Kamis, 14 Maret 2013

PEMIKIRAN ISLAM

oleh: Hasyim AQ

SEJARAH PEMIKIRAN QADARIYAH DAN JABARIYAH
*Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari asal kata qadara yang berarti kemampuan atau kekuatan. Dalam pengertian terminologinya adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia dilakukan oleh manusia dan tidak ada intervensi dari Tuhan. Artinya manusia memiliki kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya sekaligus sebagai pencipta dari semua perbuatannya.
Aliran Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H oleh Ma’bad bin Abdullah al-Juhanî dan salah satu tokoh yang menyebarkan aliran Qadariyah adalah Ghailan bin Muslim ad-Dimasyqi>> Abu> Marwan, seorang orator yang berasal dari Damaskus dia mati dibunuh oleh Hisyam bin Abdul Ma>lik pada tahun 105 H. atau 723 M.

Dalam kitabnya Syarh al-Uyun, menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menganut faham qadariyah adalah orang Irak yang awalnya beragama Kristen kemudian masuk Islam dan kembali lagi (murtad) ke agama Kristen, Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham Qadariyah.
Qadariyah ini mengalami tantangan keras yang sedikitnya ada dua hal yang melatarbelakanginya, Pertama, masyarakat Arab pra Islam yang keras hingga menuntut mereka untuk hidup dengen ketergantungan terhadap alam, dan bersikap fatalis. Kedua, adanya pertentangan dari pemerintah dengan anggapan faham Qadariyah ini adalah gerakan peyebaran faham dinamis dan daya kritis yang nantinya dianggap membahayakan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Adapun doktrin Qadariyah adalah  manusia mempunyai daya dan kekuatan untuk menentukan nasibnya, melakukan segala sesuatu yang diinginkannya, baik dan buruknya, jadi sorga atau neraka yang didapatkannya bukan merupakan takdir Tuhan, tapi karena kehendak dan perbuatannya sendiri. Adapun takdirmenurut mereka adalah ketentuan Allah yang  tercipta bagi alam semesta beserta seluruh isinya sejak zaman azali, atau yang biasa disebut dengan hukum alam atau sunatullah dimana manusia mempunyai takdir yang tidak bisa diubah mengikuti hukum alam seperti tidak memiliki sayap untuk terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk mengembangkan pemikiran dan daya kreatifitasnya sehingga manusia dapat menghasilkan karya untuk mengimbangi atau mengikuti hukum alam tersebut dengan menciptakan pesawat terbang.
*Aliran Jabariyah
Jabariyah berasal dari kata جَبَرَ  yang berarti memaksa. artinya menyandarkan segala perbuatan kepada Allah SWT dengan menghilangkan peran manusia didalamnya.
Ajaran ini dimunculkan oleh Ja’d bin Dirham, sebagai tandingan terhadap faham Qadariyah yang kemudian disebarkan Jahm bin Shafwân dari Khurasân dan kemunculannya diperkirakan sekitar setelah tahun 70 H
Benih-benih Jabariyah telah muncul sebelum Islam datang karena kehidupan Bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, mereka selalu terpaksa mengalah kepada keganasan alam, mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup.
Ada beberapa tokoh sentral faham Jabariyah diantaranya: pertama; Ja’d bin Dirham, dan pokok-pokok ajarannya adalah:
-          Al-Qur’an adalah makhluk, maka dari itu dia baru, dan sesuatu yang baru tidak dapat dinisbatkan pada Allah.
-          Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk seperti berbicara, melihat dan mendengar.
-          Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Kedua; Jahm bin Shafwa>n at-Turmudzi>, dan pokok-pokok ajaran Jahm bin Shafwa>n adalah:
-          Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
-          Surga dan neraka tidak kekal, karena menurutnya tidak ada yang kekal selain Tuhan.
-          Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
-          Kalam Tuhan adalah makhluk, Allah Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat.
-          Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat nanti.
-          Gerak-gerik, ucapan dan perbuatan penduduk sorga bukan atas pilihannya sendiri, tapi sudah ada yang mengatur.
Ketiga; Abu Abdullah al-Husain bin Abdullah an-Najjâr dan ajarannya adalah:
-          Allah tidak memiliki sifat
-          Allah tidak bisa dilihat di akhirat, akan tetapi an-Najjâr mengatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata, sehingga manusia dapat melihat Tuhan
-          Kalâmullah adalah baru
-          Setiap bagian dari iman disebut taat dan jika digabung semuanya baru disebut iman.
PEMIKIRAN WASIL BIN ATHA’ DAN AL QADHI ABD AL JABBAR
·           Sejarah Dan Ideologi Mu’tazilah
              Mu’tazilah berasal dari kata (I’tazala) yang memiliki arti memisahkan diri atau menjauhi. Kemunculan Mu’tazilah dipengaruhi oleh munculnya pemikiran sebelumnya yaitu Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar bukanlah orang yang beriman (kufr), sedang Hasan Al Basri mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah orang yang hypokrit (Munafiq), dan murjiah berpendapat bahwa orang tersebut adalah orang yang beriman (Mu’min). dari situ Mu’tazilah muncul sebagai penengah dari para pemikir sebelumnya dengan konsep (Al Manzilah Bain Al-Manzilatain).
              Mu’tazilah menyebut golongannya sebagai golongan Ahlul Adl, dalam arti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan, dan juga Ahlul Tauhid yang mempertahankan keesaan Tuhan secara murni.
              Mu’tazilah terbagi dalam beberapa sekte diantaranya adalah: Al Wasilah, Al Hudzailiyyah, An Nadhamiyyah, Al Khabithiyyah Al Hatsiyyah, Al Bisyriyyah, Al Muammariyyah, Al Mardariyyah, At Tsumamiyah, Al Hisyamiyyah, Al Jahidiyyah, Al Khayyatiyyah Wal Ka’biyyah, Al Jubbaiyyah Wal Bahsyamiyyah. Masing-masing dari sekte tersebut memiliki karakteristik ideologi yang sedikit berbeda, akan tetapi keseluruhan faham tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ø  Allah itu qadim dan qadim hanya diperuntukkan hanya kepada dzat-Nya bukan sifatnya, Allah mengetahui, berkuasa, hidup dengan Dzat-Nya, dan barang siapa yang mengakui adanya sifat terhadap Allah maka dengan mengakui adanya dua Tuhan.
Ø  Kalamullah adalah Ucapan dan diciptakan pada tempatnya, sedangkan huruf-huruf dan suara yang ditulis dalam mushaf-mushaf hanyalah sejarah baginya. Sesuatu yang ditemukan pada suatu tempat maka hal tersebut nyata, maka yang terlihat tersebut akan rusak pada tempat tersebut.
Ø  Ketiadaan Iradah, Sama’, Bashar sebagai sifat yang berdiri dengan dzat-Nya.
Ø  Mengingkari melihat Dzat Allah dengan mata telanjang di akhirat, dan menafikan penyerupaan terhadap Allah dari berbagai hal: arah, tempat, bentuk, tubuh, ramalan, perpindahan, kemunculan, perubahan, dan pengaruhnya.
Ø  Hamba menciptakan perbuatannya sendiri baik itu perbuatan baik atau perbuatan buruk, dan mereka berhak atas balasan dari segala sesuatu yang diperbuatnya. Allah menjauhkan diri dari hal-hal buruk, kedhaliman, sebab Allah ketika menciptakan perbuatan dhalim maka disebut Dzat dhalim dan bgtupun sebaliknya.
Ø  Allah harus berlaku baik dan memenuhi kemaslahatan hambanya dengan adil.
Ø  Mukmin yang mati dalam keadaan tobat dan taat maka berhak atas pahala dan balasan keutamaan. Dan ketika seorang mikmin mati dalam keadaan belum taubat dan berdosa besar maka baginya berhak kekal di neraka, akan tetapi siksaaan tersebut lebih ringan dari pada siksaan orang kafir.
·           Ideologi Wasil bin Atha’
              Ajaran-ajaran Wasil bin Atha al Ghazzali al Altsag diantaranya sebagai berikut:
1.      Mengingkari adanya sifat-sifat Allah seperti Al Ilm, Al Qudrah, Iradah, dan Hayat. Yang dimaksud adalah ingkar adanya dua Tuhan yang sama-sama qadim, dan barang siapa yang menetapkan adanya sifat maka orang tersebut meyakini adanya dua Tuhan tetapi pendapatnya tersebut berubah setelah mempelajari ilmu filsafat, sehingga dia berpendapat bahwasanya sifat itu melekat pada dzat tersebut (As Sifat Al Dzatiah).
2.      Allah bersifat Alim dan Hakim dan tidak boleh menyandarkan kepada-Nya sifat buruk dan keji. Dan seorang hamba pencipta perbuatannya sendiri meliputi baik, buruk, iman, kufur, taat, ma’siat akan tetapi Allah secara majazi memberikan kemampuan terhadap hamba untuk berbuat apapun. Perbuatan manusia terbatas pada gerakan, diam, dan persetujuan.
3.       Al Manzilah Bain Al-Manzilatain pendapat ini sebagai reaksinya terhadap Khawarij yang menganggap orang yang berdosa besar adalah kafir, dan Murji’ah yang berpendapat bahwa kemaksiatan tdak mempengaruhi keimanan, menurut Wasil seseorang mukmin yang mati dalam keadaan tobat dan taat maka berhak atas pahala, dan ketika mati dalam keadaan belum taubat dan berdosa besar maka baginya kekal di neraka, akan tetapi siksaaan tersebut lebih ringan dari pada siksaan orang kafir, dan mereka menamai ini dengan Wa’dan Waaidan.
4.      Orang yang terlibat dalam perang Jamal tidak diterima syahadat mereka termasuk Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair dan lain sebagainya. Mereka dihukumi fasiq dan syahadat mereka tidak diterima.
·           Al Qadhi Abd Al Jabbar
              Nama lengkap beliau adalah Abu Husain Abd al jabbar bin Ahmad bin Khalil bin Abdillah al Hamdani al Asadi Abadi (320-415 H) beraliran Asy’ari dan berpindah ke aliran Mu’tazilah setelah bertemu dengan Abi Ishaq bin, dia memahami tauhid dengan bahasa dan istilah, tauhid secara bahasa adalah menjadikan sesuatu itu satu.
              Ajaran-ajaran Abd al jabbar diantaranya sebagai berikut:
1.      Tuhan harus adil, artinya semua perbuatan Tuhan bersifat baik, Tuhan tidak berbuat buruk, tidak berbuat zalim,
2.      Tuhan memberi daya kepada manusia untuk dapat memikul beban-beban yang diletakan Tuhan atas dirinya, maka Tuhan memberikan upah dan hukuman atas perbuatan-perbuatan manusia.
3.      Siksaan Tuhan itu pada hakekatnya untuk kepentingan dan maslahat manusia, jika tidak untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia maka Tuhan melalaikan kewajibannya.
            Salah satu dari ajaran dasar Mu’tazilah adalah Al Amr Bi Al Ma’ruf Wa Al Nahy An Al Munkar. Oleh karena itu menurut Abd al jabbar ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mukmin:
1.      Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang mungkar
2.      Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang
3.      Ia mengetahui perbuatan Amr Bi Al Ma’ruf dan Nahy An Munkar tidak akan mendatangkan madharat yang lebih besar.
4.      Ia mengetahui dan paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.
Dan pendapatnya secara keseluruhan adalah yang ma’ruf yang dapat diterima oleh masyarakat dan yang mungkar adalah sebaliknya.

SEJARAH PEMIKIRAN ASH’ARIYAH  DAN  MA<TURI<DIYAH
·           Ash’ariyah dan Pemikiran-pemikirannya
Nama Ash’ariyah diambil dari nama Abu al-H{asan Ali bin Isma’il al-Ash’ari yang dilahirkan di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M. Beliau wafat di Baghdad pada tahun 935 M. Pada mulanya beliau adalah murid Abu Ali Muhammad Abd Wahab al-Juba’i (salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah) sehingga, menurut Husain bin Muhammad al-Askari, al-Juba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.
Diantara pemikiran-pemikiran al-Ash’ari yang menjadi ajaran kelompok Ash’Ariyah adalah sebagai berikut:
1.      Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Allah memiliki sifat-sifat namun tidak boleh diartikan secara harfiah, sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip, tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah SWT, dan Allah SWT tidak menyerupai sesuatu apapun. Dan menurutnya, tidaklah benar Tuhan mengetahui dengan zat-Nya. Karena jika demikian, zat Tuhan adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Padahal Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm), tetapi Yang mengetahui (‘A<lim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya
2.      Tentang perbuatan manusia
Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT, dan manusia hanya memiliki peran kecil yang dinamakan dengan kasab, dengan kata lain manusia mempunyai peran dalam hal keinginan dan bukan daya.
3.      Akal dan wahyu
Ash’ariyah berpendapat bahya wahyu lebih utama dibanding akal, berbeda dengan Mu’tazilah yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu.
4.      Qadi>mnya al-Qur’an
Al-Quran memang tersusun dari huruf, kata dan suara namun hal ini tidak melekat pada esensi Allah dan oleh karenanya al-Qur’an qadi>m.  dan al-Qur’an tidak diciptakan.
5.      Melihat Allah di akhirat
Allah dapat dilihat di akhirat kelak.
6.      Keadilan Tuhan
Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada sesuatupun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil dan jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka tidaklah Ia bersifat z}ali>m.
7.      Kedudukan orang yang berbuat dosa besar
Orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya, ia menjadi fa>siq. Sekiranya orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir sebagaimana anggapan Mu’tazilah, maka dalam dirinya tidak akan didapati kufur atau iman. Oleh karena itu tidak pula mungkin bahwa orang berdosa besar  bukan mukmin dan pula tidak kafir.

·           Ma>turi>diyah dan Pemikiran-pemikirannya
Aliran Ma>turi>diyah adalah madhhab bagi orang-orang yang mengikuti jejak Abu Mans}u>r Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Ma>turi>di. Beliau  lahir di desa Maturid, Samarkand (daerah Rusia) pada pertengahan kedua dari abad ke-9 M, beliau wafat pada tahun 333 H/944 M. al-Ma>turi>di hidup dan dibesarkan di dalam suasana pertentangan yang sangat tajam antara paham Mu’tazilah dan Ash’ariyah. Kehadirannya ranah teologi bertujuan untuk mendekatkan perbedaan yang cukup tajam antara aliran Mu’tazilah dan ash’ariyah. Dan diantara pemikirannya adalah:
1.      Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana al-Ash’ari berpendapat demikian.
2.      Tentang perbuatan manusia
Dalam hal ini al-Ma>turi>di sependapat dengan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian ia mempunyai paham Qadariyah dan bukan paham Jabariyah atau kasb Ash’ari.
3.      Akal dan wahyu
Al-Ma>turi>di memberi porsi yang lebih besar kepada kemampuan akal dari pada yang diberikan oleh Ash’ariyah, namun tidak sebesar yang diberikan Mu’tazilah. Menurut paham al-Ma>turi>di, dari empat persoalan yaitu; 1) mengetahui Tuhan, 2) kewajiban beribadah kepada Tuhan, 3) mengetahui baik dan buruk, 4) kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk, akal hanya dapat mengetahui tiga persoalan saja yaitu: mengetahui adanya Tuhan, mengetahui kewajiban beribadah kepada-Nya dan mengetahui baik dan buruk. Namun akal tidak mampu mengetahui kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk, hal ini adalah otoritas wahyu.
4.      Qadimnya al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kala>m Allah atau sabda Allah yang tidak diciptakan dan bersifat qadim.
5.      Keadilan Tuhan
Dalam hal ini al-Ma>turi>di sepakat dengan ajaran Mu’tazilah; setiap janji dan ancaman Tuhan terjadi. Jadi apabila sesorang melakukan ibadah lalu Tuhan memasukkannya ke neraka maka Tuhan tidak adil. Begitu juga sebaliknya.
6.      Melihat Tuhan
Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun Dia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
7.      Kedudukan orang yang berbuat dosa besar
Orang yang melakukan dosa besar masih tetap mukmin dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat.

SEJARAH PEMIKIRAN HUKUM ‘UMAR IBNU KHAŢŢĀB
·           Biografi  dan kepemimpinan Umar
‘Umar ibnu Khaţţāb ibnu Nufail ibnu ‘Abdul ‘Uzza ibnu Riyah ibnu Qart ibnu ‘Adi ibnu Ka’b ibnu Lu’ayi atau lebih dikenal dengan sebutan‘Umar ibnu Khaţţāb, Amirul Mu’minin, Abu Hafs, al-Quraysy, al-Adawi, al-Fāruq. Lahir pada tahun ketiga belas Tahun Gajah (581 Masehi), di kota Mekkah dari suku Bani ‘Adi, salah satu rumpun suku Quraisy, Ayahnya bernama Khaţţāb bin Nufail Al Shimh al-Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyīm.
Keluarga ‘Umar tergolong dalam keluarga kelas menengah, sewaktu muda ‘Umar sudah terbiasa dengan pekerjaan berat, ia ditugasi ayahnya sebagai penggembala unta. Padahal, kala itu pekerjaan sebagai penggembala merupakan pekerjaan yang kurang terhormat dikalangan orang Arab. 
‘Umar memiliki kecakapan dan kepiawaian dalam beberapa bidang keilmuan terutama olah kata (debat) dan bidang olah fisik. Karena kecakapannya dalam olah kata yang ia warisi dari genitas keluarganya, sebelum dia masuk Islam jabatan sebagai duta besar telah dipegangnya. Jabatan ini hanya bisa diemban orang yang memiliki kualifikasi lebih dalam beroratosi. Dalam olah fisik, ia dikenal sebagai atlet gulat yang biasa berlaga pada pekan tahunan ‘Ukaz dan berakhir dengan memperoleh predikat jawara. Selain itu, ‘Umar juga dikenal ahli dalam membaca, menulis dan seni sajak. Padahal, keahlian membaca dan menulis pada zaman pra-Islam merupakan kecakapan yang baru dimiliki oleh sejumlah orang.
‘Umar rnenjadi  khalifah  tepatnya pada tahun 634- 642  Masehi,  ‘Umar meneruskan  kebijakan-kebijakan  Khalifah Abū Bakar, terutama  penyebaran  Islam  dan  perluasan  wilayah, periodenya  dikukuhkan sebagai periode Futūhul  al-lslamīyah, sebab kala itu karena masuk Islamnya Umar, pemeluk agama Islam semakin banyak dengan keadaan negara semakin terkonsolidasi.
  Pada masanya dua  imperium besar dapat dikalahkan Negara Madinah, sehingga  Persia  dan  beberapa  wilayah  kekuasaan adikuasa Romawi satu demi satu jatuh ke tangan kaum  Muslimin seperti Syria, Mesir, Barqah  dan beberapa daerah lainnya.
Kepemimpinan ‘Umar ibnu Khaţţāb berkisar sepuluh tahun  Pada masa pemerintahan ‘Umar, selain sebagai kepala pemerintahan, ia juga berperan sebagai seoarang Fāqih. Peranannya dalam ijtihad dan pengaruhnya terhadap perubahan pandangan hukum berpengaruh besar pada masanya hingga saat ini. Di kalangan Muslimin ‘Umar terkenal karena ijtihadnya yang luar biasa dan berani dalam memecahkan masalah-masalah hukum, sekalipun yang sudah termaktub dalam al-Qurān.
 ‘Umar adalah seorang yang dipandang sebagai penggagas terbentuknya ilmu pemerintahan Islam, karena dia adalah seorang yang pertama kali memberikan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan baku yang terkait dengan hukum dan peradilan,
‘Umar ibnu Khaţţāb dalam menetapkan suatu hukum tidak lepas dari aspek-aspek kemaslahatan masyarakat (umat), seperti menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebaikan, tolong menolong, dan penegakan hak-hak yang ada dalam masyarakat,
Di antara hasil ijtihad ‘Umar ibnu Khaţţāb dalam implementasi Hukum Islam yang tidak letter lijk dengan hukum pedoman normatif Islam adalah sebagai berikut:
  1. Tidak memberikan jatah mu’allaf padahal ayat al-Qurān sudah jelas menetapkannya. Dalam pandangan Umar, pemberian bagian zakat kepada golongan muallaf pada awalnya adalah dilakukan karena melihat yang ada pada saat itu, yaitu kondisi mental para muallaf yang masih rapuh.
  2. Tidak memotong tangan pencuri karena kondisi sedang paceklik.
3.      Pada masa awal Islam, ketika Khaibar ditaklukkan, Nabi Muhammad mengambil kebijakan sebagai jatah harta rampasan maka 4/5 harus diberikan kepada bala tentara penakluk. Namun, hal ini tidak dilakukan oleh ‘Umar karena kondisi keuangan di Baitul al-Māl sedang menipis sementara jumlah fakir miskin banyak.
4.      Melarang umat Islam untuk menikah dengan wanita ahlul al-Kitāb sementara ayat al-Qurān jelas membolehkan. Alasan ‘Umar adalah bahwa saat itu telah banyak umat Islam yang menikahi ahl al-Kitāb sehingga wibawa umat Islam menurun, di samping itu, dikhawatirkan keturunannya akan meninggalkan Islam.
5.      Menetapkan ucapan talak satu kali sama dengan tiga kali, karena umat Islam banyak yang bermain-main dalam masalah talak.

6.      Menetapkan jumlah hukuman cambuk untuk pemabuk dari 40 yang ditetapkan oleh Hadith Nabi menjadi 80 agar pelakunya jerah.
Selain itu, ada beberapa kebijakan-kebijakan lain yang diterapkan ‘Umar saat pemerintahannya. Di antaranya:
1.    Di bidang  Ekonomi
Dalam sambutannya ketika diangkat menjadi khalīfah, beliau mengumumkan kebijakan ekonomi yang akan dijalankannya. Di antara kebijakan-kebijakannya adalah:
1.  Negara Islam mengambil kekayaan umum dengan benar, dan  tidak mengambil hasil  kharaj atau harta  fai’  yang diberikan Allah kepada rakyat kecuali melalui mekanisme yang benar.
2.  Negara memberikan hak atas kekayaan umum, dan tidak ada pengeluaran kecuali sesuai dengan haknya, dan negara menambahkan subsidi serta menutup hutang.
3.  Negara tidak menerima harta kekayaan dari hasil yang kotor. Seorang penguasa tidak mengambil harta umum kecuali seperti pemungutan harta anak yatim. Jika dia berkecukupan, dia tidak mendapat bagian apapun. Kalau dia membutuhkan, maka dia memakai dengan jalan yang benar.
4.  Negara menggunakan kekayaan dengan benar.
2.    Di Bidang Kebijakan Zakat
Ketika ‘Umar menjadi khalifah kewajiban untuk membayar zakat telah kembali normal setelah dinetralkan oleh Abū Bakar ra dengan memerangi mereka yang membangkang. Setelah itu, ‘Umar lebih berkonsentrasi dengan persoalan penerapannya yang dipercayakan kepadanya. 
Dalam sebuah riwayat, ‘Umar juga meringankan zakat tanaman, karena tidak semua yang dipanen dapat mengembalikan modal usaha petani. Dengan demikian tidak semua buah yang dihasilkan bumi harus dikenakan zakat karena dikhawatirkan berkurang untuk kebutuhan pokok. 
Dalam kebijakannya, ‘umar tidak memberikan bagian zakat bagi Mu’allaf, dengan statementnya yang cukup tekenal : “Tidak ada kepentingan bagi kami atas kamu (kamu masuk Islam atau tidak), karena Allah-lah yang membuat Islam jaya dan membuat kamu kaya jika kamu masuk Islam, dan jika tidak, maka hal itu tidak menjadi masalah antara kami dan kamu semua”. 
3.    Di bidang Kebijakan Jizyah 
Salah satu sumber keuangan pada masa ‘Umar adalah  jizyah yang dipungut dari non muslim yang hidup di bawah pemerintahan Islam tapi tidak mau masuk Islam. Pajak yang dikenakan pada mereka merupakan pengganti dari imbalan atas fasilitas ekonomi, sosial dan layanan kesejahteraan yang mereka terima dari pemerintahan Islam juga sebagai jaminan dan keamanan hidup dan harta mereka. Pajak ini mirip dengan zakat fitrah yang dipungut dari muslim setiap tahun.
Adapun pembayarannya dilakukan setelah tiba masa panen, agar sesuai dengan situasi dan kondisi ahlu dzimmah. Mereka dapat membayar setelah sumber untuk membayar  jizyah telah tersedia, yaitu hasil bumi yang telah dipanen. Dengan demikian, hal itu memberikan kemudahan dan keringan kepada mereka.
4.    Di bidang Kebijakan ‘Usyur
‘Usyur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam, atau datang dari negara Islam itu sendiri. peraturan usyr ini telah ada sejak zaman sebelum Islam, yaitu seperti yang diterapkan oleh orang-orang Yunani. 
‘Usyur  belum sempat dikenal pada masa Rasulullah dan Abu Bakar. Permulaan diterapkannya  ‘usyur   di negara Islam adalah di masa ‘Umar ibnu Khaţţāb , yang berlandaskan demi penegakan keadilan.  ‘Usyur  telah diambil dari para pedagang kaum muslimin jika mereka mendatangi daerah lawan. Maka dalam rangka penerapan perlakuan  yang seimbang terhadap mereka, ‘Umar ibnu Khaţţāb memutuskan untuk memperlakukan pedagang non muslim dengan perlakukan yang sama jika mereka masuk  ke negara Islam.
PEMIKIRAN MAZHAB IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM MALIK BIN ANAS
·         Imam Abu Hanifah dan Dasar-Dasar Mazhabnya
            Imam Abu Hanifah bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit ibn Zuthi al-Kufi. Ia lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M) pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan, Beliau digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya. Abu Hanifah sebelum memusatkan perhatiannya kepada ilmu, ia sering turut berdagang dipasar beserta ayahnya menjual kain sutera. Disamping berdagang Ia juga tekun menghafal Alquran dan amat gemar membacanya.
Metode yang dipakai Abu Hanifah dalam istimbat hukum dapat dibagi kepada tiga jenis, yaitu: naqliyah,  ijtihadiyah dan al-‘Urf. Sumber hukum naqliyah terdiri dari Al-quran, Hadis (Sunnah), Ijma’ dan Fatwa Sahabat. sedangkan sumber hukum ijtihadiyah adalah dengan menggunakan qiyas dan istihsan. Dan al-Urf adalah yang merupakan kebiasaan umum masyarakat baik yang berupa lisan maupun perbuatan yang tidak bertentangan dengan nash.
 Secara rinci dasar hukum mazhab Hanafi itu ada sekitar 7 Ushul Istinbath yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah: yaitu;
1. Al-Qur’an; Abu Hanifah memandang al-Qur’an sebagai sumber pertama pengambilan hukum sebagaimana imam-imam lainnya, hanya saja beliau berbeda dengan sebagian mereka dalam menjelaskan maksud (dilalah) al-Qur’an tersebut, seperti dalam masalah mafhum mukhalafah.
2. Sunnah/Hadits; Imam Abu Hanifah juga memandang Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, tetapi beliau menetapkan syarat-syarat khusus dalam penerimaan sebuah hadits (baca usul fiqh) yang memperlihatkan bahwa Abu Hanifah bukan saja menilai sebuah hadits dari sisi Sanad tapi juga meneliti dari sisi Matan hadits dengan membandingkannya dengan hadits-hadits lain dan kaidah-kaidah umum yang telah baku dan disepakati.
3. Ijma’; Imam Abu Hanifah mengambil Ijma’ secara mutlak setelah meneliti kebenaran terjadinya Ijma’ tersebut.
4. Perkataan Sahabat; jika terdapat banyak perkataan Sahabat, maka beliau mengambil yang sesuai dengan ijtihadnya tanpa harus keluar dari perkataan Sahabat tersebut, dan jika ada beberapa pendapat dari kalangan tabi’in beliau lebih cenderung berijtihad sendiri.
5. Qiyas; belaiu menggunakannya jika mendapatkan permasalahan yang tidak ada nash yang menunjukkan solusi permasalahan tersebut secara langsung atau tidak langsung (dilalah isyarah atau thadhammuniyah). Disinilah nampak kelebihan Imam Abu Hanifah dalam mencari sebab (ilat) hukum.
6. Istihsan; dibandingkan imam-imam yang lain, Imam Abu Hanifah adalah orang yang paling sering menggunakan istihsan dalam menetapkan hukum.
7. Urf, dalam masalah ini Imam Abu Hanifah juga termasuk orang yang banyak memakai ‘urf dalam masalah-masalah furu’ Fiqh, terutama dalam masalah sumpah (yamin), lafaz talak, pembebasan budak, akad dan syarat.
Mazhab Hanafi tumbuh pada awalnya di wilayah Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Mazhab ini juga dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.
·         Biografi Imam Malik dan Dasar-Dasar Mazhabnya
            Imam Malik memiliki nama lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amr bin al-Haris bin Usman bin Jusail bin Amr bin al-Haris al-Ashbahaniy al-Himyariy, Abu ‘Abdillah al-Madaniy.
                         Semasa kecilnya pendidikan Imam Malik berlangsung di Madinah. Kecerdasannya terlihat dari kemampuannya menghafal Al-Qur’an sejak usia baligh, dan pada masa usia tujuh belas tahun belia telah menguasai ilmu-ilmu agama. Imam Malik memiliki banyak guru bahkan ada yang menyebutkan bahwa belia mempunyai guru sampai 900 orang dan diantara guru-gurunya t adalah: Ibn Hurmuz (w.148), Muhammad Ibn Sihab azs-Zuhri (w.123/124 H). Nafi’ maula ibn Umar (w.117/119, 120 H). Imam Ja’far as-Shadiq bin Muhammad bin ali al-Husain bin Ali bin Abi Thalib (80-148 H). Rabi’ah ar-Ra’yi bin Abi Abdirrahman (w.130/136 H). ‘Amir bin Abdillah bin az-Zubair bin al-Awwam. Na’im bin Abdillah al-Majmar. Zaid bin Aslam. ‘Abdillah bin Dinar al-Adawi Abu ‘Abdurrahman al-Madini Maula bin ‘Umar (w.127 H.   
Adapun  metode dan dasar-dasar istimbath dalam mazhab Maliki. Adalah:
1. Alquran, Imam Malik meletakan Alquran di atas semua dalil, beliau mengambil dari nash yang tegas yang tidak menerima ta’wil dan mengambil bentuk lahirnya; selanjutnya Mabhum Muafaqoh atauFadwa al-Kitab, yaitu hukum yang semakna dengan nash, Mabhum Mukhalafah, yaitu penetapan lawan hukum diambil dari dalil yang disebutkan dalam nash pada sesuatu yang tidak disebutkan dalam nash dan ‘illat-‘illat hukum (sesuatu sebab yang menimbulkan adanya hukum).
2. Sunnah, Sunnah menduduki tempat kedua setelah Alquran. Sunnah yang diambil oleh Imam Malik adalah; sunnah mutawatir, sunnah masyhur, baik kemashurannya itu ditingkat tabi’in maupun tabi’in at-tabi’in. tingkat kemasyhuran setelah generasi di atas tidak dipertimbangkan, dan hadis ahad yang didahuli atas praktek penduduk Madinah dan qiyas, akan tetapi kadang-kadang hadis ahad  bisa tertolak oleh qiyas dan maslahat.
3. Praktek Penduduk Madinah. Hal ini dipandang sebagai hujah, jika praktek itu benar-benar dinukilkan dari Nabi Muhammad Saw. sehubungan dengan itu praktek penduduk Madinah yang dasar ra’yu (akal, penalaran) bias didahulukan atas khabar ahad, Imam Malik mengkritik ahli fikih yang tidak mau mengambil praktek penduduk Madinah, bahkan menyalahinya. Selanjutnya yang ke
4 fatwa sahabat. Imam Malik mendahulukan fatwa sahabat dalam soal manasik haji dan meninggalkan sebagian yang lain, dengan alasan sahabat yang bersangkutan tidak melaksanakannya karena hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa adanya perintah dari nabi SAW. Imam Malik juga mengambil fatwa dari tabi’in besar, tetapi tidak disamakan kedudukannya dengan fatwa sabahat.
5  Qiyas, maslahah al-mursalah dan istihsan. 
6 Az-Zara’I; setiap yang membawa pada hal-hal yang diharamkan/kerusakan maka akan menjadi haram dan setiap yang membawa kepada hal-hal yang dihalalkan maka akan menjadi halal juga. Sarana yang membawa kepada kerusakan (mafsadah) dalam mazhab Maliki di bagi menjadi empat; pertama, sarana yang secara pasti membawa kepada kerusakan, seperti menggali sumur di belakang pintu rumah. Kedua,sarana yang diduga kuat akan mengantarkan pada kerusakan, seperti jual beli anggur dengan dugaan akan dibuat khamar oleh pembelinya. Ketiga, sarana yang jarang bisa membawa kepada kerusakan, seperti menggali sumur di suatu tempat yang tidak membahayakan orang lain.Keempat, sarana yang banyak mengantarkan pada kerusakan, tapi tidak dipandang umum, seperti jual beli dengan tenggang waktu yang dapat membawa pada praktek riba.

PEMIKIRAN MAZHAB IMAM AL-SHAFI’I
·         Biografi al-Shafi’i dan Terbentuknya Madhhab Shafi’i
            Al-Shafi’i hidup pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H) dan al-Ma’mun (198-218 H), beliau lahir pada tahun 150 H/767 M di Gazza palestina dengan nama kecil Muhammad. Orang tua al-Shafi’i berasal dari Makkah yang merantau ke Palestina. Nama lengkapnya ialah Abu ’Abd Allah Muhamad bin Idris bin al-’Abbas bin ’Uthman bin Shafi’ bin al-Sa’ib bin Ubayd bin ’Abd Yazid bin Hashim bin al-Mutallib bin ’Abd Manaf. Sedangkan nama al-Shafi’i diambil dari nama kakeknya, Shafi’.
Ketika berusia dua tahun, ayah al-Shafi’i meninggal dalam perantauan tersebut. Ibunya kemudian membawa al-Shafi’i kembali ke Mekkah dan menetap di sana. Di Mekkah inilah al-Shafi’i menghabiskan masa kanak-kanak dan memulai kehidupan keilmuanya. Sepanjang kehidupannya, al-Shafi’i sempat berpindah-pindah tempat dalam rangka pengembaraan intelektualnya. Beberapa tempat yang sempat disinggahi oleh al-Shafi’i antara lain Madinah, Yaman, Irak dan Mesir. Al-Shafi’i wafat di Mesir pada tanggal 29 Rajab 204 H/820 M. pada usia 54 tahun dan dimakamkan di suatu tempat di Qal’ah bernama Mishru al-Qadimah, Mesir.
al-Shafi’i merupakan peletak kaidah dasar tentang periwayatan hadith dan ushul fiqh. Banyak ungkapan yang menggambarkan kebesaran dan keagungan sosok al-Shafi’i. Diantaranya, ia dikenal sebagai nashir al-sunnah atau nashir al-hadith, selain itu, menurut Sulaiman Fayadh ia juga sebagai mujaddid (pembaharu) kedua dalam Islam setelah Umar bin Abd Aziz.
Dasar terbentuknya madhhab Shafi’i adalah hasil penyerapannya terhadap berbagai macam corak keilmuan. Perjalanan studi al-Shafi’i menghasilkan rekonsiliasi atas berbagai perbedaan yang muncul di tiap daerah dan kemudian menghasilkan suatu kombinasi yang akhirnya menjadi madhhab yang merupakan sintesa antara fiqh ahl ra’yu dan ahl hadith.

·         Metodologi  Syafi’i Dalam Pengambilan Hukum
1.  Al-Qur’an
Imām al-Syāfi’i menempatkan al-Qur’an pada urutan pertama. Dalam pemahaman Imām al-Syāfi’i atas al-Qur’an, beliau memperkenalkan konsep al-bayan. yang mengklafikasikan dilalah nash atas ‘amm dan khas. Sehingga ada dilalah `amm dengan maksud `amm, ada pula dilalah ‘amm dengan dua maksud; ‘amm dan khas, dan ada pula dilalah ‘amm dengan maksud khas.
Klasifikasi lain adalah dilalah tertentu yang maknanya ditentukan oleh konteksnya, ada juga dilalah yang redaksinya menunjuk arti implisit bukan eksplisit, bahkan ada pernyataan ‘amm yang secara spesifik ditunjukkan oleh sunnah bahwa maksudnya khusus.
2.  Al-Sunnah
Al-Sunnah selain sebagai sumber yang kedua setelah al-Qur’an sedangkan kedudukan al-Sunnah atas al-Qur’an sebagai berikut:
  1. Ta`kid, menguatkan dan mengokohkan al-Qur’an.
  2. Tabyin, menjelaskan maksud nas al-Qur’an.
  3. Tasbit, menetapkan hukum yang tidak ada ketentuan nasnya dalam al-Qur’an.
  4. Dilalah-dilalah al-Sunnah meskipun hukumnya berdiri sendiri tidak ada yang bertentangan dengan dilalah nas al-Qur’an, karena al-Sunnah selain bersumber pada wahyu juga ada faktor lain yang menyebabkan keontetikkan al-Sunnah yaitu terpeliharanya Nabi dari dosa dan kekeliruan sejak kecil.

3.   Ijma’
Ijma’ menurut al-Syāfi’i adalah kesepakatan para ‘ulama’ diseluruh dunia Islam, bukan hanya disuatu negeri tertentu dan bukan pula ijma` kaum tertentu saja. Namun Imam al-Syafi`i tetap berpedoman bahwa ijma` sahabat adalah ijma’ yang paling kuat.
Al-Syāfi’i membagi ijma’ menjadi dua yaitu ijma’ sarih dan ijma’ sukuti. Namum yang paling diterima olehnya adalah ijma’ sarih sebagai dalil hukum. Sedangkan ijma’ sukuti ditolaknya karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Dan diamnya mujtahid menurutnya, belum tentu mengindikasikan persetujuannya.

4.  Qiyas
Al-Syāfi’I adalah yang pertama kali mengkaji qiyas (merumuskan kaidah-kaidah dan dasar-dasarnya), al-Syāfi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah ke empat setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ dalam menetapkan hukum Islam. Ia menempatkan qiyas setelah ijma`, karena ijma’ merupakan ijtihad kolektif sedangkan qiyas merupakan ijtihad individual.
Syarat-syarat qiyas yang dapat diamalkan menurut Imām al-Syāfi’i   adalah:
a.       Orang itu harus mengetahui dan mengusai bahasa arab.
b.      Mengetahui hukum al-Qur’an, faraid, uslub, nasikh-mansukh, ‘amm-khas, dan petunjuk dilalah nas.
c.       Mengetahui Sunnah, qaul sahabat, ijma` dan ikhtilaf dikalangan ulama.
d.   Mempunyai pikiran sehat dan prediksi bagus, sehingga mampu membedakan masalah-masalah yang mirip hukumnya.
5.  Istidlal
Jika al-Syāfi’i tidak mendapatkan keputusan hukum dari ijma` dan tidak ada jalan dari qiyas, maka ia mengambil dengan jalan istidlal, mencari alasan bersandarkan atas kaidah-kaidah agama, meski itu dari ahli kitab yang terakhir yang disebut “syar`u man qablana” dan tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah pikiran manusia, juga ia tidak mau mengambil hukum dengan cara istihsan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar