Jumat, 14 September 2012

PLURALITAS DALAM SUNNAH

oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir


A. Pendahuluan

            Dalam kehidupan ini manusia selalu dihadapkan dengan fenomena pluralitas. pluralitas bukanlah barang baru untuk dibicarakan dalam arti bahwa isu pluralitas adalah setua usia manusia dan selamanya akan ada, kareana manusia dalam menjalani kehidupan selalu bersifat pluralistik secara alamiah dan realitas pluralitas ini menyatu dalam kehidupan sehari-hari sebut saja plutralitas ras, pluralitas agama, pluralitas  bahasa dan lain sebagainya.
            Dalam fakta pengalaman historisitas keberagamaan Islam era kenabian Muhammad, masyarakat yang pluralistik secara religi sudah terbentuk dan sudah pula menjadi kesadaran umum pada saat itu. Di tengah pluralitas keberagamaan pada masa kenabian Muhammad, tidaklah menghalangi beluai untuk mengembangkan sikap-sikap toletansi.
Nabi Muhammad adalah suri tauladan yang sangat inspiring bagi umatnya, artinya kita harus menjadikan Rasulullah sebagai teladan dalam segala hal, diriwayatkan bahwa sesorang bertanya kepada Abdullah bin Umar: Mengapa kita tidak menemukan shalat safar dalam Al Qur`an?” beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad SAW kepada kita, dan kita tidak mengetahui sesuatupun, kita hanya melakukan sebagaimana melihat Muhammad SAW melakukan.”[1] Artinya kita seharusnya sentiasa selalu berpegang teguh pada sunnah beliau guna menemukan teladan dari beliau
Dalam kehidupan plulalistik Nabi telah memberi contoh kongkret dan sekaligus contoh pemahaman pluralisme yang riel seperti yang beliau lakukan ketika fathu makah, dan apa yang telah beliau contohkan adalah bentuk dari etika Islam yang bersifat historisitas keteladanan (uswatun hasanah) yang terpancar dari perilaku Nabi Muhammad SAW.
            Dalam perspektif Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik secara religius, sejak semula, memang telah dibangun di atas landasan normative-historis. Namun apabila ada ketidak selaran praktik pluralitas kemasyarakatan penyebab utamanya bukan karena inti ajaran Islam tetapi lebih banyak ditentukan dan dikondisikan oleh situasi historis-ekonomis-politis yang melingkari umat Islam di berbagai tempat.
            Maka dalam makalah ini akan dijelaskan relevansi keberadaan sunnah dalam kehidupan yang pluralistic, dengan tujuan membantah kesan bahwa Islam adalah Agama yang ekskusif dan usang dalam kehidupan plural.


B. Definisi Sunnah
Sunnah dalam definisinya bisa memiliki beberapa pengertian sesuai berbagai macam sudut pandangan pendekatannya. Sunnah secara etimologis adalah Al-Thariqah (metode), Al-'Aadah (kebiasaan) dan Al-Sirah (sejarah/riwayat/kehidupan) yang juga bisa diartikan sebaigai perilaku atau cara berperilaku yang dilakukan, baik cara yang terpuji maupun yang tercela. Pengertian ini berdasarkan hadist Rasulullah bahwa ada sunnah yang baik dan sunah yang buruk, sabdanya:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa melakukan suatu perbuatan sunnah yang baik , maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari perbuatan orang yang mengikuti perbuatan sunnah yang baik itu hingga hari kiamat, Dan barang siapa yang melakukan perbuatan sunnah yang buruk maka baginya dosa atas perbuatannya itu dan dosa dari orang yang melakukan sunnah yang buruk itu hingga hari kiamat[2].
Adapun Sunnah menurut termenologi muhadditsin sama dengan definisi hadis yaitu segala yang sandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat,[3] sedangkan menurut menurut ulama fiqh adalah apa yang bila di kerjakan mendapat pahala bila di tinggalkan mendapat cemoohan dan cercahan, namun tidak mendapat siksaanSesuatu yang bentuk perintahnya tidak tegas[4]
Dari definisi singkat di atas kalau disederhanakah sunnah adalah keteladan Rasulullah yang semestinya diadopsi dan dijadikan tolak ukur oleh umat Islam, karena apa yang datang dari Rasulullah bukan sekedar untuk dijadikan wacana dan obyek diskusi saja akan tetapi untuk ditiru dan diteladani

C. Sunnah dan Keberagaman
Seperti diketahui kehidupan pluralis telah dikenal dalam sejarah Islam sejak Nabi Muhammad membangun kota Madinah, hampir lima belas abad yang lalu. Kota baru ini dihuni oleh berbagai bangsa dan kelompok etnis orang arab yang telah beragama Islam terdiri dari dua kelompok ansor dan muhajirin, arab yang non-Islam terdiri dari kelompok etnik aus, dan khasraj, sedangkan dari kelompok yahudi, bani nadir dan quaraizhah.
Piagam kebersamaan hidup mereka di kota Madinah itu, bersifat demokratis dan terbuka, kemudian dikenal sebagai Konstitusi Madinah. Nabi Muhammad Saw. dengan persetujuan semua pihak selalu memperbaharui piagam tersebut seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat majemuk itu. Setiap kepala suku (bani) arab dan kelompok Yahudi menandatangani piagam itu, selain peraturan kehidupan bersama dalam memamfaat berbagai sumber dan falisitas kota yang ada, dalam piagam ini juga ditetapkan kewajiban setiap warga wajib membela kota Madinah, dan menanggung biaya untuk mempertahankan kota itu apabila terjadi peperangan.
Siapa saja yang melanggar peraturan, termasuk umat Islam akan ditindak sesuai dengan kesalahannya. Seperti Bani Nadhir, karena berkhianat diusir dari kota Madinah. Madinah merupakan masyarakat civil (civil society) pertama di dunia. Sebab itu, civil society (masyarakat warga) itu disebut juga sebagai Masyarakat Madani. Masyarakat Madani dalam tipologi kota Madinah ini merupakan cikal bakal dari masyarakat madani umat Islam dewasa ini. Oleh karena itu, dalam merujuk kerukunan agama dalam masyarakat pluralistis umat Islam selalu mengacu kepada pola masyarakat pluralistis kota Madinah.
Secara etimologis, kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris “plural” yang berarti banyak (antonim dari kata singular)[5]. Dalam perkembangannya, kata ini secara lebih spesifik ditujukan terhadap realitas masyarakat yang majemuk[6]. Artinya, masyarakat yang heterogen dalam satu aspek atau lebih, seperti dalam hal keturunan, pemikiran, tingkah laku, kepercayaan, adat istiadat, agama, dan sebagainya. Kemajemukan ini lahir melalui proses-proses tertentu, disadari atau tidak, atau dikehendaki maupun tidak dikehendaki.
Pluralisme dalam masyarakat mesti sarat dengan “gesekan-gesekan”. Ta’âruf atau interaksi sosial yang dijalin antar individu/ masyarakat, pada hakikatnya, sangat berpotensi melahirkan tarik ulur kepentingan yang bisa mengarah kepada hal-hal yang destruktif. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan, sebagai ciri khas masing-masing individu dan masyarakat, tersebut mesti disikapi secara positif dan konstruktif sehingga tidak merugikan diri sendiri. Dengan demikian, pluralisme membutuhkan aturan-aturan main yang jelas untuk menjamin terpeliharanya kemaslahatan masing-masing pihak.
Sejarah telah mencatat dengan tinta emas sikap yang pernah ditunjukkan Nabi Muhammad Saw, para sahabat, serta generasi-generasi muslim sesudahnya, baik terhadap sesama mereka maupun terhadap pihak-pihak lain yang, terutama, tidak seagama. Ajaran Islam yang terpatri kuat di dada mereka telah melahirkan sikap lapang dada yang luar biasa dalam menerima perbedaan yang ada. Perbedaan suku, umpamanya, tidak sedikitpun merintangi kaum Anshar untuk menerima dengan baik saudara-saudara mereka kaum Muhajirin, meskipun pada saat bersamaan mereka juga tidak bisa dikatakan berkecukupan secara material. Demikian juga perbedaan warna kulit dengan yang lain, tidak pernah menghalangi Bilal untuk menjadi muazin Rasul Saw dan kaum muslim, sebagaimana perbedaan bangsa juga tidak merintangi Salman al-Farisi untuk menjadi orang yang dekat dengan Rasulullah Saw. Bahkan saking dekatnya dengan Nabi Saw, Salman bahkan sebut Nabi Saw sebagai “minnâ ahl al-bait” (termasuk ahl al-bait). Salman mendapatkan kehormatan tersebut antara lain dikarenakan kedudukan rohaniahnya yang sudah begitu tinggi, sampai mencapai sisi kesucian rohani seperti kesucian ahl al-bait[7].
Sebaliknya, semua muslim mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkarya dengan sebaik-baiknya (baca: beramal salih), tanpa harus teralienasi hanya karena perbedaan fisik, bahasa, atau suku bangsa. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:
Demikian juga halnya terhadap pihak-pihak yang berlainan agama, Rasulullah tidak pernah mendiskreditkan eksistensi mereka atas dasar perbedaan akidah, malah sebaliknya, Rasulullah menerima dengan baik keberadaan mereka ditengah-tengah masyarakat muslim dan tidak sedikitpun memaksa mereka untuk mengikuti ajaran Islam.
 Cukup banyak bukti historis yang dapat dikemukakan untuk mendukung klaim keadilan, kemanusiaan, kasih sayang, dan kebersamaan yang pernah ditunjukkan Rasulullah Saw dan generasi-generasi sesudahnya terhadap orang-orang yang tidak seagama.
Salah satu contohnya adalah suatu ketika Nabi berdiri saat melintas didepan beliau jenazah orang yahudi[8], bahkan yang sangat fenomenal adalah pendeklarasian Piagam Madinah yang berisi penegasan tentang kesetaraan fungsi dan kedudukan serta persamaan hak dan kewajiban antara umat muslim dan umat-umat lain yang tinggal di Madinah, mereka akan diperlakukan adil dan dijamin hak-haknya selama tidak melakukan kejahatan dan pengkhianatan, dengan undang-undang inilah Rasulullah menata kehidupan masyarakat Madinah yang plural.

D. Penutup
Dari apa yang dijelaskan diatas maka  sebenarnya keberangaman dalam masyarakat sama sekali tidak bertentangan dengan spirit Rasullullah yang menjadi landasan sunnah keteladanan bagi umat Islam, eleh karenanya perbedaan bukan selayaknya dijadikan sebagai dasar perpecahan melainkan dijadikan semangat kebersamaan yang dibagun dalam pondasi toleransi.  
Islam bersikap sangat terbuka dengan kemajemukan. Keanekaragaman yang telah menjadi kehendak Allah tentu saja bukan untuk dipertentangkan dan membawa kepada perpecahan. Akan tetapi dengan mensikapi secara positif dan konstruktif.
 Toleransi dapat dikatakan sebagai jalan keluar yang dicetuskan Rasulullah untuk mensikapi keberagaman. Dengan mengacu pada Sunnah Nabi Muhammad Saw yang dapat dijadikan referensi dalam menikmati hidup bertoleransi. Namun yang perlu digaris bawahi adalah toleransi akan efektif jika masing-masing pihak tetap berjalan di atas relnya dan mengerti batas-batas toleransi dalam keberagaman masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
A.  S. Hornby. Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English. London: Oxford University Press
Yusuf Qardhawi , al-Muntaqa min Kitab al-taghrib wa tarhib
Muhammad ibn Alawi, al-Qawaid al-Asasiyah
Ibnu Najjar. Mudzakkirah ushul fiqh
Depdikbud RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Jalaludin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik, Bandung: Mizan


[1] Musnad Imam Ahmad juz VIII, hal 86, hadist no. 5683
[2] Yusuf Qardhawi , al-Muntaqa min Kitab al-taghrib wa tarhib,115
[3] Muhammad ibn Alawi, al-Qawaid al-Asasiyah, 11
[4] Ibnu Najjar. Mudzakkirah ushul fiqh.16.
[5] A. S. Hornby. Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English. London: Oxford University Press. 735
[6] Depdikbud RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 777
[7] Jalaludin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik, Bandung: Mizan.  284
[8] Bunyi hadisnya:
روى جابر بن عبد الله قال: مرت بنا جنازة فقام النبى صلى الله عليه وسلم وقمنافقلنا يارسول الله انها جنازة يهودى فقال: اولست نفسا,اذا رايتم الجنازة فقوموا
“Jabir bin Abdullah berkata, “Suatu ketika lewat di hadapan kami orang-orang yang membawa jenazah seorang Yahudi. Nabi Saw lalu berdiri dan kamipun segera mengikutinya. Setelah itu kami berkata, “Wahai Rasulullah, yang lewat tadi adalah jenazah seorang Yahudi.” Rasulullah kemudian menjawab, ”Apakah aku ini juga tidak seorang manusia? Jika kamu sekalian melihat orang sedang lewat membawa jenazah, maka berdirilah (Muhammad bin Ismail bin Ibrahim. Shahîh al-Bukhâri. Kairo: Dar al-Taqwa li al-Turast. Jilid.2.539)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar