Malik ibn Marwa>n (w. 126 H) hal ini didasarkan pada persamaan penggunaan kata “fitnah” antara perkataan Ibn Si>ri>n dengan yang disebutkan al-T{abari> dalam Ta>ri>kh-nya, bahwa dalam kejadian-kejadian pada tahun 126 H perkara Bani Marwa>n kacau-balau dan terjadilah fitnah. Hipotesis ini menyeretnya untuk menjadikan perkataan Ibn Si>ri>n sebagai bahan karena ia wafat pada tahun 110 H, yaitu sebelum terjadinya fitnah.[12] Secara  umum Schacht beranggapan bahwa sistem isna>>d  mungkin valid untuk melacak hadis sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw dan para sahabat adalah palsu dengan argumen sebagai berikut:[13]
1.        Sistem isna>d dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama.
2.        Isna>d itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3.        Isna>d secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4.        Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’i untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadis-hadis yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isna>d-isna>d keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isna>d-isna>d itu.
5.        Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan merupakan indikasi bahwa hadis itu berasal dari masa periwayat itu.
 Sedangkan James Robson (1890-1970an) seorang orientalis berkebangsaan Inggris mengajukan interpretasi lain mengenai fitnah tersebut. Dalam pndangannya yang dimaksud fitnah dalam konteks diatas adalah fitnah ‘Abd Alla>h ibn al-Zubair pada tahun 72 H ketika ia memproklamasikan dirinya sebagai khalifah, hal ini didasarkan pada perkataan fitnah yang dilontarkan oleh Ma>lik bin Anas atas gerakan Ibn al-Zubair. Oleh karena itu maka isna>d muncul setengah abad lebih awal dari yang dikatakan oleh Schacht karenanya hal ini dianggap sesuai dengan umur Ibn Si>ri>n.[14]              
Adapun menutut Ignaz Goldziher (1850-1921) seorang orientalis Hungaria,  isna>d adalah hasil dari perkembangan pemikiran generasi awal Islam. Pendapat ini sama dengan pendapat Joseph Schacht.[15] ia berpendapat bahwa isna>d diketahui secara luas berawal dari bentuk sederhana dan mencapai kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga hijriah. Banyak isna>d yang tidak mendapatkan perhatian dan kelompok apa pun yang ingin menisbatkan pendapat-pendapatnya kepada orang-orang terdahulu (al-mutaqaddimu>n), maka mereka memilih figur-figur itu lalu meletakkannya ke dalam isna>d.[16]
Dari paparan diatas terdapat hipotesa yang bisa diambil bahwa kebanyakan para orientalis meragukan validitas hadis terkait dengan sistem isna>d yang dibangun bahwa isna>d adalah hasil rekayasa belaka dengan demikain hadis dalam eksistensinya hanyalah sebuah cerita-cerita yang dinisbatkan pada Nabi SAW untuk sebuah kepentingan-kepentingan akan tetapi tidak semua orentlis mengasumsikan demikian karena Nabia Abbott (1897-1981 ) seorang orientalis wanita menyatakan bahwa praktik penulisan hadis sudah berlangsung "sejak awal" dan "berkesinambungan".[17] Asumsi ini memberikan pemahaman bahwa para sahabat Nabi SAW sendiri telah menyimpan catatan-catatan hadis dan tradisi ini di wariskan pada generasi selanjutnya melalui riwayat-riwayat baik secara tertulis maupun lisan, hingga pada akhirnya hadis-hadis tersebut didukumentasiakan dalam dalam koleksi-koleksi kitab hadis.
Pendapat Nabia Abbott ini menyajikan pemahaman implisit bahwa sistem isna>d sudah dibangun sejak kemunculan hadis tersebut. Dengan demikian sistem isna>d yang domainnya mengukur akurasi periwayatan hadis menjamin bahwa hadis yang sampai pada kita sekarang memang bersumber dari Nabi SAW.


C.    Evolusi Historisitas Hadis
Berbicara tentang evolusi historisitas hadis maka hal ini tidak lepas pemabasan tentang isna>d karena keberadaan historisitas tidak bisa dipisahkan dengan isna>d itu sendiri.
Pandangan tentang evolusi historisitas hadis sangat dipengaruhi oleh asumsi keberadaan isna>d, dalam konteks ini ada dua kemungkinan asumsi yang dikembangkan yaitu apakah kemunculan isna>d bersamaan dengan kemunculan hadis atau isna>d muncul jaug sesudah hadis. Dan asumsi yang dikembangkan ini berimplikasi pada pemahaman apakah hadis-hadis yang ada sekarang merupkan sesuatu yang benar-benar berasal dari Nabi SAW atau sebaliknya.
Pemahasan ini sebenarnya sedikit banyak sudah disinggung diatas dimana para peneliti orientalis banyak yang berasumsi bahwa banyak hadis-hadis yang muncul karena hasil rekayasa generasi awal Islam dimana menurut Goldziher; fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal akan tetapi, karena kandungan hadis yang terus membengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim materi hadis berjalan paralel dengan doktrin-doktrin fikih dan teologi yang seringkali saling bertentangan, maka dapat disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan hadis-hadis orisinal yang berasal dari Nabi. Sebagian besar materi hadis dalam koleksi kitab hadis merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut.[18]   Dan dari pandangan Goldziher ini kumudian muridnya Schacht mengembangkan teori projecting back.
Teori projecting back ini merupakan teori penting dalam kajian hadis orientalis dimana kajiannya lebih banyak menyoroti aspek isna>d daripada aspek matan dan kitab-kitab yang dipakai dalam penelitiannya adalah al-Muwat}t}a’, al-Umn dan al-Risa>lah.[19]
Menurut Schacht hukum Islam belum eksis pada masa al-Sha'bi> (w. 110 H). Dengan demikian apabila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sha'bi>, karena menuutnya hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para hakim agama (qa>d}i>) yang baru dilakukan pada masa Dinasti Umayyah, sekitar pada akhir abad pertama Hijiyah (kurang lebih 715-720 M) pengakatan qa>d}i> ini dibeikan kepada “spesialis” yang taat beragama dan keputusan-keputusan yang diberikan pada qa>d}i> ini menurut Schacht memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Atas dasar sebab ini maka mereka tidak menisbatkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya untuk memperoleh legitimasi lebih kuat dan akhirnya penisbatan itu sampai kepada Nabi SAW.[20]
Teori diatas mentransformasiakan pemahaman bahwa kesejarahan hadis  adalah sebuah isapan jempol dalan keorsinilannya oleh karena itu tidak perlu lagi menyakini keberadaan hadis sebgai sebuah warisan yang “sakral”  hal ini disebabkan karena teori diatas mensinyalir kenafian hadis yang muncul pada masa Nabi SAW akan tetapi muncul jauh sesudah beliau wafat dan dipeparah dengan proyeksi sanad yang disandarkan pada generasi sebelumnya hingga bersambung kepada Nabi SAW dan semua itu dilakukan sebagai upaya justifikatif, maka berangkat dari ini muncul sebuah konklusi bahwa hadis tidak otentik berasal dari Nabi melainkan hasil “kreatifitas” generasi-generasi sesudah Nabi. Inilah pandangan orientalis terhadap hadis rangkaiaan kesejarahan/historisitas hadis
Namun teori diatas bertolak belakang dengan apa yang samapaikan oleh Nabia Abbott, hadis-hadis Nabi dapat ditelusuri keberadaannya sejak pada masa Nabi dan bukan merupakan buatan umat Islam dengan mengmukakan bukti tentang koleksi-koleksi hadis pada masa sahabat, berasal dari ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn ‘Ash (w.65/684) Abu Hurairah (56/678), Ibnu ‘Abba>s (w. 67-8/686-8), dan Anas ibn Ma>lik (w. 94/712) yang meneruskan upaya pengoleksian, penghimpunan dan periwayatan hadis tersebut[21]. Menurutnya penyebaran hadis secara lisan ternyata tidak berlangsung lama, karena selain untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan juga untuk membentuk kepercayaan masyarakat terhadap seluruh isi hadis, dan untuk memelihara redaksi dan isi dari teks hadis tersebut, maka dari satu generasi ke generasi selanjutnya penyebaran hadis melalui lisan dan tulisan dilakukan secara berkesinambungan.[22] Periwayatan hadis secara tertulis inilah yang menurutnya dapat dijadikan sebagai jaminan bagi keshahihan dan keotentikannya. Dengan demikian ada diantara orientalis yang masih membenarkan keberadaan hadis dalam konteks historisitas yang bersumber dan muncul dari Nabi SAW dan bukan hasil buatan umat Islam geneasi awal.
Dari paparan yang telah dijelaskan diatas, ada dua aliran pemahaman yang saling bertentangan satu sama lain dalam menyikapi kemunculan hadis dalam kajian historisnya. Pertama: menganggap hadis muncul setelah generasi Nabi dengan kata lain hadis-hadis tersebuat adalah hasil buatan generasi sesudah Nabi khususnya dalam bidang hukum yang artinya hadis yang ada sekarang tidak otentik. Kedua: hadis yang ada sampai sekarang yang dibukukan dalam buku koliksi-koleksi hadis bersumber langsug dari Nabi SAW sehingga hadis tersebut bisa dijamin keotentikannya.


D.    Problem Validitas Hadis
Pembahsan yang telah disajikan diatas yaitu sistem isna>d dan evolusi historisitas hadis merupakan kajian yang sangat mempengaruhi terhadap kajian problem validitas hadis. Sebab sistem isna>d domain kajiannya dalam mengukur tingkat akurasi periwayatan hadis yang mengantarkan pada penilaian valid dan tidaknya sebuah hadis. Sedangakan kajian tentang evolusi historisitas hadis domainnya dalam menelisuri keotentikan sebuah hadis. Dengan cara pembuktian terhadap hadis dalam catatan historisnya. Oleh karena itu kajian validitas hadis ini sangat bergantung pada pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya.
Diantara tokoh orientalis yang paling berpengaruh dalam kajian hadis khususnya dalam konteks kajian validitas hadis adalah Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht bahkan pengarunya juga diikuti oleh beberapa para pemikir muslim seperti Ahmad Ami>n, Mahmu>d Abu> Rayyah bahkan Muhammad al-Ghaza>li seorang ulama’ kontemporer kenamaan juga ikut terpangaruh oleh prinsip-prinsip Ignaz Goldziher  dalam kritik hadisnya.[23]
Menurut Ignaz Goldziher, penelitian hadis yang dilakukan ulama’ klasik tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena kelemahan metode yang dipakai yaitu para ulama’ lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggukakan metode kritik matan. Dan Ignaz Goldziher  sendiri menawarkan motode kritik baru yaitu kritik matan saja. Dalam pandangannya kritik matan mencakup beberapa aspek seperti; politik, sains, sosio-kultural dan lain sebagainya, ia mencontohkan hadis yang terdapat dalam kitab S{ahi>h} Bukha>ri, menurutnya Bukha>ri hanya melakukan kritik sanad tanpa melakukan kritik matan sehingga seletalah Ignaz Goldziher  melakukan kritik matan ia berkesimpulan hadis tersbut adalah hadis palsu.[24]
Ignaz Goldziher  beranggapan bahwa umat Islam hanya fokus pada kritik sanad tanpa kritik matan karena peran dari kesaksian atas kehidupan religi umat Islam, sehingga tingkat kesahihan hadis ditentukan oleh derajat keadilan para periwayatnya, meskipun dengan metode ini umat Islam berhasil mengetahui banyak hal dan memisahkan banyak hadis yang silsilah isna>d-nya terdiri dari para periwayat Tadli>s[25] tetapi itu tidak cukup untuk mendeteksi hadis-hadis palsu. Sebab para pemalsu dan para mudallis berhasil mengedarkan banyak hal dengan merangkai sanad-sanad imajinatif untuk hal-hal yang hendak mereka edarkan. Pada saat yang sama, para mudallis mendasarkan periwayatan hadis-hadis aneh mereka pada para periwayat terkenal. Silsilah sanad-sanad imajinatif banyak memengaruhi para audiens yang cenderung mempercayai apa yang diriwayatkan dari mereka.[26] Atas dasar pemikiran ini ia berkesimpulan bahwa upaya yang dilakukan dalam penyelidikan dan penyaringan isna>d kurang kompatibal dan gagal menyaring hadis-hadis dari penambahan-penambahan, karena kritik hadis dalam pandangan umat Islam sejak awal lebih didominasi oleh aspek eksternal. Oleh sebab itu, obyek kritiknya hanya pada aspek eksternal saja. Kesahihan matan lebih terikat pada kritik silsilah isna>d. Jika sanad hadis lolos dari kaidah-kaidah kritik aspek eksternal, maka matan-nya juga akan sahih meskipun bertentangan dengan realita atau berisi hal-hal kontradiktif.[27] Oleh karenanya ia berkesimpulan bahwa apa yang disebut sebagai hadis diragukan otentitasnya sebagai sabda Nabi SAW.
Sedangkan Joseph Schacht memberikan kesimpulan lebih ekstrim daripada Goldziher yaitu tidak ada satupun hadis yang otentik barasal dari Nabi SAW khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah hukum.[28] Hal ini disebabkan karena konsep sistem isna>d yang ia bangun khususnya dalam konteks kemunculannya dalam cacatan sejarah yang ia pahami.
Menurut Joseph Schacht, sanad adalah bukti adanya tindakan sewenang-wenang dan kecerobohan yang  dilakukan ulama’ ketika itu, bahkan ia membuat teori tentang kapan terjadinya pemalsuan hadis. Ia berkata sebagaimana yang dikitip oleh Ali Mustafa Yaqub: 
‘The best way to proving that a tradition did not exist at a certain time, is to show that it was not used as a legal argument in a discussion which whould have  made reference to it had existing”.
 (cara terbaik untuk membuktikan bahwa suatu hadis tidak pernah ada dalam suatu waktu tertentu adalah dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha sebab seandainya hadis itu pernah ada, pasti hal itu dijadikan referensi).[29]

Dengan demikian Baik Goldziher maupun Schacht berasumsi bahwa hadis tidaklah bersumbur dari Nabi SAW melainkan buatan ulama pada abad pertama dan kedua Hijriah, Goldziher berkata; ”Bagian terbesar dari hadis tidak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua, baik dalam bidang keagamaan, politik, maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang mengatakan bahwa hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan), melainkan adalah pengaruh perkembangann Islam pada masa kematangan. Sementara Schacht berkata, “Bagian terbesar dari sanad hadis adalah palsu. Semua orang mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua dari abad ketiga hijrah”.[30]
Sedangkan Nabia Abbott, menyatakan keotentikan hadis-hadis Nabi SAW yang dibuktikan dengan keberadaan dukumen-dukumen hadis ada sejak pada masa Nabi SAW. Dengan demikian hadis bukan merupakan buatan umat Islam. Menurutnya perkembangan koleksi hadis muncul mulai masa Nabi SAW melalui perantara keluarga, kerabat dan sahabat terdkat beliau, kemudian setelah beliau wafat sejumlah sahabat banyak mengkoleksi  dan menyebarkan hadis, walaupun hal itu sempat terhambat karna ada larangan dari Umar bin Khattab dengan alasan dikhawatirkan terjadi percampuan dengan al-Qur’an.
Nabia mengemukakan telah muncul beberapa periwayat hadis terkemuka di masa awal seperti Abu Hurairah dan Anas bin Ma>lik yang kemudian mereka meriwayatkan hadis pada murid-muridnya, bahkan hadis-hadis dari mereka ditulis oleh murid-muridnya. Dan ketika memasuki pertengahan abad pertama terjadi perkmbngan signifikan terhadap disiplin keagamaan dan termasuk diantaranya adalah hadis.[31] Paparan Nabia ini memberikan jaminan akan keotentikan hadis bahwa apa yang disabdakn oleh Nabi SAW betul-betul bersumber dari beliau.
Dari apa yang telah dijelaskan diatas kita bisa mengetahui bersama bahwa tidak semua orientalis meragukan atau bahkan menafikan atentisitas hadis karena ada juga yang mendukung keotentisitan hadis-hadis tersebut.


Simpulan
Orientalis adalah orang-orang barat melakukan kajian terhadap dunia timur dalam beberapa bidang disiplin meliputi bahasa, agama, kebudayaan, sejarah, ilmu bumi, etnografi, kesusasteraan dan kesenian. Sedangkan orientalisme adalah faham atau aliran yang mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur.
Dalam penelitian orientalis terhadap hadis, dapat disimpulkan sebgai berikut:
1.      Isna>>d diragukan keberadaanyanya bahkan dinafikan oleh kebanyakan orentalis karena dianggap dimulai pada awal abad kedua atau akhir abad pertama dan merupakan hasil rekayasa oleh karenanya hadis dalam eksistensinya dianggap sebagai cerita-cerita yang dinisbatkan pada Nabi SAW untuk sebuah kepentingan-kepentingan, namua ada diantara mereka yang menilai bahwa isna>d merupakan sebuah warisan sistem yang dimulai sejak munculnya hadis itu sendiri, hal ini sebagaimana yang diungkap oleh Nabia Abbott.
2.      Orientalis banyak yang berasumsi bahwa banyak hadis muncul karena hasil rekayasa generasi awal Islam dan sangat sulit menemukan hadis yang orisinil yang berasal dari Nabi dan sebagian besar materi hadis adalah hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat muslim, diantara mereka ada yang menafikan hadis karena dianggap muncul jauh sesudah Nabi wafat. Namun diantara suara mayoritas ada yang menilai bahwa hadis-hadis Nabi dapat ditelusuri keberadaannya sejak pada masa Nabi dan bukan merupakan buatan umat Islam.
3.      Tidak ada satupun hadis yang otentik barasal dari Nabi itulah asumsi yang paling ekstim yang dituduhkan oleh orentalis, bahkan sekalipun ada itu hanya kecil kemungkinan adanya, walaupun tidak semuanya berpendapat seperti itu dengan menyatakan keotentikannya.




Daftar Pustaka
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Masrur, Ali. Teori Common link G. H. A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2007
Hanafi, A. Orientalisme. Jakarta: Pustaka Al Husna, 1981
Umar, A. Muin. Orientalisme dan Studi Tentang Islam, Jakarta:  Bulan Bintang, 1978.
Baha>’ al-Di>n, Muh}ammad. Al-Mustashriqu>n wa al-H{adi>th al-Nabawi>. Kuala Lumpur: Fajar Ulung SDN. BHD., 1999.
Berg, Herbert. The Development of Exegesis in Early Islam. Cornwall: Padstwom, 2000.
Afidah, Luthfi Nur. Otentisitas Hadis Menurut Nabia Abbott. Yokyakarta: Skripsi Fak Usuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Mahmud, Moh Natsir. Orentalisme Berbagai Pendekatan Barat Dalam Studi Islam Kudus: MASEIFA Jendela Ilmu, 2013.
Buchari, Mannan. Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta: Amzah, 2006.
Aswad, Muh}ammad ‘Abd al-Razza>q. Al-Ittija>ha>t al-Mu’a>s}irah fi> Dira>sah al-Sunnah al-Nabawiyyah fi> Mis}r wa Bila>d al-Sha>m. Damaskus: Da>r al-Kalim al-T{ayyib, 2008.
Al-A’z}ami>, Muh}ammad Must}afa>. Dira>sa>t fi> al-H{adi>th al-Nabawi> wa Ta>ri>kh Tadwi>nih. Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, 1980. 
-------------------------------Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum. Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004.
H{amzah, Muh}ammad. Al-H{adi>th al-Nabawi> wa Maka>natuha> fi> al-Fikr al-Isla>mi> al-H{adi>th. Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi> al-‘Arabi>, 2005.
Assamurai, Qasim. Bukti-bukti kebohongan Orientalis, penj: Syuhudi Ismail  Jakarta: Gema Insani Press, 1996.


[1] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) h.7
[2] Ada yang berpendapat pertama kali terjadi pada perang mut’ah (8 H) kemudian perang tabuk (9 H) dimana ada kontak pertama kali antara orang Romawi dengan orang Muslim, ada juga yang berpendapat; terjadi ketika perang antara kau muslimin dan nasrani di spanyol (andalusia)  terutama setelah Raja Alphonse VI menguasai Toledo pada tahun 488 H/1085 M, dan juga ada yang berpendapat; terjadi ktika orang-orang barat merasa terdesak oleh ekspensi Islam khususnya setelah jatuhya Istambul pada tahun 857 H/1453 M ketangan kaum muslim dimana kemudian mereka masuk ke Wina, selain yang telah disbutkan juga ada beberapa pendapat yang lain.
[3] Moh Natsir Mahmud, Orentalisme Berbagai Pendekatan Barat Dalam Studi Islam (Kudus: MASEIFA Jendela Ilmu, 2013) h.1
[4] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme (Jakarta: Amzah, 2006) 7
[5] Ibid. 7-8
[6] Qasim Assamurai, Bukti-bukti kebohongan Orientalis, penj: Syuhudi Ismail  (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). 26-29
[7] A. Hanafi, Orientalisme (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1981). 9-10
[8] A. Muin Umar, Orientalisme dan Studi Tentang Islam, (Jakarta:  Bulan Bintang, 1978). 9
[9] Isna>d masih menjadi sebuah pembicaraan dalam kaidah mustalah hadis khususnya tentang kaitannya dengan sanad dalm kontrofersi pemahamannya namun setidak isna>d diindikasika memiliki dua pengertian, yaitu:
1.       menisbatkan suatu hadist terhadap yang berbicara dengan cara bersanad.
2.       memiliki pengertian yang sama dengan sanad, yaitu mata rantai persambungan periwayat yang bersambung bagi matan hadist. (Mah}mu>d al-T{ah}h}an, Taisi>r Mus}t{alah} al-Had>ith, Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah) 16
[10]Muhammad Hamzah, Al-H{adi>th al-Nabawi> wa Maka>natuha> fi> al-Fikr al-Isla>mi> al-H{adi>th (Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi> al-‘Arabi>, 2005), 204.
[11]Joseph Schacht adalah sang orentalis yang mengembangkan teori “Projecting Back” yaitu teori yang dikemukakan untuk meruntuhkan metode sanad/isna>d hadits yang telah disusun dengan baik oleh para ulama Islam. Dalam teori ini, terdapat anggapan bahwa sanad-sanad hadits yang tersebar saat ini adalah buatan para ahli fikih sendiri untuk melegitimasi pendapat fikihnya, yang dilakukan dengan cara memproyeksikannya ke belakang, yaitu dengan menyandarkannya kepada Nabi, atau tokoh-tokoh di belakang mereka.
[12]Ibid.
[13] M.M Azami, Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004), 232-233.
[14]Muhammad Hamzah, Al-H{adi>th al-Nabawi>...., 204-205.
[15]Ali Masrur, Teori Common link G. H. A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2007), 39.  
[16]Muh}ammad Baha>’ al-Di>n, Al-Mustashriqu>n wa al-H{adi>th al-Nabawi> (Kuala Lumpur: Fajar Ulung SDN. BHD., 1999) 102-103.
[17]Ali Masrur, Teori Common link G. H. A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, 42.
[18]Ali Masrur, Teori Common link G. H. A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, 1-2.
[19]Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, 21.
[20]Ibid., 21-22.  Lihat M. M ‘Azami Dira>sa>t fi> al-H{adi>th al-Nabawi> wa Ta>ri>kh Tadwi>nih. (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, 1980) II/398
[21] Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Cornwall: Padstwom, 2000), 18.
[22] Luthfi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Menurut Nabia Abbott (Yokyakarta: Skripsi Fak Usuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2008). 77
[23] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, 17
[24] Ibid, 15
[25] Tadli>s ada dua macam, yaitu :
1.       Tadli>>s al-Isna>d adalah jika seorang ra>wi meriwayatkan suatu hadis yang tidak pernah didengarnya dari orang yang pernah didengar hadis-hadisnya, tanpa menyebutkan bahwa perawi tersebut pernah mendengar hadits tersebut darinya. artinya seorang ra>wi meriwayatkan sejumlah hadits yang didengarnya dari gurunya; akan tetapi hadis yang di-tadlis-kannya itu belum pernah didengar dari gurunya tadi, melainkan dari gurunya yang lain dan ia gugurkan gurunya yang lain tersebut. Ia meriwayatkan hadits tersebut dengan lafadz yang mengandung makna al-sama>’ atau sejenisnya, seperti kata qa>la atau ‘an, agar orang lain mengira bahwa ia telah mendengar hadits tersebut dari gurunya. Ia tidak mengatakan: sami’tu atau haddatsani sehingga tidak dianggap dusta. Orang yang ia gugurkan itu bisa satu orang atau lebih.
-          Bagian dari tadli>s isna>d adalah tadli>s al-Taswiyah. Yaitu  ra>wi meriwayatkan dari gurunya, tetapi perawi tersebut menggugurkan rawi d}}a’i>f yang terletak antara dua rawi thiqah, yang salah satu dari dua ra>wi thiqah ini saling bertemu. Bentuk hadits tersebut (yang sebenarnya) adalah bahwa ra>wi meriwayatkan suatu hadits dari gurunya yang thiqah; guru yang thiqah ini meriwayatkannya dari rawi d}a’i>f, dari ra>wi thiqah yang kedua. Kedua ra>wi thiqah tersebut saling bertemu satu sama lain. Kemudian si mudallis mendatangkan hadis tersebut dari rawi thiqah yang pertama, lalu ia gugurkan rawi yang d}a’i>f pada sanadnya, sehingga sanadnya menjadi rawi thiqah pertama dari thiqah kedua dengan menggunakan lafadh yang mengandung pengertian seluruh rawinya thiqah.
Jenis tadli>s ini termasuk tadli>s yang paling buruk, sebab rawi thiqah yang pertama tidak diketahui tadli>snya. Si mudallis memperbaiki (membaguskan) sanadnya sesudah melakukan penyamaan terhadap rawi thiqah yang lain, kemudian menetapkan kes}ahihannya. Hal ini merupakan bentuk penipuan yang sangat parah.
2.       Tadli>s al-Shuyu>kh adalah jika seorang ra>wi meriwayatkan suatu hadits yang didengar dari gurunya kemudian ia memberi nama, atau memberi kunyah, atau menisbahka atau mensifatinya dengan nama lain yang tidak diketahui, supaya gurunya itu tidak dikenal. (Mah}mu>d al-T{ah}h}an, Taisi>r Mus}t{alah} al-Had>ith, Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah) 79-82
[26]Muh}ammad H{amzah, Al-H{adi>th al-Nabawi> wa Maka>natuha> fi> al-Fikr al-Isla>mi> al-H{adi>th, 210.
[27]Ibid.
[28] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, 14
[29] Ibid, 22-23
[30] Ibid. 9
[31] Luthfi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Menurut Nabia Abbott. 82-84

Tidak ada komentar:

Posting Komentar