oleh: Hasyim AQ
SEJARAH PEMIKIRAN QADARIYAH DAN JABARIYAH
SEJARAH PEMIKIRAN QADARIYAH DAN JABARIYAH
*Aliran Qadariyah
Qadariyah
berasal dari asal kata qadara yang berarti kemampuan atau kekuatan.
Dalam pengertian terminologinya adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia dilakukan oleh manusia dan tidak ada intervensi dari Tuhan.
Artinya manusia memiliki kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya sekaligus sebagai pencipta dari semua perbuatannya.
Aliran Qadariyah
muncul sekitar tahun 70 H oleh Ma’bad bin Abdullah al-Juhanî dan salah satu tokoh
yang menyebarkan aliran Qadariyah adalah Ghailan bin Muslim ad-Dimasyqi>>
Abu> Marwan, seorang orator yang berasal dari Damaskus dia mati dibunuh oleh
Hisyam bin Abdul Ma>lik pada tahun 105 H. atau 723 M.
Dalam kitabnya Syarh
al-Uyun, menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menganut faham qadariyah
adalah orang Irak yang awalnya beragama Kristen kemudian masuk Islam dan
kembali lagi (murtad) ke agama Kristen, Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan
mengambil faham Qadariyah.
Qadariyah ini
mengalami tantangan keras yang sedikitnya ada dua hal yang melatarbelakanginya,
Pertama, masyarakat Arab pra Islam yang keras hingga menuntut mereka
untuk hidup dengen ketergantungan terhadap alam, dan bersikap fatalis. Kedua,
adanya pertentangan dari pemerintah dengan anggapan faham Qadariyah ini adalah gerakan
peyebaran faham dinamis dan daya kritis yang nantinya dianggap membahayakan
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Adapun doktrin Qadariyah
adalah manusia mempunyai daya dan
kekuatan untuk menentukan nasibnya, melakukan segala sesuatu yang
diinginkannya, baik dan buruknya, jadi sorga atau neraka yang didapatkannya
bukan merupakan takdir Tuhan, tapi karena kehendak dan perbuatannya sendiri.
Adapun takdirmenurut mereka adalah ketentuan Allah yang tercipta bagi alam semesta beserta seluruh
isinya sejak zaman azali, atau yang biasa disebut dengan hukum alam atau sunatullah
dimana manusia mempunyai takdir yang tidak bisa diubah mengikuti hukum alam
seperti tidak memiliki sayap untuk terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk
mengembangkan pemikiran dan daya kreatifitasnya sehingga manusia dapat
menghasilkan karya untuk mengimbangi atau mengikuti hukum alam tersebut dengan
menciptakan pesawat terbang.
*Aliran Jabariyah
Jabariyah berasal
dari kata جَبَرَ yang berarti memaksa. artinya
menyandarkan segala perbuatan kepada Allah SWT dengan menghilangkan peran
manusia didalamnya.
Ajaran ini
dimunculkan oleh Ja’d bin Dirham, sebagai tandingan terhadap faham Qadariyah
yang kemudian disebarkan Jahm bin Shafwân dari Khurasân dan kemunculannya
diperkirakan sekitar setelah tahun 70 H
Benih-benih
Jabariyah telah muncul sebelum Islam datang karena kehidupan Bangsa Arab ketika
itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, mereka selalu terpaksa mengalah
kepada keganasan alam, mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi
kesukaran hidup.
Ada beberapa
tokoh sentral faham Jabariyah diantaranya: pertama; Ja’d bin
Dirham, dan pokok-pokok ajarannya adalah:
-
Al-Qur’an adalah makhluk, maka dari itu
dia baru, dan sesuatu yang baru tidak dapat dinisbatkan pada Allah.
-
Allah tidak mempunyai sifat yang serupa
dengan makhluk seperti berbicara, melihat dan mendengar.
-
Manusia terpaksa oleh Allah dalam
segala-galanya.
Kedua; Jahm bin Shafwa>n at-Turmudzi>, dan
pokok-pokok ajaran Jahm bin Shafwa>n adalah:
-
Manusia tidak mampu untuk berbuat
apa-apa, ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak
mempunyai pilihan.
-
Surga dan neraka tidak kekal, karena
menurutnya tidak ada yang kekal selain Tuhan.
-
Iman adalah ma’rifat atau membenarkan
dalam hati.
-
Kalam Tuhan adalah makhluk, Allah
Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara,
mendengar dan melihat.
-
Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera
mata di akhirat nanti.
-
Gerak-gerik, ucapan dan perbuatan
penduduk sorga bukan atas pilihannya sendiri, tapi sudah ada yang mengatur.
Ketiga; Abu Abdullah al-Husain bin Abdullah an-Najjâr dan ajarannya
adalah:
-
Allah tidak memiliki sifat
-
Allah tidak bisa dilihat di akhirat,
akan tetapi an-Najjâr mengatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi
hati (ma’rifat) pada mata, sehingga manusia dapat melihat Tuhan
-
Kalâmullah adalah baru
-
Setiap bagian dari iman disebut taat
dan jika digabung semuanya baru disebut iman.
PEMIKIRAN WASIL BIN ATHA’ DAN
AL QADHI ABD AL JABBAR
·
Sejarah
Dan Ideologi Mu’tazilah
Mu’tazilah berasal dari kata (I’tazala) yang
memiliki arti memisahkan diri atau menjauhi. Kemunculan Mu’tazilah dipengaruhi
oleh munculnya pemikiran sebelumnya yaitu Khawarij yang mengatakan bahwa orang
yang berdosa besar bukanlah orang yang beriman (kufr), sedang Hasan Al
Basri mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah orang yang hypokrit (Munafiq),
dan murjiah berpendapat bahwa orang tersebut adalah orang yang beriman (Mu’min).
dari situ Mu’tazilah muncul sebagai penengah dari para pemikir sebelumnya
dengan konsep (Al Manzilah Bain Al-Manzilatain).
Mu’tazilah menyebut golongannya sebagai golongan Ahlul
Adl, dalam arti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan, dan juga
Ahlul Tauhid yang mempertahankan keesaan Tuhan secara murni.
Mu’tazilah terbagi dalam beberapa sekte diantaranya
adalah: Al Wasilah, Al Hudzailiyyah, An Nadhamiyyah, Al Khabithiyyah Al
Hatsiyyah, Al Bisyriyyah, Al Muammariyyah, Al Mardariyyah, At Tsumamiyah, Al
Hisyamiyyah, Al Jahidiyyah, Al Khayyatiyyah Wal Ka’biyyah, Al Jubbaiyyah Wal
Bahsyamiyyah. Masing-masing dari sekte tersebut memiliki karakteristik
ideologi yang sedikit berbeda, akan tetapi keseluruhan faham tersebut dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Ø Allah itu qadim dan qadim hanya diperuntukkan
hanya kepada dzat-Nya bukan sifatnya, Allah mengetahui, berkuasa, hidup dengan
Dzat-Nya, dan barang siapa yang mengakui adanya sifat terhadap Allah maka
dengan mengakui adanya dua Tuhan.
Ø Kalamullah adalah Ucapan dan diciptakan pada
tempatnya, sedangkan huruf-huruf dan suara yang ditulis dalam mushaf-mushaf hanyalah
sejarah baginya. Sesuatu yang ditemukan pada suatu tempat maka hal tersebut
nyata, maka yang terlihat tersebut akan rusak pada tempat tersebut.
Ø Ketiadaan Iradah, Sama’, Bashar sebagai
sifat yang berdiri dengan dzat-Nya.
Ø Mengingkari melihat Dzat Allah dengan mata
telanjang di akhirat, dan menafikan penyerupaan terhadap Allah dari berbagai
hal: arah, tempat, bentuk, tubuh, ramalan, perpindahan, kemunculan, perubahan,
dan pengaruhnya.
Ø Hamba menciptakan perbuatannya sendiri baik itu
perbuatan baik atau perbuatan buruk, dan mereka berhak atas balasan dari segala
sesuatu yang diperbuatnya. Allah menjauhkan diri dari hal-hal buruk,
kedhaliman, sebab Allah ketika menciptakan perbuatan dhalim maka disebut Dzat
dhalim dan bgtupun sebaliknya.
Ø Allah harus berlaku baik dan memenuhi
kemaslahatan hambanya dengan adil.
Ø Mukmin yang mati dalam keadaan tobat dan taat
maka berhak atas pahala dan balasan keutamaan. Dan ketika seorang mikmin mati
dalam keadaan belum taubat dan berdosa besar maka baginya berhak kekal di neraka,
akan tetapi siksaaan tersebut lebih ringan dari pada siksaan orang kafir.
·
Ideologi
Wasil bin Atha’
Ajaran-ajaran Wasil bin Atha al Ghazzali al Altsag
diantaranya sebagai berikut:
1.
Mengingkari
adanya sifat-sifat Allah seperti Al Ilm, Al Qudrah, Iradah, dan Hayat.
Yang dimaksud adalah ingkar adanya dua Tuhan yang sama-sama qadim, dan barang
siapa yang menetapkan adanya sifat maka orang tersebut meyakini adanya dua
Tuhan tetapi pendapatnya tersebut berubah setelah mempelajari ilmu filsafat,
sehingga dia berpendapat bahwasanya sifat itu melekat pada dzat tersebut (As
Sifat Al Dzatiah).
2.
Allah
bersifat Alim dan Hakim dan tidak boleh menyandarkan kepada-Nya
sifat buruk dan keji. Dan seorang hamba pencipta perbuatannya sendiri meliputi
baik, buruk, iman, kufur, taat, ma’siat akan tetapi Allah secara majazi
memberikan kemampuan terhadap hamba untuk berbuat apapun. Perbuatan manusia
terbatas pada gerakan, diam, dan persetujuan.
3.
Al Manzilah Bain Al-Manzilatain pendapat
ini sebagai reaksinya terhadap Khawarij yang menganggap orang yang berdosa
besar adalah kafir, dan Murji’ah yang berpendapat bahwa kemaksiatan tdak
mempengaruhi keimanan, menurut Wasil seseorang mukmin yang mati dalam keadaan
tobat dan taat maka berhak atas pahala, dan ketika mati dalam keadaan belum
taubat dan berdosa besar maka baginya kekal di neraka, akan tetapi siksaaan
tersebut lebih ringan dari pada siksaan orang kafir, dan mereka menamai ini
dengan Wa’dan Waaidan.
4.
Orang yang
terlibat dalam perang Jamal tidak diterima syahadat mereka termasuk Ali
bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair dan lain sebagainya. Mereka dihukumi fasiq dan
syahadat mereka tidak diterima.
·
Al Qadhi
Abd Al Jabbar
Nama lengkap beliau adalah Abu Husain Abd al jabbar bin
Ahmad bin Khalil bin Abdillah al Hamdani al Asadi Abadi (320-415 H) beraliran
Asy’ari dan berpindah ke aliran Mu’tazilah setelah bertemu dengan Abi Ishaq bin,
dia memahami tauhid dengan bahasa dan istilah, tauhid secara bahasa adalah menjadikan
sesuatu itu satu.
Ajaran-ajaran Abd al jabbar diantaranya sebagai
berikut:
1.
Tuhan
harus adil, artinya semua perbuatan Tuhan bersifat baik, Tuhan tidak berbuat
buruk, tidak berbuat zalim,
2.
Tuhan
memberi daya kepada manusia untuk dapat memikul beban-beban yang diletakan
Tuhan atas dirinya, maka Tuhan memberikan upah dan hukuman atas
perbuatan-perbuatan manusia.
3.
Siksaan
Tuhan itu pada hakekatnya untuk kepentingan dan maslahat manusia, jika tidak
untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia maka Tuhan melalaikan kewajibannya.
Salah
satu dari ajaran dasar Mu’tazilah adalah Al Amr Bi Al Ma’ruf Wa Al Nahy An Al
Munkar. Oleh karena itu menurut Abd al jabbar ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi oleh seorang mukmin:
1.
Ia
mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu
memang mungkar
2.
Ia
mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang
3.
Ia
mengetahui perbuatan Amr Bi Al Ma’ruf dan Nahy An Munkar tidak
akan mendatangkan madharat yang lebih besar.
4.
Ia
mengetahui dan paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan
dirinya dan hartanya.
Dan pendapatnya secara keseluruhan adalah yang ma’ruf yang
dapat diterima oleh masyarakat dan yang mungkar adalah sebaliknya.
SEJARAH PEMIKIRAN ASH’ARIYAH DAN
MA<TURI<DIYAH
·
Ash’ariyah
dan Pemikiran-pemikirannya
Nama Ash’ariyah diambil dari nama Abu al-H{asan Ali
bin Isma’il al-Ash’ari yang dilahirkan di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H/873
M. Beliau wafat di Baghdad pada tahun 935 M. Pada mulanya beliau adalah murid
Abu Ali Muhammad Abd Wahab al-Juba’i (salah seorang terkemuka dalam golongan
Mu’tazilah) sehingga, menurut Husain bin Muhammad al-Askari, al-Juba’i berani
mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.
Diantara pemikiran-pemikiran al-Ash’ari yang
menjadi ajaran kelompok Ash’Ariyah adalah sebagai berikut:
1.
Tuhan
dan sifat-sifat-Nya
Allah memiliki sifat-sifat namun tidak boleh
diartikan secara harfiah, sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip,
tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah SWT, dan Allah SWT tidak menyerupai
sesuatu apapun. Dan menurutnya,
tidaklah benar Tuhan mengetahui dengan zat-Nya. Karena jika demikian, zat Tuhan
adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Padahal Tuhan bukan
pengetahuan (‘ilm), tetapi Yang mengetahui (‘A<lim). Tuhan
mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya
2.
Tentang
perbuatan manusia
Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah
SWT, dan manusia hanya memiliki peran kecil yang dinamakan dengan kasab,
dengan kata lain manusia mempunyai peran dalam hal keinginan dan bukan daya.
3.
Akal
dan wahyu
Ash’ariyah berpendapat bahya wahyu
lebih utama dibanding akal, berbeda dengan Mu’tazilah yang lebih mengutamakan
akal daripada wahyu.
4.
Qadi>mnya
al-Qur’an
Al-Qur’an memang tersusun dari huruf, kata dan suara namun hal ini tidak melekat pada esensi
Allah dan oleh karenanya al-Qur’an
qadi>m. dan al-Qur’an tidak diciptakan.
5. Melihat Allah
di akhirat
Allah dapat dilihat di
akhirat kelak.
6. Keadilan Tuhan
Tuhan berkuasa mutlak dan
tak ada sesuatupun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga
kalau Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak
adil dan jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka tidaklah Ia bersifat
z}ali>m.
7. Kedudukan orang
yang berbuat dosa besar
Orang yang melakukan dosa
besar tetap mukmin karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang
dilakukannya, ia menjadi fa>siq. Sekiranya orang yang berdosa besar
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir sebagaimana anggapan Mu’tazilah, maka
dalam dirinya tidak akan didapati kufur atau iman. Oleh karena itu tidak pula
mungkin bahwa orang berdosa besar bukan
mukmin dan pula tidak kafir.
·
Ma>turi>diyah dan Pemikiran-pemikirannya
Aliran
Ma>turi>diyah adalah madhhab bagi orang-orang yang mengikuti jejak Abu
Mans}u>r Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Ma>turi>di. Beliau lahir di desa Maturid, Samarkand (daerah
Rusia) pada pertengahan kedua dari abad ke-9 M, beliau wafat pada tahun 333
H/944 M. al-Ma>turi>di hidup dan dibesarkan di dalam suasana pertentangan
yang sangat tajam antara paham Mu’tazilah dan Ash’ariyah. Kehadirannya ranah
teologi bertujuan untuk mendekatkan perbedaan yang cukup tajam antara aliran
Mu’tazilah dan ash’ariyah. Dan diantara pemikirannya adalah:
1. Tuhan dan
sifat-sifat-Nya
Tuhan mempunyai sifat-sifat
sebagaimana al-Ash’ari berpendapat demikian.
2. Tentang
perbuatan manusia
Dalam hal ini
al-Ma>turi>di sependapat dengan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa
manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian
ia mempunyai paham Qadariyah dan bukan paham Jabariyah atau kasb
Ash’ari.
3.
Akal
dan wahyu
Al-Ma>turi>di memberi
porsi yang lebih besar kepada kemampuan akal dari pada yang diberikan oleh
Ash’ariyah, namun tidak sebesar yang diberikan Mu’tazilah. Menurut paham al-Ma>turi>di,
dari empat persoalan yaitu; 1) mengetahui Tuhan, 2) kewajiban
beribadah kepada Tuhan, 3) mengetahui baik dan buruk, 4) kewajiban
melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk, akal hanya dapat mengetahui
tiga persoalan saja yaitu: mengetahui adanya Tuhan, mengetahui kewajiban beribadah
kepada-Nya dan mengetahui baik dan buruk. Namun akal tidak mampu mengetahui
kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk, hal ini adalah
otoritas wahyu.
4. Qadimnya
al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kala>m
Allah atau sabda Allah yang tidak diciptakan dan bersifat qadim.
5. Keadilan Tuhan
Dalam hal ini
al-Ma>turi>di sepakat dengan ajaran Mu’tazilah; setiap janji dan ancaman
Tuhan terjadi. Jadi apabila sesorang melakukan ibadah lalu Tuhan memasukkannya
ke neraka maka Tuhan tidak adil. Begitu juga sebaliknya.
6. Melihat Tuhan
Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata,
karena Tuhan mempunyai wujud walaupun Dia immaterial. Namun melihat
Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena
keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
7. Kedudukan orang
yang berbuat dosa besar
Orang yang melakukan dosa
besar masih tetap mukmin dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di
akhirat.
SEJARAH
PEMIKIRAN HUKUM ‘UMAR IBNU KHAŢŢĀB
·
Biografi
dan kepemimpinan Umar
‘Umar ibnu Khaţţāb ibnu Nufail ibnu
‘Abdul ‘Uzza ibnu Riyah ibnu Qart ibnu ‘Adi ibnu Ka’b ibnu Lu’ayi atau lebih
dikenal dengan sebutan‘Umar ibnu Khaţţāb, Amirul Mu’minin,
Abu Hafs, al-Quraysy, al-Adawi, al-Fāruq. Lahir pada tahun
ketiga belas Tahun Gajah (581 Masehi), di kota Mekkah dari suku Bani ‘Adi, salah satu rumpun suku Quraisy, Ayahnya bernama Khaţţāb bin Nufail Al Shimh
al-Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyīm.
Keluarga ‘Umar tergolong dalam keluarga kelas menengah, sewaktu muda ‘Umar sudah
terbiasa dengan pekerjaan berat, ia ditugasi ayahnya sebagai penggembala unta.
Padahal, kala itu pekerjaan sebagai penggembala merupakan pekerjaan yang kurang
terhormat dikalangan orang Arab.
‘Umar memiliki kecakapan dan kepiawaian dalam beberapa bidang keilmuan
terutama olah kata (debat) dan bidang olah fisik. Karena kecakapannya dalam
olah kata yang ia warisi dari genitas keluarganya, sebelum dia masuk Islam
jabatan sebagai duta besar telah dipegangnya. Jabatan ini hanya bisa diemban
orang yang memiliki kualifikasi lebih dalam beroratosi. Dalam olah fisik, ia
dikenal sebagai atlet gulat yang biasa berlaga pada pekan tahunan ‘Ukaz dan
berakhir dengan memperoleh predikat jawara. Selain itu, ‘Umar juga dikenal ahli
dalam membaca, menulis dan seni sajak. Padahal, keahlian membaca dan menulis
pada zaman pra-Islam merupakan kecakapan yang baru dimiliki oleh sejumlah
orang.
‘Umar
rnenjadi khalifah tepatnya pada tahun 634- 642 Masehi,
‘Umar meneruskan
kebijakan-kebijakan Khalifah Abū Bakar, terutama penyebaran
Islam dan perluasan
wilayah, periodenya dikukuhkan
sebagai periode Futūhul al-lslamīyah, sebab kala itu karena masuk Islamnya Umar,
pemeluk agama Islam semakin banyak dengan keadaan negara semakin
terkonsolidasi.
Pada masanya dua imperium besar dapat dikalahkan Negara
Madinah, sehingga Persia dan
beberapa wilayah kekuasaan adikuasa Romawi satu demi satu
jatuh ke tangan kaum Muslimin seperti Syria,
Mesir, Barqah dan beberapa daerah
lainnya.
Kepemimpinan
‘Umar ibnu Khaţţāb berkisar
sepuluh tahun Pada masa pemerintahan
‘Umar, selain sebagai kepala pemerintahan, ia juga berperan sebagai seoarang Fāqih. Peranannya dalam ijtihad dan pengaruhnya
terhadap perubahan pandangan hukum berpengaruh besar pada masanya hingga saat
ini. Di kalangan Muslimin ‘Umar terkenal karena ijtihadnya yang luar biasa dan
berani dalam memecahkan masalah-masalah hukum, sekalipun yang sudah termaktub
dalam al-Qurān.
‘Umar adalah seorang yang dipandang sebagai
penggagas terbentuknya ilmu pemerintahan Islam, karena dia adalah seorang yang
pertama kali memberikan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan baku yang
terkait dengan hukum dan peradilan,
‘Umar
ibnu Khaţţāb dalam menetapkan
suatu hukum tidak lepas dari aspek-aspek kemaslahatan masyarakat (umat),
seperti menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebaikan, tolong menolong, dan
penegakan hak-hak yang ada dalam masyarakat,
Di
antara hasil ijtihad ‘Umar ibnu Khaţţāb dalam
implementasi Hukum Islam yang tidak letter lijk dengan hukum pedoman normatif
Islam adalah sebagai berikut:
- Tidak memberikan jatah mu’allaf padahal ayat al-Qurān sudah jelas menetapkannya. Dalam pandangan Umar, pemberian bagian zakat kepada golongan muallaf pada awalnya adalah dilakukan karena melihat yang ada pada saat itu, yaitu kondisi mental para muallaf yang masih rapuh.
- Tidak memotong tangan pencuri karena kondisi sedang paceklik.
3.
Pada
masa awal Islam, ketika Khaibar ditaklukkan, Nabi Muhammad mengambil kebijakan
sebagai jatah harta rampasan maka 4/5 harus diberikan kepada bala tentara
penakluk. Namun, hal ini tidak dilakukan oleh ‘Umar karena kondisi keuangan di
Baitul al-Māl sedang
menipis sementara jumlah fakir miskin banyak.
4.
Melarang
umat Islam untuk menikah dengan wanita ahlul al-Kitāb sementara ayat al-Qurān jelas membolehkan. Alasan ‘Umar adalah bahwa
saat itu telah banyak umat Islam yang menikahi ahl al-Kitāb sehingga wibawa umat Islam menurun, di
samping itu, dikhawatirkan keturunannya akan meninggalkan Islam.
5.
Menetapkan
ucapan talak satu kali sama dengan tiga kali, karena umat Islam banyak yang
bermain-main dalam masalah talak.
6. Menetapkan jumlah hukuman cambuk untuk pemabuk
dari 40 yang ditetapkan oleh Hadith Nabi menjadi 80 agar pelakunya jerah.
Selain
itu, ada beberapa kebijakan-kebijakan lain yang diterapkan ‘Umar saat
pemerintahannya. Di antaranya:
1.
Di
bidang Ekonomi
Dalam
sambutannya ketika diangkat menjadi khalīfah, beliau mengumumkan kebijakan ekonomi yang
akan dijalankannya. Di antara kebijakan-kebijakannya adalah:
1. Negara Islam mengambil kekayaan umum dengan
benar, dan tidak mengambil hasil kharaj atau harta fai’
yang diberikan Allah kepada rakyat kecuali melalui mekanisme yang benar.
2. Negara memberikan hak atas kekayaan umum, dan
tidak ada pengeluaran kecuali sesuai dengan haknya, dan negara menambahkan
subsidi serta menutup hutang.
3. Negara tidak menerima harta kekayaan dari
hasil yang kotor. Seorang penguasa tidak mengambil harta umum kecuali seperti
pemungutan harta anak yatim. Jika dia berkecukupan, dia tidak mendapat bagian
apapun. Kalau dia membutuhkan, maka dia memakai dengan jalan yang benar.
4. Negara menggunakan kekayaan dengan benar.
2.
Di
Bidang Kebijakan Zakat
Ketika ‘Umar
menjadi khalifah kewajiban untuk membayar zakat telah kembali normal setelah
dinetralkan oleh Abū Bakar
ra dengan memerangi mereka yang membangkang. Setelah itu, ‘Umar lebih
berkonsentrasi dengan persoalan penerapannya yang dipercayakan kepadanya.
Dalam
sebuah riwayat, ‘Umar juga meringankan zakat tanaman, karena tidak semua yang
dipanen dapat mengembalikan modal usaha petani. Dengan demikian tidak semua
buah yang dihasilkan bumi harus dikenakan zakat karena dikhawatirkan berkurang
untuk kebutuhan pokok.
Dalam kebijakannya,
‘umar tidak memberikan bagian zakat bagi Mu’allaf, dengan statementnya yang
cukup tekenal : “Tidak ada kepentingan bagi kami atas kamu (kamu masuk Islam
atau tidak), karena Allah-lah yang membuat Islam jaya dan membuat kamu kaya
jika kamu masuk Islam, dan jika tidak, maka hal itu tidak menjadi masalah
antara kami dan kamu semua”.
3.
Di
bidang Kebijakan Jizyah
Salah
satu sumber keuangan pada masa ‘Umar adalah
jizyah yang dipungut dari non muslim yang hidup di bawah pemerintahan
Islam tapi tidak mau masuk Islam. Pajak yang dikenakan pada mereka merupakan
pengganti dari imbalan atas fasilitas ekonomi, sosial dan layanan kesejahteraan
yang mereka terima dari pemerintahan Islam juga sebagai jaminan dan keamanan
hidup dan harta mereka. Pajak ini mirip dengan zakat fitrah yang dipungut dari
muslim setiap tahun.
Adapun
pembayarannya dilakukan setelah tiba masa panen, agar sesuai dengan situasi dan
kondisi ahlu dzimmah. Mereka dapat membayar setelah sumber untuk membayar jizyah telah tersedia, yaitu hasil bumi yang
telah dipanen. Dengan demikian, hal itu memberikan kemudahan dan keringan
kepada mereka.
4.
Di
bidang Kebijakan ‘Usyur
‘Usyur
adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara
Islam, atau datang dari negara Islam itu sendiri. peraturan usyr ini telah ada
sejak zaman sebelum Islam, yaitu seperti yang diterapkan oleh orang-orang
Yunani.
‘Usyur belum sempat dikenal pada masa Rasulullah dan
Abu Bakar. Permulaan diterapkannya
‘usyur di negara Islam adalah di
masa ‘Umar ibnu Khaţţāb , yang
berlandaskan demi penegakan keadilan.
‘Usyur telah diambil dari para
pedagang kaum muslimin jika mereka mendatangi daerah lawan. Maka dalam rangka
penerapan perlakuan yang seimbang
terhadap mereka, ‘Umar ibnu Khaţţāb
memutuskan untuk memperlakukan pedagang non muslim dengan perlakukan yang sama
jika mereka masuk ke negara Islam.
PEMIKIRAN MAZHAB IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM MALIK BIN ANAS
·
Imam Abu Hanifah dan
Dasar-Dasar Mazhabnya
Imam
Abu Hanifah bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit ibn Zuthi al-Kufi. Ia lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah
(699 M) pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan, Beliau
digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah
sejak masa kecilnya. Abu Hanifah sebelum memusatkan perhatiannya kepada ilmu,
ia sering turut berdagang dipasar beserta ayahnya menjual kain sutera.
Disamping berdagang Ia juga tekun menghafal Alquran dan amat gemar membacanya.
Metode yang
dipakai Abu Hanifah dalam istimbat hukum dapat dibagi kepada tiga jenis, yaitu:
naqliyah, ijtihadiyah dan al-‘Urf.
Sumber hukum naqliyah terdiri dari Al-quran,
Hadis (Sunnah), Ijma’ dan Fatwa Sahabat. sedangkan sumber hukum ijtihadiyah
adalah dengan menggunakan qiyas dan istihsan. Dan al-Urf adalah yang merupakan
kebiasaan umum masyarakat baik yang berupa lisan maupun perbuatan yang tidak
bertentangan dengan nash.
Secara rinci dasar hukum mazhab Hanafi itu ada
sekitar 7 Ushul Istinbath yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah: yaitu;
1. Al-Qur’an; Abu Hanifah memandang al-Qur’an sebagai sumber
pertama pengambilan hukum sebagaimana imam-imam lainnya, hanya saja beliau
berbeda dengan sebagian mereka dalam menjelaskan maksud (dilalah)
al-Qur’an tersebut, seperti dalam masalah mafhum mukhalafah.
2. Sunnah/Hadits; Imam Abu Hanifah juga memandang Sunnah sebagai
sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, tetapi beliau menetapkan syarat-syarat
khusus dalam penerimaan sebuah hadits (baca usul fiqh) yang memperlihatkan
bahwa Abu Hanifah bukan saja menilai sebuah hadits dari sisi Sanad tapi juga
meneliti dari sisi Matan hadits dengan membandingkannya dengan hadits-hadits
lain dan kaidah-kaidah umum yang telah baku dan disepakati.
3. Ijma’; Imam Abu Hanifah mengambil Ijma’ secara mutlak setelah
meneliti kebenaran terjadinya Ijma’ tersebut.
4. Perkataan Sahabat; jika terdapat banyak perkataan Sahabat, maka
beliau mengambil yang sesuai dengan ijtihadnya tanpa harus keluar dari
perkataan Sahabat tersebut, dan jika ada beberapa pendapat dari kalangan
tabi’in beliau lebih cenderung berijtihad sendiri.
5. Qiyas; belaiu menggunakannya jika mendapatkan permasalahan yang
tidak ada nash yang menunjukkan solusi permasalahan tersebut secara langsung
atau tidak langsung (dilalah isyarah atau thadhammuniyah). Disinilah
nampak kelebihan Imam Abu Hanifah dalam mencari sebab (ilat) hukum.
6. Istihsan; dibandingkan imam-imam yang lain, Imam Abu Hanifah
adalah orang yang paling sering menggunakan istihsan dalam menetapkan hukum.
7. Urf, dalam masalah ini Imam Abu Hanifah juga termasuk orang
yang banyak memakai ‘urf dalam masalah-masalah furu’ Fiqh, terutama dalam
masalah sumpah (yamin), lafaz talak, pembebasan budak, akad dan syarat.
Mazhab
Hanafi tumbuh pada awalnya di wilayah Kufah (Irak), kemudian tersebar ke
negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan
mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Mazhab ini juga dianut
sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan
Tiongkok.
·
Biografi Imam Malik
dan Dasar-Dasar Mazhabnya
Imam Malik memiliki nama
lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amr bin al-Haris bin Usman bin
Jusail bin Amr bin al-Haris al-Ashbahaniy al-Himyariy, Abu ‘Abdillah
al-Madaniy.
Semasa kecilnya
pendidikan Imam Malik berlangsung di Madinah. Kecerdasannya terlihat dari
kemampuannya menghafal Al-Qur’an sejak usia baligh, dan pada masa usia tujuh
belas tahun belia telah menguasai ilmu-ilmu agama. Imam Malik memiliki banyak
guru bahkan ada yang menyebutkan bahwa belia mempunyai guru sampai 900 orang
dan diantara guru-gurunya t adalah: Ibn Hurmuz (w.148), Muhammad Ibn
Sihab azs-Zuhri (w.123/124 H). Nafi’ maula ibn Umar (w.117/119, 120 H). Imam
Ja’far as-Shadiq bin Muhammad bin ali al-Husain bin Ali bin Abi Thalib (80-148
H). Rabi’ah ar-Ra’yi bin Abi Abdirrahman (w.130/136 H). ‘Amir bin Abdillah bin
az-Zubair bin al-Awwam. Na’im bin Abdillah al-Majmar. Zaid bin Aslam. ‘Abdillah
bin Dinar al-Adawi Abu ‘Abdurrahman al-Madini Maula bin ‘Umar (w.127 H.
Adapun metode dan dasar-dasar istimbath dalam mazhab
Maliki. Adalah:
1. Alquran, Imam Malik meletakan Alquran di atas semua dalil, beliau
mengambil dari nash yang tegas yang tidak menerima ta’wil dan mengambil bentuk
lahirnya; selanjutnya Mabhum
Muafaqoh atauFadwa
al-Kitab, yaitu hukum yang
semakna dengan nash, Mabhum Mukhalafah, yaitu penetapan lawan hukum
diambil dari dalil yang disebutkan dalam nash pada sesuatu yang tidak
disebutkan dalam nash dan ‘illat-‘illat hukum (sesuatu sebab yang
menimbulkan adanya hukum).
2. Sunnah, Sunnah menduduki tempat kedua setelah Alquran. Sunnah
yang diambil oleh Imam Malik adalah; sunnah mutawatir, sunnah masyhur,
baik kemashurannya itu ditingkat tabi’in maupun tabi’in at-tabi’in. tingkat
kemasyhuran setelah generasi di atas tidak dipertimbangkan, dan hadis ahad yang didahuli atas praktek penduduk
Madinah dan qiyas, akan tetapi kadang-kadang hadis ahad bisa tertolak oleh qiyas dan
maslahat.
3. Praktek Penduduk Madinah. Hal ini dipandang sebagai hujah, jika
praktek itu benar-benar dinukilkan dari Nabi Muhammad Saw. sehubungan dengan
itu praktek penduduk Madinah yang dasar ra’yu (akal, penalaran) bias didahulukan
atas khabar ahad, Imam Malik mengkritik
ahli fikih yang tidak mau mengambil praktek penduduk Madinah, bahkan
menyalahinya. Selanjutnya yang ke
4 fatwa sahabat. Imam Malik mendahulukan fatwa sahabat dalam soal
manasik haji dan meninggalkan sebagian yang lain, dengan alasan sahabat yang
bersangkutan tidak melaksanakannya karena hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa
adanya perintah dari nabi SAW. Imam Malik juga mengambil fatwa dari tabi’in
besar, tetapi tidak disamakan kedudukannya dengan fatwa sabahat.
5 Qiyas, maslahah al-mursalah dan istihsan.
6 Az-Zara’I; setiap
yang membawa pada hal-hal yang diharamkan/kerusakan maka akan menjadi haram dan
setiap yang membawa kepada hal-hal yang dihalalkan maka akan menjadi halal
juga. Sarana yang membawa kepada kerusakan (mafsadah) dalam mazhab Maliki di bagi menjadi
empat; pertama, sarana yang secara pasti membawa kepada kerusakan,
seperti menggali sumur di belakang pintu rumah. Kedua,sarana yang diduga kuat
akan mengantarkan pada kerusakan, seperti jual beli anggur dengan dugaan akan
dibuat khamar oleh pembelinya. Ketiga, sarana yang jarang bisa membawa kepada
kerusakan, seperti menggali sumur di suatu tempat yang tidak membahayakan orang
lain.Keempat, sarana yang
banyak mengantarkan pada kerusakan, tapi tidak dipandang umum, seperti jual
beli dengan tenggang waktu yang dapat membawa pada praktek riba.
PEMIKIRAN MAZHAB IMAM AL-SHAFI’I
·
Biografi
al-Shafi’i dan Terbentuknya Madhhab Shafi’i
Al-Shafi’i
hidup pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H) dan al-Ma’mun
(198-218 H), beliau lahir pada tahun 150 H/767 M di Gazza palestina dengan nama
kecil Muhammad. Orang tua al-Shafi’i berasal dari Makkah yang merantau ke
Palestina. Nama lengkapnya ialah Abu ’Abd Allah Muhamad bin Idris bin al-’Abbas
bin ’Uthman bin Shafi’ bin al-Sa’ib bin Ubayd bin ’Abd Yazid bin Hashim bin
al-Mutallib bin ’Abd Manaf. Sedangkan nama al-Shafi’i diambil dari nama kakeknya,
Shafi’.
Ketika berusia dua tahun, ayah
al-Shafi’i meninggal dalam perantauan tersebut. Ibunya kemudian membawa
al-Shafi’i kembali ke Mekkah dan menetap di sana. Di Mekkah inilah al-Shafi’i
menghabiskan masa kanak-kanak dan memulai kehidupan keilmuanya. Sepanjang
kehidupannya, al-Shafi’i sempat berpindah-pindah tempat dalam rangka
pengembaraan intelektualnya. Beberapa tempat yang sempat disinggahi oleh
al-Shafi’i antara lain Madinah, Yaman, Irak dan Mesir. Al-Shafi’i wafat di
Mesir pada tanggal 29 Rajab 204 H/820 M. pada usia 54 tahun dan dimakamkan di
suatu tempat di Qal’ah bernama Mishru al-Qadimah, Mesir.
al-Shafi’i merupakan peletak kaidah
dasar tentang periwayatan hadith dan ushul fiqh. Banyak ungkapan yang
menggambarkan kebesaran dan keagungan sosok al-Shafi’i. Diantaranya, ia dikenal
sebagai nashir al-sunnah atau nashir al-hadith, selain itu,
menurut Sulaiman Fayadh ia juga sebagai mujaddid (pembaharu) kedua dalam
Islam setelah Umar bin Abd Aziz.
Dasar
terbentuknya madhhab Shafi’i adalah hasil penyerapannya terhadap berbagai macam
corak keilmuan. Perjalanan studi al-Shafi’i menghasilkan rekonsiliasi atas
berbagai perbedaan yang muncul di tiap daerah dan kemudian menghasilkan suatu
kombinasi yang akhirnya menjadi madhhab yang merupakan sintesa antara fiqh ahl
ra’yu dan ahl hadith.
·
Metodologi Syafi’i Dalam Pengambilan Hukum
1. Al-Qur’an
Imām al-Syāfi’i
menempatkan al-Qur’an pada urutan pertama. Dalam pemahaman Imām al-Syāfi’i atas
al-Qur’an, beliau memperkenalkan konsep al-bayan. yang mengklafikasikan dilalah
nash atas ‘amm dan khas. Sehingga ada dilalah `amm
dengan maksud `amm, ada pula dilalah ‘amm dengan dua maksud; ‘amm
dan khas, dan ada pula dilalah ‘amm dengan maksud khas.
Klasifikasi
lain adalah dilalah tertentu yang maknanya ditentukan oleh konteksnya, ada juga
dilalah yang redaksinya menunjuk arti implisit bukan eksplisit, bahkan ada
pernyataan ‘amm yang secara spesifik ditunjukkan oleh sunnah bahwa
maksudnya khusus.
2. Al-Sunnah
Al-Sunnah
selain sebagai sumber yang kedua setelah al-Qur’an sedangkan kedudukan
al-Sunnah atas al-Qur’an sebagai berikut:
- Ta`kid, menguatkan dan mengokohkan al-Qur’an.
- Tabyin, menjelaskan maksud nas al-Qur’an.
- Tasbit, menetapkan hukum yang tidak ada ketentuan nasnya dalam al-Qur’an.
- Dilalah-dilalah al-Sunnah meskipun hukumnya berdiri sendiri tidak ada yang bertentangan dengan dilalah nas al-Qur’an, karena al-Sunnah selain bersumber pada wahyu juga ada faktor lain yang menyebabkan keontetikkan al-Sunnah yaitu terpeliharanya Nabi dari dosa dan kekeliruan sejak kecil.
3.
Ijma’
Ijma’ menurut
al-Syāfi’i adalah kesepakatan para ‘ulama’ diseluruh dunia Islam, bukan hanya
disuatu negeri tertentu dan bukan pula ijma` kaum tertentu saja. Namun Imam
al-Syafi`i tetap berpedoman bahwa ijma` sahabat adalah ijma’ yang paling kuat.
Al-Syāfi’i
membagi ijma’ menjadi dua yaitu ijma’ sarih dan ijma’ sukuti.
Namum yang paling diterima olehnya adalah ijma’ sarih sebagai dalil
hukum. Sedangkan ijma’ sukuti ditolaknya karena tidak merupakan
kesepakatan semua mujtahid. Dan diamnya mujtahid menurutnya, belum tentu
mengindikasikan persetujuannya.
4. Qiyas
Al-Syāfi’I
adalah yang pertama kali mengkaji qiyas (merumuskan kaidah-kaidah dan dasar-dasarnya),
al-Syāfi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah ke empat setelah al-Qur’an,
as-Sunnah, dan ijma’ dalam menetapkan hukum Islam. Ia menempatkan qiyas setelah
ijma`, karena ijma’ merupakan ijtihad kolektif sedangkan qiyas merupakan
ijtihad individual.
Syarat-syarat
qiyas yang dapat diamalkan menurut Imām al-Syāfi’i adalah:
a.
Orang
itu harus mengetahui dan mengusai bahasa arab.
b.
Mengetahui
hukum al-Qur’an, faraid, uslub, nasikh-mansukh, ‘amm-khas,
dan petunjuk dilalah nas.
c. Mengetahui
Sunnah, qaul sahabat, ijma` dan ikhtilaf dikalangan ulama.
d. Mempunyai
pikiran sehat dan prediksi bagus, sehingga mampu membedakan masalah-masalah
yang mirip hukumnya.
5. Istidlal
Jika al-Syāfi’i
tidak mendapatkan keputusan hukum dari ijma` dan tidak ada jalan dari qiyas,
maka ia mengambil dengan jalan istidlal, mencari alasan bersandarkan atas
kaidah-kaidah agama, meski itu dari ahli kitab yang terakhir yang disebut “syar`u
man qablana” dan tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah pikiran
manusia, juga ia tidak mau mengambil hukum dengan cara istihsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar