oleh: Moh. Hasyim Abd. Qadir
A. Pendahuluan
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan ini manusia
selalu dihadapkan dengan fenomena pluralitas. pluralitas bukanlah barang baru
untuk dibicarakan dalam arti bahwa isu pluralitas adalah setua usia manusia dan
selamanya akan ada, kareana manusia dalam menjalani kehidupan selalu bersifat
pluralistik secara alamiah dan realitas pluralitas ini menyatu dalam kehidupan
sehari-hari sebut saja plutralitas ras, pluralitas agama, pluralitas bahasa dan lain sebagainya.
Dalam fakta pengalaman historisitas
keberagamaan Islam era kenabian Muhammad, masyarakat yang pluralistik secara
religi sudah terbentuk dan sudah pula menjadi kesadaran umum pada saat itu. Di
tengah pluralitas keberagamaan pada masa kenabian Muhammad, tidaklah
menghalangi beluai untuk mengembangkan sikap-sikap toletansi.
Nabi Muhammad adalah suri
tauladan yang sangat inspiring bagi umatnya, artinya kita harus menjadikan
Rasulullah sebagai teladan dalam segala hal, diriwayatkan bahwa sesorang
bertanya kepada Abdullah bin Umar: Mengapa kita tidak menemukan shalat safar
dalam Al Qur`an?” beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad SAW
kepada kita, dan kita tidak mengetahui sesuatupun, kita hanya melakukan
sebagaimana melihat Muhammad SAW melakukan.”[1] Artinya
kita seharusnya sentiasa selalu berpegang teguh pada sunnah beliau guna
menemukan teladan dari beliau
Dalam kehidupan plulalistik Nabi
telah memberi contoh kongkret dan sekaligus contoh pemahaman pluralisme yang
riel seperti yang beliau lakukan ketika fathu makah, dan apa yang telah beliau
contohkan adalah bentuk dari etika Islam yang bersifat historisitas keteladanan
(uswatun hasanah) yang terpancar dari perilaku Nabi Muhammad SAW.
Dalam perspektif Islam, dasar-dasar
untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik secara religius, sejak
semula, memang telah dibangun di atas landasan normative-historis. Namun
apabila ada ketidak selaran praktik pluralitas kemasyarakatan penyebab utamanya
bukan karena inti ajaran Islam tetapi lebih banyak ditentukan dan dikondisikan
oleh situasi historis-ekonomis-politis yang melingkari umat Islam di berbagai
tempat.
Maka dalam makalah ini akan
dijelaskan relevansi keberadaan sunnah dalam kehidupan yang pluralistic, dengan
tujuan membantah kesan bahwa Islam adalah Agama yang ekskusif dan usang dalam
kehidupan plural.
B.
Definisi Sunnah
Sunnah dalam definisinya bisa
memiliki beberapa pengertian sesuai berbagai macam sudut pandangan pendekatannya.
Sunnah secara etimologis adalah Al-Thariqah (metode), Al-'Aadah (kebiasaan) dan
Al-Sirah (sejarah/riwayat/kehidupan) yang juga bisa diartikan sebaigai perilaku
atau cara berperilaku yang dilakukan, baik cara yang terpuji maupun yang
tercela. Pengertian ini berdasarkan hadist Rasulullah bahwa ada sunnah yang
baik dan sunah yang buruk, sabdanya:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً
فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , وَمَنْ
سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Barang
siapa melakukan suatu perbuatan sunnah yang baik , maka baginya pahala dari
perbuatannya itu dan pahala dari perbuatan orang yang mengikuti perbuatan
sunnah yang baik itu hingga hari kiamat, Dan barang siapa yang melakukan
perbuatan sunnah yang buruk maka baginya dosa atas perbuatannya itu dan dosa
dari orang yang melakukan sunnah yang buruk itu hingga hari kiamat[2].
Adapun Sunnah menurut termenologi
muhadditsin sama dengan definisi hadis yaitu segala yang sandarkan kepada Nabi
SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat,[3] sedangkan
menurut menurut ulama fiqh adalah apa yang bila di kerjakan mendapat pahala
bila di tinggalkan mendapat cemoohan dan cercahan, namun tidak mendapat
siksaanSesuatu yang bentuk perintahnya tidak tegas[4]
Dari definisi singkat di atas
kalau disederhanakah sunnah adalah keteladan Rasulullah yang semestinya diadopsi
dan dijadikan tolak ukur oleh umat Islam, karena apa yang datang dari
Rasulullah bukan sekedar untuk dijadikan wacana dan obyek diskusi saja akan
tetapi untuk ditiru dan diteladani
C.
Sunnah dan Keberagaman
Seperti diketahui kehidupan
pluralis telah dikenal dalam sejarah Islam sejak Nabi Muhammad membangun kota
Madinah, hampir lima belas abad yang lalu. Kota baru ini dihuni oleh berbagai
bangsa dan kelompok etnis orang arab yang telah beragama Islam terdiri dari dua
kelompok ansor dan muhajirin, arab yang non-Islam terdiri dari kelompok etnik
aus, dan khasraj, sedangkan dari kelompok yahudi, bani nadir dan quaraizhah.
Piagam kebersamaan hidup mereka
di kota Madinah itu, bersifat demokratis dan terbuka, kemudian dikenal sebagai
Konstitusi Madinah. Nabi Muhammad Saw. dengan persetujuan semua pihak selalu
memperbaharui piagam tersebut seiring dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat majemuk itu. Setiap kepala suku (bani) arab dan kelompok Yahudi
menandatangani piagam itu,
selain peraturan kehidupan bersama dalam memamfaat berbagai sumber dan
falisitas kota yang ada, dalam piagam ini juga ditetapkan kewajiban setiap
warga wajib membela kota Madinah, dan menanggung biaya untuk mempertahankan
kota itu apabila terjadi peperangan.
Siapa saja yang melanggar
peraturan, termasuk umat Islam akan ditindak sesuai dengan kesalahannya.
Seperti Bani Nadhir, karena berkhianat diusir dari kota Madinah. Madinah
merupakan masyarakat civil (civil society) pertama di dunia. Sebab itu, civil
society (masyarakat warga) itu disebut juga sebagai Masyarakat Madani.
Masyarakat Madani dalam tipologi kota Madinah ini merupakan cikal bakal dari
masyarakat madani umat Islam dewasa ini. Oleh karena itu, dalam merujuk
kerukunan agama dalam masyarakat pluralistis umat Islam selalu mengacu kepada
pola masyarakat pluralistis kota Madinah.
Secara
etimologis, kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris “plural” yang berarti
banyak (antonim dari kata singular)[5]. Dalam perkembangannya,
kata ini secara lebih spesifik ditujukan terhadap realitas masyarakat yang
majemuk[6]. Artinya, masyarakat yang
heterogen dalam satu aspek atau lebih, seperti dalam hal keturunan, pemikiran,
tingkah laku, kepercayaan, adat istiadat, agama, dan sebagainya. Kemajemukan
ini lahir melalui proses-proses tertentu, disadari atau tidak, atau dikehendaki
maupun tidak dikehendaki.
Pluralisme
dalam masyarakat mesti sarat dengan “gesekan-gesekan”. Ta’âruf atau interaksi
sosial yang dijalin antar individu/ masyarakat, pada hakikatnya, sangat
berpotensi melahirkan tarik ulur kepentingan yang bisa mengarah kepada hal-hal
yang destruktif. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan, sebagai ciri khas
masing-masing individu dan masyarakat, tersebut mesti disikapi secara positif
dan konstruktif sehingga tidak merugikan diri sendiri. Dengan demikian,
pluralisme membutuhkan aturan-aturan main yang jelas untuk menjamin
terpeliharanya kemaslahatan masing-masing pihak.
Sejarah
telah mencatat dengan tinta emas sikap yang pernah ditunjukkan Nabi Muhammad
Saw, para sahabat, serta generasi-generasi muslim sesudahnya, baik terhadap
sesama mereka maupun terhadap pihak-pihak lain yang, terutama, tidak seagama.
Ajaran Islam yang terpatri kuat di dada mereka telah melahirkan sikap lapang
dada yang luar biasa dalam menerima perbedaan yang ada. Perbedaan suku,
umpamanya, tidak sedikitpun merintangi kaum Anshar untuk menerima dengan baik
saudara-saudara mereka kaum Muhajirin, meskipun pada saat bersamaan mereka juga
tidak bisa dikatakan berkecukupan secara material. Demikian juga perbedaan
warna kulit dengan yang lain, tidak pernah menghalangi Bilal untuk menjadi
muazin Rasul Saw dan kaum muslim, sebagaimana perbedaan bangsa juga tidak
merintangi Salman al-Farisi untuk menjadi orang yang dekat dengan Rasulullah
Saw. Bahkan saking dekatnya dengan Nabi Saw, Salman bahkan sebut Nabi Saw
sebagai “minnâ ahl al-bait” (termasuk ahl al-bait). Salman mendapatkan
kehormatan tersebut antara lain dikarenakan kedudukan rohaniahnya yang sudah
begitu tinggi, sampai mencapai sisi kesucian rohani seperti kesucian ahl
al-bait[7].
Sebaliknya,
semua muslim mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkarya dengan
sebaik-baiknya (baca: beramal salih), tanpa harus teralienasi hanya karena
perbedaan fisik, bahasa, atau suku bangsa. Dalam hal ini Rasulullah Saw
bersabda:
Demikian
juga halnya terhadap pihak-pihak yang berlainan agama, Rasulullah tidak pernah
mendiskreditkan eksistensi mereka atas dasar perbedaan akidah, malah sebaliknya,
Rasulullah menerima dengan baik keberadaan mereka ditengah-tengah masyarakat
muslim dan tidak sedikitpun memaksa mereka untuk mengikuti ajaran Islam.
Cukup banyak bukti historis yang dapat
dikemukakan untuk mendukung klaim keadilan, kemanusiaan, kasih sayang, dan
kebersamaan yang pernah ditunjukkan Rasulullah Saw dan generasi-generasi sesudahnya
terhadap orang-orang yang tidak seagama.
Salah satu contohnya
adalah suatu ketika Nabi
berdiri saat melintas didepan beliau jenazah orang yahudi[8], bahkan
yang sangat fenomenal adalah pendeklarasian Piagam Madinah yang berisi
penegasan tentang kesetaraan fungsi dan kedudukan serta persamaan hak dan
kewajiban antara umat muslim dan umat-umat lain yang tinggal di Madinah, mereka akan
diperlakukan adil dan dijamin hak-haknya selama tidak melakukan kejahatan dan
pengkhianatan, dengan undang-undang inilah Rasulullah menata kehidupan masyarakat
Madinah yang plural.
D.
Penutup
Dari apa yang dijelaskan diatas
maka sebenarnya keberangaman dalam
masyarakat sama sekali tidak bertentangan dengan spirit Rasullullah yang
menjadi landasan sunnah keteladanan bagi umat Islam, eleh karenanya perbedaan
bukan selayaknya dijadikan sebagai dasar perpecahan melainkan dijadikan
semangat kebersamaan yang dibagun dalam pondasi toleransi.
Islam bersikap sangat terbuka
dengan kemajemukan. Keanekaragaman yang telah menjadi kehendak Allah tentu saja
bukan untuk dipertentangkan dan membawa kepada perpecahan. Akan tetapi dengan
mensikapi secara positif dan konstruktif.
Toleransi dapat dikatakan sebagai jalan keluar
yang dicetuskan Rasulullah untuk mensikapi keberagaman. Dengan mengacu pada
Sunnah Nabi Muhammad Saw yang dapat dijadikan referensi dalam menikmati hidup
bertoleransi. Namun yang perlu digaris bawahi adalah toleransi akan efektif
jika masing-masing pihak tetap berjalan di atas relnya dan mengerti batas-batas
toleransi dalam keberagaman masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A. S. Hornby.
Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English. London: Oxford
University Press
Yusuf Qardhawi , al-Muntaqa
min Kitab al-taghrib wa tarhib
Muhammad ibn Alawi, al-Qawaid
al-Asasiyah
Ibnu Najjar. Mudzakkirah ushul
fiqh
Depdikbud RI. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Jalaludin
Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik, Bandung: Mizan
[1]
Musnad Imam Ahmad juz VIII, hal 86, hadist no. 5683
[2]
Yusuf Qardhawi , al-Muntaqa min Kitab al-taghrib wa tarhib,115
[3]
Muhammad ibn Alawi, al-Qawaid al-Asasiyah, 11
[4]
Ibnu Najjar. Mudzakkirah ushul fiqh.16.
[5]
A. S. Hornby. Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English.
London: Oxford University Press. 735
[8]
Bunyi hadisnya:
روى جابر بن
عبد الله قال: مرت بنا جنازة فقام النبى صلى الله عليه وسلم وقمنافقلنا يارسول
الله انها جنازة يهودى فقال: اولست نفسا,اذا رايتم الجنازة فقوموا
“Jabir bin
Abdullah berkata, “Suatu ketika lewat di hadapan kami orang-orang yang membawa
jenazah seorang Yahudi. Nabi Saw lalu berdiri dan kamipun segera mengikutinya.
Setelah itu kami berkata, “Wahai Rasulullah, yang lewat tadi adalah jenazah
seorang Yahudi.” Rasulullah kemudian menjawab, ”Apakah aku ini juga tidak
seorang manusia? Jika kamu sekalian melihat orang sedang lewat membawa jenazah,
maka berdirilah (Muhammad bin Ismail bin Ibrahim. Shahîh al-Bukhâri.
Kairo: Dar al-Taqwa li al-Turast. Jilid.2.539)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar